Jumat, 24 Oktober 2014

Enam tahun, dan aku masih merindukanmu...




            Sempurna sudah alam bergurau dengan kota ini. Sebentar hujan, sebentar panas. Sebentar lagi hujan, eh sebentar lagi panas. Jujur saja, seandainya aku tidak diajar kesabaran oleh orang itu mungkin saja aku sudah memaki habis-habisan alam hari ini seperti yang dilakukan kebanyakan orang di social media.
            Lah, tapi apa gunanya memaki alam di social media? Toh alam tidak pernah menggunakan social media jenis apapun. Entah itu friendster, facebook, twitter, path sampai instagram.
            Dan sore ini, hujan dengan manjanya bermain-main di kebun depan rumah. Mencumbui dedaunan satu persatu. Tidak bergantian tapi serentak. Setelah itu berhenti pada rerumputan yang mulai tenggelam oleh banjir kecil.
            Seperti biasa, dari teras rumah sambil menikmati udara dingin sore ini aku duduk bertemankan secangkir coklat hangat. Sambil membiarkan jemariku menari indah diatas keyboard laptop, aku kembali mengenangmu.
*-*-*
            “Riz? Rizal… bangun dek.”
            Remaja berusia hampir enam belas tahun membuka mata.
            Ah, ternyata dia ketiduran di sofa merah yang ada di ruang tamu. Beginilah rumah kalau sedang kedatangan banyak saudara. Harus rela berbagi kamar untuk keluarga yang datang dari jauh.
            Rizal. Ia tidak sepenuhnya bangun. Meskipun sudah duduk bersandar tapi matanya masih terpejam. Baru saja berniat untuk berbaring kembali tiba-tiba Ia mendengar suara aneh. Alisnya berkerut samar.
            Itu seperti isak tangis. Ia memasang telinga baik-baik. Benar, itu isak tangis tertahan. Tapi siapa yang menangis? Rasa penasan itu yang akhirnya membuat Rizal bangkit dan berjalan mengendap-endap ke ruang tengah.
            Lampu ruang tengah menyala terang. Beberapa anggota keluarga duduk terisak di sudut ruangan. Ini ada apa? Belum terjawab pertanyaannya, kini Ia melihat sendiri gerombolan tubuh manusia berdesakan di depan pintu kamar. Kamar Mama?
            Ia berjalan lambat. Hati-hati.
            “Kamu yang sabar ya Riz. Kuatkanlah hatimu.”
            Rizal masih tidak sepenuhnya mengerti. Kalimat kakak ipar barusan semakin membuatnya kebingungan. Daripada bertanya-tanya sendiri lebih baik Ia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            Seperti seorang pangeran, Rizal diberikan jalan sampai ke dalam kamar mama. Keluarga yang bergerombolan membuka jalan untuknya. Tepat di depan pintu kamar Rizal akhirnya mengerti. Jadi ini alasan anggota keluarga menangis serentak pagi ini? Ini bahkan masih gelap untuk disebut pagi. Baru pukul empat.
            Rizal hanya bisa mematung di depan pintu kamar saat melihat kakak dan papa berurai air mata. Cengeng. Laki-laki kok menangis? Lihat dirinya. Bahkan menitikan airmatapun tidak Ia lakukan. Apa yang akan dibicarakan teman-teman di sekolah?
            Mama meninggal. Tubuh itu terbaring sendirian di atas tempat tidur. Tidak benar-benar sendirian karena papa juga ada disitu. Ia tidak suka menangis meski sebenarnya hatinya sedang teriris. Pilu.
            Ia memutuskan untuk keluar rumah.
            Mama meninggal? Ini tidak bisa dipercaya. Rizal masih disergap rasa penasaran. Mungkinkah ini mimpi? Tapi ini terlihat sangat nyata. Ia meringis sakit saat mencubit lengannya. Ini bukan mimpi. Nyata. Mama telah meninggal. Hatinya tiba-tiba sesak. Ingin menangis tapi tidak mau melakukannya.
            Aku anak lelaki…
            Sampai pagi benar-benar menjelang, Rizal masih sibuk kesana kemari tidak tentu arah. Ia terlihat seperti remaja berkebutuhan khusus. Dan itu memang benar, Ia butuh mamanya. Dengan langkah gontai tanpa semangat Rizal meninggalkan pesisir pantai tempat Ia merenung hampir dua jam lamanya.
            “Kamu dari mana nak? Masuk sana ke rumahmu.”sapa salah satu tetangga, teman karib mama.
            Rizal hanya mengulaskan senyum simpul. Tipis sekali. Maknanya? Entahlah. Mungkin itu senyum pertama yang ia bagikan pada orang lain tanpa makna sama sekali.
            Ia lupa membagi kabar ke sekolah kalau hari ini Ia tidak bisa masuk. Segera saja Ia masuk rumah, mengambil ponsel di kamar, berhenti sejenak di depan kamar mama. Papa masih menangis. Dilihatnya air mata pria itu bercucuran deras.
            “Hallo?”seseorang menyapa dari kejauhan sepuluh kilometer.
            “Aku izin ya hari ini, tidak masuk sekolah.”Jawab Rizal datar.
            “kenapa Riz? Sakit?”
            “Mamaku…”Suaranya tiba-tiba tertahan. Dadanya langsung terasa sesak dan tanpa dipaksa satu tetes air mata jatuh menimpa pipinya. Buru-buru Ia menyeka.
            “Halo Rizal? Ada apa?”
            “Mamaku… aku izin ya. Mamaku mening…gal.”
            Potongan terakhir kalimat itu. “Gal.” nadanya melemah. Volume suaranya merendah. Ia benar-benar tidak sanggup mengakui hal itu. Mama sudah meninggal.
            Tut…
            Tanpa perlu menanti jawaban dari temannya itu Rizal langsung mematikan telepon.
            Pukul 10:00 wita.
            Rumah mulai ramai dikunjungi pelayat. Satu per satu dengan lemah lembut mendekati Rizal. Memberikan petuah-petuah singkat. Mengusap kepalanya bahkan tak jarang memeluknya. Bagi rizal ini jelas sebuah bentuk perhatian. Ia dicintai banyak orang. Tapi bukan ini yang ia harapkan. Ia ingin diperlakukan layaknya anak laki-laki lainnya. Cukup dielus punggungnya atau minimal dirangkul saja. Tak usah dipeluk seperti itu. Itu yang membuatnya merasa semakin sedih. Ah orang dewasa susah mengerti kemauan anak remaja.
            Seperti pamannya yang baru saja tiba dari kota kabupaten tetangga. Dengan langkah cepat, masuk ke kamar, menangis disamping jenazah mama, lalu mencarinya. Mencari rizal lalu memeluknya sambil bercucuran air mata. Dan Rizal, tentu saja tanpa dipaksa akhirnya memecahkan tangisnya.
            Tidak lama. Hanya kurang dari lima menit tapi sudah cukup mengurangi sedikit beban yang mencengkram erat jantungnya.
*-*-*
            Semua sudah siap.
            Ini jumat pertama Ia absen untuk ikutan sholat berjamaah di masjid. Keluarga sibuk. Dan Rizal semakin tak sanggup menahan tangisnya ketika melihat wanita yang paling Ia cintai perlahan mulai dimandikan. Dengan air mata bercucuran Rizal mengambil satu gayung lalu mengguyurkannya pada si mayit.
            Ooh…
            Ini semakin berat.
            Rizal tidak sanggup lagi saat melihat mama, yang matanya terpejam itu mulai dibungkus kain putih. Dadanya sakit tiada dua. Air mata tak bisa terbendung lagi. Ini puncaknya. Ini benar-benar hasil dari memendam rasa sedih sejak pagi tadi.
            Air mata ini ialah gabungan dari air mata yang seharusnya sudah pecah sejak pukul empat dini hari tadi.
            Ah mama?
            Ini terlalu cepat. Rizal bahkan belum berbuat apa-apa untuk mamanya. Kado terakhir yang Ia ingat ialah kecupan manja beberapa minggu lalu saat lebaran idul fitri. Setelah itu? Belum ada.
            Lalu setelah ini siapa yang akan membangunkannya setiap pagi? Mengurusi segala keperluannya? Bahkan siapa lagi yang akan memarahinya kalau semalamanya hanya bermain tidak belajar? Siapa yang akan mencubitnya saat sedang bandel tak patuh? Oh semua itu terkenang lagi olehnya.
            Mama?
            Jangan pergi…
            Tubuh dibalut kain putih itu sudah selesai disholatkan. Rizalpun ikut menyolatkan meskipun dengan pikiran kacau tak menentu. Ini konyol. Tak pernah terbayang sebelumnya, bacaan doa menyolatkan mayit yang beberapa bulan lalu dipelajari sekarang harus dipraktikan untuk mamanya sendiri.
            Perlahan namun pasti, tubuh itu mulai dibawa ke lubang kecil. Tempat itu gelap, hanya ada gumpalan tanah, pasir dan kerikil. Disana juga pasti ada cacing dan binatang kecil mengerikan lainnya. Rizal tidak sanggup. Ia hanya berdiri beberapa meter di belakang pelayat lainnya.
            Matanya mulai sembab. Air sudah penuh di kelopak mata. Tinggal menunggu aba-aba, air itu akan jatuh berderai deras.
            Dan…
            Setelah prosesi pemakaman selesai. Para pelayat mulai beranjak pulang, saat itulah Rizal merasakan satu hal. Kakinya tak mampu lagi berpijak. Tubuhnya jatuh tersungkur. Lututnya menghantam batu besar di dekat makam Mama. Tapi apa perdulinya dengan rasa sakit itu? Rasa sakit di dalam dada itu yang tiada duanya.
            Ia menangis. Menumpahkan segala rasa bersalahnya. Air mata tak sanggup dibendungnya. Nafasnya naik turun. Kokoh putihnya mulai bercampur debu. Air mata jatuh langsung merembes ke permukaan tanah.
            “Rizal. Ayo pulang, biarkan mamamu tenang di alam sana.”
            Apa? Membiarkan mama sendirian? Di tempat ini? Ini gelap.
            Dengan sekuat tenaga Rizal mencoba untuk bangkit namun tidak bisa. Ia tidak merasakan lagi tungkai kakinya. Ia lemah. Beberapa orang terpaksa menggandengnya, memaksa kakinya untuk bergerak tapi tidak sanggup.
            Oh, semua mulai tidak tampak. Kabur. Buram. Dan… gelap.
            Rizal tidak melihat apa-apa lagi.
            Dunia menggelap tanpa cahaya satu titikpun.
            Tapi ada mama. Bayangan mama tampak jelas olehnya. Tersenyum dibalut kerudung hitam yang sering mama kenakan. Ah cantiknya mama saat itu. Rizal tak sanggup menahan rindu di dadanya. Ia berlari mendekati mama namun mama seperti berusaha menghindar. Semakin dekat, raga mama semakin jauh. Jauh.. lalu hilang…
            “Mama…?”Rizal terbangun.
            Hujan.
            Sore itu sudah hujan. Ia terbaring di sofa merah tadi. Ia lemah tak berdaya. Tubuhnya tak bersemangat untuk bangkit dari tempat itu. Remuk jantungnya tak tertahankan lagi. Ah, mama kau sungguh berharga.
            Selamat tinggal mah, Aku merindukanmu…
*-*-*
            Mataku sembab.    
            Ah, setiap kali mengingat kejadian itu aku selalu menangis. Mama memang berharga dimataku. Bahkan sampai detik ini belum ada satupun wanita yang mampu menggeser posisi mama di hatiku. Ia sangat istimewa.
            Semua sudah berlalu, enam tahun lamanya.
            Coklat hangat sudah tidak hangat lagi. Dingin sempurna gara-gara hujan sore ini. Hujan yang sama persis dengan hujan enam tahun lalu. Langit mendung, hujan rintik dan angin berhembus lembut.
            Disini.. aku bisa merasakan kehadiranmu. Berdiri di belakangku, melingkarkan tangan kedepan lalu mendekapku. Membiarkan rasa hangat menyergap tubuhku. Mama?
Enam tahun berlalu, aku masih merindukanmu…