Sempurna sudah alam bergurau dengan
kota ini. Sebentar hujan, sebentar panas. Sebentar lagi hujan, eh sebentar lagi
panas. Jujur saja, seandainya aku tidak diajar kesabaran oleh orang itu mungkin saja aku sudah memaki
habis-habisan alam hari ini seperti yang dilakukan kebanyakan orang di social media.
Lah, tapi apa gunanya memaki alam di
social media? Toh alam tidak pernah
menggunakan social media jenis
apapun. Entah itu friendster, facebook, twitter, path sampai instagram.
Dan sore ini, hujan dengan manjanya
bermain-main di kebun depan rumah. Mencumbui dedaunan satu persatu. Tidak bergantian
tapi serentak. Setelah itu berhenti pada rerumputan yang mulai tenggelam oleh
banjir kecil.
Seperti biasa, dari teras rumah
sambil menikmati udara dingin sore ini aku duduk bertemankan secangkir coklat
hangat. Sambil membiarkan jemariku menari indah diatas keyboard laptop, aku
kembali mengenangmu.
*-*-*
“Riz? Rizal… bangun dek.”
Remaja berusia hampir enam belas
tahun membuka mata.
Ah, ternyata dia ketiduran di sofa
merah yang ada di ruang tamu. Beginilah rumah kalau sedang kedatangan banyak
saudara. Harus rela berbagi kamar untuk keluarga yang datang dari jauh.
Rizal. Ia tidak sepenuhnya bangun.
Meskipun sudah duduk bersandar tapi matanya masih terpejam. Baru saja berniat
untuk berbaring kembali tiba-tiba Ia mendengar suara aneh. Alisnya berkerut samar.
Itu seperti isak tangis. Ia memasang
telinga baik-baik. Benar, itu isak tangis tertahan. Tapi siapa yang menangis?
Rasa penasan itu yang akhirnya membuat Rizal bangkit dan berjalan
mengendap-endap ke ruang tengah.
Lampu ruang tengah menyala terang. Beberapa
anggota keluarga duduk terisak di sudut ruangan. Ini ada apa? Belum terjawab
pertanyaannya, kini Ia melihat sendiri gerombolan tubuh manusia berdesakan di
depan pintu kamar. Kamar Mama?
Ia berjalan lambat. Hati-hati.
“Kamu yang sabar ya Riz. Kuatkanlah
hatimu.”
Rizal masih tidak sepenuhnya
mengerti. Kalimat kakak ipar barusan semakin membuatnya kebingungan. Daripada bertanya-tanya
sendiri lebih baik Ia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Seperti seorang pangeran, Rizal
diberikan jalan sampai ke dalam kamar mama. Keluarga yang bergerombolan membuka
jalan untuknya. Tepat di depan pintu kamar Rizal akhirnya mengerti. Jadi ini
alasan anggota keluarga menangis serentak pagi ini? Ini bahkan masih gelap
untuk disebut pagi. Baru pukul empat.
Rizal hanya bisa mematung di depan
pintu kamar saat melihat kakak dan papa berurai air mata. Cengeng. Laki-laki
kok menangis? Lihat dirinya. Bahkan menitikan airmatapun tidak Ia lakukan. Apa yang
akan dibicarakan teman-teman di sekolah?
Mama meninggal. Tubuh itu terbaring
sendirian di atas tempat tidur. Tidak benar-benar sendirian karena papa juga
ada disitu. Ia tidak suka menangis meski sebenarnya hatinya sedang teriris. Pilu.
Ia memutuskan untuk keluar rumah.
Mama meninggal? Ini tidak bisa
dipercaya. Rizal masih disergap rasa penasaran. Mungkinkah ini mimpi? Tapi ini
terlihat sangat nyata. Ia meringis sakit saat mencubit lengannya. Ini bukan
mimpi. Nyata. Mama telah meninggal. Hatinya tiba-tiba sesak. Ingin menangis
tapi tidak mau melakukannya.
Aku
anak lelaki…
Sampai pagi benar-benar menjelang,
Rizal masih sibuk kesana kemari tidak tentu arah. Ia terlihat seperti remaja
berkebutuhan khusus. Dan itu memang benar, Ia butuh mamanya. Dengan langkah
gontai tanpa semangat Rizal meninggalkan pesisir pantai tempat Ia merenung
hampir dua jam lamanya.
“Kamu dari mana nak? Masuk sana ke
rumahmu.”sapa salah satu tetangga, teman karib mama.
Rizal hanya mengulaskan senyum
simpul. Tipis sekali. Maknanya? Entahlah. Mungkin itu senyum pertama yang ia
bagikan pada orang lain tanpa makna sama sekali.
Ia lupa membagi kabar ke sekolah
kalau hari ini Ia tidak bisa masuk. Segera saja Ia masuk rumah, mengambil
ponsel di kamar, berhenti sejenak di depan kamar mama. Papa masih menangis. Dilihatnya
air mata pria itu bercucuran deras.
“Hallo?”seseorang menyapa dari
kejauhan sepuluh kilometer.
“Aku izin ya hari ini, tidak masuk
sekolah.”Jawab Rizal datar.
“kenapa Riz? Sakit?”
“Mamaku…”Suaranya tiba-tiba
tertahan. Dadanya langsung terasa sesak dan tanpa dipaksa satu tetes air mata
jatuh menimpa pipinya. Buru-buru Ia menyeka.
“Halo Rizal? Ada apa?”
“Mamaku… aku izin ya. Mamaku mening…gal.”
Potongan terakhir kalimat itu. “Gal.” nadanya melemah. Volume suaranya
merendah. Ia benar-benar tidak sanggup mengakui hal itu. Mama sudah meninggal.
Tut…
Tanpa perlu menanti jawaban dari
temannya itu Rizal langsung mematikan telepon.
Pukul 10:00 wita.
Rumah mulai ramai dikunjungi
pelayat. Satu per satu dengan lemah lembut mendekati Rizal. Memberikan petuah-petuah
singkat. Mengusap kepalanya bahkan tak jarang memeluknya. Bagi rizal ini jelas
sebuah bentuk perhatian. Ia dicintai banyak orang. Tapi bukan ini yang ia
harapkan. Ia ingin diperlakukan layaknya anak laki-laki lainnya. Cukup dielus
punggungnya atau minimal dirangkul saja. Tak usah dipeluk seperti itu. Itu yang
membuatnya merasa semakin sedih. Ah orang dewasa susah mengerti kemauan anak
remaja.
Seperti pamannya yang baru saja tiba
dari kota kabupaten tetangga. Dengan langkah cepat, masuk ke kamar, menangis
disamping jenazah mama, lalu mencarinya. Mencari rizal lalu memeluknya sambil
bercucuran air mata. Dan Rizal, tentu saja tanpa dipaksa akhirnya memecahkan
tangisnya.
Tidak lama. Hanya kurang dari lima
menit tapi sudah cukup mengurangi sedikit beban yang mencengkram erat
jantungnya.
*-*-*
Semua sudah siap.
Ini jumat pertama Ia absen untuk
ikutan sholat berjamaah di masjid. Keluarga sibuk. Dan Rizal semakin tak
sanggup menahan tangisnya ketika melihat wanita yang paling Ia cintai perlahan
mulai dimandikan. Dengan air mata bercucuran Rizal mengambil satu gayung lalu
mengguyurkannya pada si mayit.
Ooh…
Ini semakin berat.
Rizal tidak sanggup lagi saat
melihat mama, yang matanya terpejam itu mulai dibungkus kain putih. Dadanya sakit
tiada dua. Air mata tak bisa terbendung lagi. Ini puncaknya. Ini benar-benar
hasil dari memendam rasa sedih sejak pagi tadi.
Air mata ini ialah gabungan dari air
mata yang seharusnya sudah pecah sejak pukul empat dini hari tadi.
Ah mama?
Ini terlalu cepat. Rizal bahkan
belum berbuat apa-apa untuk mamanya. Kado terakhir yang Ia ingat ialah kecupan
manja beberapa minggu lalu saat lebaran idul fitri. Setelah itu? Belum ada.
Lalu setelah ini siapa yang akan
membangunkannya setiap pagi? Mengurusi segala keperluannya? Bahkan siapa lagi
yang akan memarahinya kalau semalamanya hanya bermain tidak belajar? Siapa yang
akan mencubitnya saat sedang bandel tak patuh? Oh semua itu terkenang lagi
olehnya.
Mama?
Jangan pergi…
Tubuh dibalut kain putih itu sudah
selesai disholatkan. Rizalpun ikut menyolatkan meskipun dengan pikiran kacau
tak menentu. Ini konyol. Tak pernah terbayang sebelumnya, bacaan doa
menyolatkan mayit yang beberapa bulan lalu dipelajari sekarang harus
dipraktikan untuk mamanya sendiri.
Perlahan namun pasti, tubuh itu
mulai dibawa ke lubang kecil. Tempat itu gelap, hanya ada gumpalan tanah, pasir
dan kerikil. Disana juga pasti ada cacing dan binatang kecil mengerikan
lainnya. Rizal tidak sanggup. Ia hanya berdiri beberapa meter di belakang
pelayat lainnya.
Matanya mulai sembab. Air sudah
penuh di kelopak mata. Tinggal menunggu aba-aba, air itu akan jatuh berderai
deras.
Dan…
Setelah prosesi pemakaman selesai. Para
pelayat mulai beranjak pulang, saat itulah Rizal merasakan satu hal. Kakinya tak
mampu lagi berpijak. Tubuhnya jatuh tersungkur. Lututnya menghantam batu besar
di dekat makam Mama. Tapi apa perdulinya dengan rasa sakit itu? Rasa sakit di
dalam dada itu yang tiada duanya.
Ia menangis. Menumpahkan segala rasa
bersalahnya. Air mata tak sanggup dibendungnya. Nafasnya naik turun. Kokoh putihnya
mulai bercampur debu. Air mata jatuh langsung merembes ke permukaan tanah.
“Rizal. Ayo pulang, biarkan mamamu
tenang di alam sana.”
Apa? Membiarkan mama sendirian? Di
tempat ini? Ini gelap.
Dengan sekuat tenaga Rizal mencoba
untuk bangkit namun tidak bisa. Ia tidak merasakan lagi tungkai kakinya. Ia
lemah. Beberapa orang terpaksa menggandengnya, memaksa kakinya untuk bergerak
tapi tidak sanggup.
Oh, semua mulai tidak tampak. Kabur.
Buram. Dan… gelap.
Rizal tidak melihat apa-apa lagi.
Dunia menggelap tanpa cahaya satu titikpun.
Tapi ada mama. Bayangan mama tampak
jelas olehnya. Tersenyum dibalut kerudung hitam yang sering mama kenakan. Ah cantiknya
mama saat itu. Rizal tak sanggup menahan rindu di dadanya. Ia berlari mendekati
mama namun mama seperti berusaha menghindar. Semakin dekat, raga mama semakin
jauh. Jauh.. lalu hilang…
“Mama…?”Rizal terbangun.
Hujan.
Sore itu sudah hujan. Ia terbaring
di sofa merah tadi. Ia lemah tak berdaya. Tubuhnya tak bersemangat untuk
bangkit dari tempat itu. Remuk jantungnya tak tertahankan lagi. Ah, mama kau
sungguh berharga.
Selamat
tinggal mah, Aku merindukanmu…
*-*-*
Mataku sembab.
Ah, setiap kali mengingat kejadian
itu aku selalu menangis. Mama memang berharga dimataku. Bahkan sampai detik ini
belum ada satupun wanita yang mampu menggeser posisi mama di hatiku. Ia sangat
istimewa.
Semua sudah berlalu, enam tahun
lamanya.
Coklat hangat sudah tidak hangat
lagi. Dingin sempurna gara-gara hujan sore ini. Hujan yang sama persis dengan
hujan enam tahun lalu. Langit mendung, hujan rintik dan angin berhembus lembut.
Disini.. aku bisa merasakan
kehadiranmu. Berdiri di belakangku, melingkarkan tangan kedepan lalu
mendekapku. Membiarkan rasa hangat menyergap tubuhku. Mama?
Enam
tahun berlalu, aku masih merindukanmu…