Selasa, 30 Desember 2014

Aku, kamu dan secangkir coklat panas



Ini tidak mudah. Bahkan kalau aku harus berkata jujur, ini sama sekali tidak kumengerti. Kapan pastinya perasaan ini tumbuh aku tidak tahu pasti. Aku sadar, perasaan ini mungkin salah bagi sebagian orang termasuk dirimu. Tapi aku bisa apa? Dulu aku sama sekali tidak memiliki rasa apa-apa padamu. Aku menganggapmu teman biasa sama seperti teman-teman lainnya. Namun akhir-akhir ini, ada rasa nyeri setiap saat aku melihatmu berjalan dengannya. Iya, dengan dia (teman kita lainnya) yang selama ini juga menyukaimu.
()()()
                Kamu tampil sederhana dengan kaos merah muda dan jeans biru. Dari tadi, hampir lima menit yang lalu kamu sibuk membolak-balik menu book, membuatku terpaksa menunggu sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pelan.
                “kamu mau pesan apa?”pertanyaanmu memang tak cocok kujawab sekarang. Bagaimana mungkin aku memesan menu sementara menu book dari tadi ada ditanganmu.
                “sebentar, biar aku tebak. Strawberry cheese cake?”kamu mengangkat wajah, menatapku.
                “NO!”
                “Bagaimana kalau chocobrownies?”
                “Terlalu manis. Aku sudah cukup manis kok.”
                “Idiih. Yee…manis dari hongkong.”
                Aku tertawa pelan. Sebenarnya bisa untukku tertawa keras seperti yang selalu kamu lakukan kalau kita sering kumpul dengan teman-teman lainnya. Tapi tidak aku lakukan, aku tidak mau tawaku menganggu pengunjung lain di kafe ini.
                “Coklat panas.”entah mengapa kalimat itu mengular begitu saja tanpa sempat terpikirkan olehku terlebih dulu. Anehnya, kalimat itu hanya berselisih sepersekian detik dengan ucapanmu barusan.
                “Coklat panas?”
                Kau mengangkat alis, menatapku heran.
                “Kenapa menatapku seperti itu?”
                “Tidak apa-apa. Hanya itu?”lanjutmu bertanya.
                “itu dulu. Nanti setelah menu book tidak kau pakai, baru aku akan memesan yang lain.”
                Kau terkekeh pelan. Memanggil pelayan lalu memesan dua coklat panas dan sepiring choco cheese cake.
                Setelah itu, hampir sepuluh menit berlalu tanpa ada percakapan berarti antara kita berdua. Ini hal yang paling tidak aku sukai kalau kita jalan berdua saja. Kurang lengkap rasanya kalau dua kurcaci lainnya tidak ikut bersama. Seandainya ada, mungkin aku akan menghabiskan jeda-jeda kosong ini berdebat dengan Hamzah, laki-laki yang sangat menggilaimu itu.
                “Kenapa kita tidak ajak Hamzah dan Tyara malam ini?”
                “Tyara lagi sibuk, lembur.”
                “Hamzah?”
                “Aku sengaja tidak mengajak dia kesini.”Sahutmu datar.
                Ekspresimu barusan membuatku mengerti. Ya. Sepertinya usahaku dan Tyara untuk menjodohkanmu dengan Hamzah tinggalah kenangan belaka. Kau sepertinya memang tidak mau untuk dijodohkan dengan laki-laki itu.
                Itu tidak masalah bagiku. Urusan perasaan seseorang siapa yang tahu? Tidak satupun kecuali orang itu dan tuhan. Masalah yang timbul sekarang jauh lebih rumit.
                Aku bahkan tidak pernah tahu kapan tepatnya masalah ini benar-benar mengudara dalam kepalaku. Aku menghela nafas panjang, mengamati tiap lekuk wajahmu, dan… darahku kembali menghangat.
                Ini konyol. Benar-benar konyol.
                Entah mengapa, dimana dan sejak kapan aku juga mulai menaruh rasa padamu. Sebenarnya aku tidak yakin tentang perasaan ini. Beberapa kali aku berusaha menolak mengartikan bahwa jantung yang berdebar kencang setiap kali bersamamu adalah tanda bahwa aku menyukaimu. Ini terlalu cepat.
                Tapi, akhir-akhir ini mulai menyadari satu hal. Setiap kali melihatmu berboncengan dengan Hamzah, seperti ada rasa nyeri tak tertahan didalam sini. Dalam dadaku. Padahal, berbulan-bulan yang lalu aku sama sekali tidak berasa apa-apa bahkan ketika Hamzah bercerita panjang lebar tentang rasa kagumnya padamu.
                Seorang pelayan datang menghampiri dan meletakan dua gelas coklat panas beserta choco cheese cake di atas meja. Aku hanya terpaku, belum berani mengambil gelas punyaku. Karena jika aku mengangkat wajah, itu berarti aku akan menatap wajahmu. Dan aku tidak sanggup melakukan itu.
                “Kamu kenapa? Kok diam terus?”tanyamu seraya menyeruput coklat panas dengan penuh hati-hati.
                Aku menatapmu sekilas lalu berusaha mengendalikan ledakan-ledakan tak bermakna didalam dada. Aku tidak boleh menyukaimu.
                “Aku baik-baik saja.”Jawabku lalu mengambil gelas punyaku. Menyeruputnya pelan. Setidaknya, coklat panas ini mampu melumpuhkan sejenak serangan bertubi-tubi yang membuat jantungku terasa sakit.
                “Kamu benar tidak punya perasaan apa-apa pada Hamzah?”Suaraku bertanya. Pelan dan sedikit bergetar.
                “Aku hanya menganggapnya teman, tidak lebih.”
                Aku menghela nafas panjang. Ada sedikit rasa lega yang kurasakan. Sangat sedikit, karena sisanya masih ditumpuki perasaan bersalah. Jika sampai terjadi rencanaku malam ini untuk mengatakan perasaanku padamu, maka jelas sudah gelar yang akan disematkan hamzah untukku. “tukang tikung”.
                Aku sebenarnya tidak peduli jika jawabanmu nanti ialah menolakku. Aku bisa pastikan, aku tidak apa-apa. Tapi yang aku takutkan, bukan bermaksud Ge-Er, jika kau menerimaku, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan pertemanan kita. Antara aku dan hamzah, antara kita berempat.
                “Tadi ditelpon, katamu ada hal yang ingin kamu katakan padaku. Ada apa?”
                Aku baru ingat, aku memang sudah merencanakan dari awal untuk mengatakan perasaan ini padamu. Aku harus berkata jujur agar rasa nyeri ini tidak berkepanjangan. Rasa ini tidak ada obatnya sama sekali kecuali berkata jujur.
                Tidak boleh! Biarlah rasa ini kupendam sendiri, biarkan ia ditelan waktu, disingkirkan begitu saja. Aku tidak mau merusak hubungan kita. Hubunganku denganmu, hubunganku dengan hamzah rusak karena kejujuran ini. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa lebih baik jujur meski menyakitkan. Itu benar, tapi apa mereka mau merasa tersakiti oleh kejujuran yang mereka lakukan sendiri? Kalau aku, aku belum sanggup.
                Maka malam ini, aku biarkan rasa itu menguap begitu saja. Diantara kita berdua yang duduk berhadapan, tidak berani menatapmu atau menatapmu sekilas saja.
                “kalau ada yang ingin kamu bicarakan, katakan saja. Waktu tidak akan pernah menunggu apalagi berputar ke belakang. Tidak pernah.”
                Semua terasa hambar. Kalimatmu barusan memang telah menyadarkanku, tapi aku tetap memilih untuk tidak sadar. Membiarkan rasa ini menguap bersama kepulan asap yang menari-nari diatas gelas coklat panas dihadapan kita berdua. Aku kembali terdiam, mengutuk perasaan tak pantas ini.