Selasa, 24 Februari 2015

Siapa yang berhak menolak kehadiran jodoh?

            “kakak mau yang bagaimana lagi?”
            Perempuan dengan kerudung coklat itu bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
            “Aku tidak tahu Lin.”
            “Kak? Sekarang semuanya ada padamu. Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”Lina memegangi dua lengan kakaknya, Rina.
            Rina diam tidak menyahut. Tatapannya kosong tak bermakna sama sekali. Ia masih ingat bagaimana rumah tangganya yang hancur beberapa tahun yang lalu. Ia takut untuk kembali jatuh cinta. Ia takut untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan laki-laki manapun apalagi dengan laki-laki yang belum dikenalnya sama sekali.
            Hatinya masih cukup nyeri menyaksikan pernikahan lelaki itu dua minggu yang lalu. Ia takut berharap lebih sekalipun kali ini sepertinya itu bukan sekedar harapan melainkan kenyataan.
            “Kak? bagaimana?”
            Rina menggeleng pelan.
            Pernikahannya yang dibangun hampir enam tahun tiba-tiba kandas begitu saja karena kehadiran orang ketiga dalam hubungan mereka. Ardi, dengan perasaan tak bersalah sama sekali, mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi sekaligus bercerai dari Rina.
            Rina tentu syok berat. Apa-apaan ini? tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja minta cerai. Memang, akhir-akhir ini kelakukan Ardi berubah 180 derajat. Ardi yang biasanya pulang dengan senyuman, kali ini berubah. Ia jadi lupa mengucap salam. Ia juga tidak pernah bermesra-mesraan lagi dengan Rina. Ia jadi pendiam. Setiap kali diajak bicara serius, Ardi memilih untuk menjauh.
            Rina sebenarnya sudah cukup curiga dengan tingkah laku Ardi namun Ia masih berusaha berpikir positif. Mungkin Ardi lagi capek karena akhir-akhir ini penghasilan mereka kurang. Terkadang Rina hanya masuk telur ceplok dan sambal untuk makan malam mereka.
            Pekerjaan Ardi sebagai tukang ojek memang tidak bisa diharapkan terlalu banyak. Untung-untungan bisa dapat banyak, beberapa kali malah tekor karena terlalu banyak biaya bensinnya. Dan Rina mengerti kalau hanya persoalan itu. Enam tahun menikah dan persoalan itu hanya seperti bumbu pemanis dalam hubungan rumah tangga mereka yang tampak sangat harmonis itu.
            Puncaknya Rina menerima laporan dari tetangga yang tidak sengaja melihat Ardi sedang berada di pasar. Rina mengerti pasti Ardi sedang mencari penumpang di sana tapi bukan itu laporan yang Ia terima. Tetangga yang tidak mau disebutkan namanya itu - sebut saja namanya mawar – melihat Ardi sedang membantu seorang perempuan berjualan sayur, buah, dan obat-obatan.
            Rina yang memang sangat pencemburu itu, menyambut kepulangan Ardi dengan wajah merah padam.
            “Ada apa? suami pulang kok tidak disambut baik-baik? aku lapar. Mana makanannya? Jangan bilang hanya ada telur ceplok lagi.”
            “Lalu mas maunya apa? ikan? Aku kehabisan uang mas untuk belanja keperluan sehari-hari. Akhir-akhir ini mas tidak pernah memberikan lagi uang belanja.”
            “KAMU SENDIRI KAN TAHU SEKARANG LAGI SEPI. PENUMPANG TIDAK MAU NAIK OJEK. ALASANNYA PANAS LAH, UJAN LAH. LALU KAMU APA? MAU AKU MENCURI? KENAPA TIDAK KAMU SAJA YANG CARI KERJA? AKU CAPEK, KAMU TIDAK PERNAH MENGERTI KEADAAN AKU.”
            “Mas??...??”Rina mengatupkan bibirnya. Terkejut bukan kepalang melihat Ardi yang tampak bak Monster yang siap menerkam. Matanya melotot. Nyali Rina tiba-tiba ciut. Ia tidak jadi memarahi suaminya itu.
            “APA? KAMU MAU MINTA CERAI???”
            Rina menggeleng, ketakutan.
            “AKU MAU KITA CERAI. AKU TIDAK BISA LAGI HIDUP DENGANMU.”
            “Mas? Kamu bercanda kan?”
            “Aku serius! Aku tidak pernah bercanda dengan omonganku. Waktu melamarmu dulu, apa kau pikir itu bercanda?”
            Rina teringat kejadian enam tahun silam. Ardi dengan lantangnya, meski hanya bermodalkan pekerjaan sebagai tukang ojek, datang dengan gagahnya melamar Rina langsung pada orang tuanya.
            “Aku tidak percaya. Mas? Kamu bercanda kan mas?”
            “Aku tidak bercanda. Aku mau kita cerai!”Ardi menepis tangan Rina yang menyentuh pipinya dengan lembut.
            Rina menahan airmatanya yang mau jatuh. Jantungnya seolah tertikam benda tajam. Sakit? tidak, tapi sangat sakit. Ia hampir pingsan.
            “Aku mencintai perempuan lain.”
            Hah???
            Setelah itu Ardi pergi tanpa pamit sama sekali. Rina ditinggalkan seorang diri. Menangis sejadi-jadinya. Dalam rumah berukuran 4 x 4 meter itu, Rina terus saja menangis. Juga berharap Ardi akan pulang lalu menenangkannya. Tapi tidak terjadi, sampai subuh tiba, bahkan magrib kembali menyapa, Ardi tidak kembali.
            Tiga hari laki-laki itu tidak pulang dan tidak memberikan kabar. Kejadian malam itu yang selalu disembunyikan akhirnya diketahui juga oleh adiknya, Lina. Perempuan dengan bodi bigsize itu malah dengan lantang menyuruh Rina untuk bersikap. Terima saja ajakan laki-laki itu untuk bercerai. Selesai.
            Tapi bagi rina apakah itu mudah? Enam tahun mereka melewati suka dukanya ikatan rumah tangga. Tiga tahun mereka melewati masa perkenalan yang sekarang lebih ngtren disebut pacaran. Satu tahun mereka saling kenal, curi-curi pandang, saling sapa satu sama lain, malu-malu kucing. Jika ditotalkan, 10 tahun sudah mereka menerima takdir tuhan. Mengikuti drama yang telah tersusun sangat rapi. Lalu? Harus bercerai? Cinta… dimana CINTA?
            “Bercerai? Kamu tahu? Yah, Paman yakin kamu sudah tahu. Saudara-saudaramu juga tahu, adikmu yang masih kuliah itu juga tahu. Ponakanmu yang baru masuk SMA juga tahu, bercerai itu HALAL. Allah tidak melarangnya, tapi sayang sekali, Allah tidak menyukai hal itu.”Pamannya menjelaskan panjang lebar.
            Sebagai satu-satunya saudara laki-laki dari almarhum Ayahnya, sudah tepat laki-laki berusia 72 tahun itu dijadikan tempat bertanya dan meminta pendapat. Saat itu mereka semua sedang berkumpul di ruang keluarga rumah paman. Ada Lina, Ramzi – kakak pertamanya – dan Reza – adik pertamanya dari istri kedua ayah.
            “Tapi paman, bukankah pernikahan yang menyiksa pasangannya haram hukumnya? Bukankah lebih baik kita melakukan tindakan halal meski menyakitkan daripada menikmati keindahan yang diharamkan? Lagipula…”
            Lina tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Rina mencubitnya pelan.
            Paman menghela nafas lalu berkata,
            “Kalian tahu? Ilmu agama paman masih sangat sedikit. Paman tidak bisa memberikan pendapat lebih tentang kejadian seperti ini. Paman hanya berharap, semoga keputusan yang kau ambil bisa memberikan manfaat padamu dan pada kita semua. Semoga keputusan yang kau ambil, bisa lebih mendekatkan dirimu pada sang pencipta.”
            Hari itu juga keputusan yang paling tepat meski sulit, diambil. Perceraian tidak bisa dicegah. Sidang perceraian berlangsung cepat. Tidak perlu ada yang diperdebatkan. Meski harus mengorbankan airmata tapi tetap harus diputuskan. Mereka bercerai. Pernikahan 6 tahun sirna. Perkenalan 3 tahun hilang. 1 tahun PDKT, musnah.
            Setelah perceraian itu Rina memutuskan untuk ikut dengan Lina ke kampung halamannya. Kembali ke daerah seberang. Di kota ini, tentunya masih banyak kenangan yang akan membuatnya semakin sedih. Ia yakin, di daerah seberang, tanah Ia dilahirkan dan dibesarkan, Ia bisa melupakan laki-laki biadab itu.

**O**
            Dua tahun sudah berlalu, Rina sudah bisa melupakan kenangannya bersama Ardi. Meski tidak cepat, meski tidak banyak tapi sudah cukup mengobati luka didadanya. Ternyata benar, di desa ini, desa yang begitu asri dengan pepohonan yang rindang. Desa yang dialiri sungai nan jernih, diapit oleh bebukitan, jalannya pun masih bebatuan, pemandangan masih perawan, semuanya hilang dengan perlahan. Ardi lenyap dari pikirannya bersamaan dengan kedatangan seorang laki-laki, duda.
            Namanya Hasan.
            Oh sungguh dikira Hasan akan menjadi pelabuhan terakhir Rina? Belum tentu.
            Hasan sudah bercerai dengan istrinya. Kalian tahu apa yang terjadi antara Hasan dan Rina? Oke tunggu.
            Hasan dan Rina ternyata pernah menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dekat dulu sebelum Rina memutuskan untuk merantau ke kota, ikut dengan ayahnya. Hubungan mereka sangat direstui orang tua Hasan. Sungguh, tidak ada yang menduga, ketika mendengar kabar perceraian Rina, orang tua Hasan bersorak bahagia.
            Hasan sudah bercerai dengan istrinya lebih dulu sebelum perceraian Rina. Jadi kalian jangan berpikir kehadiran Rina adalah penyebab hancurnya mahligai rumah tangga mereka.
            Di desa ini, kembali tumbuh kenangan-kenangan manis di masa SMP dan masa SMA. Masa dimana mereka jalan berduaan, melewati jalan bebatuan, terkadang bersepeda bersama untuk pergi ke sekolah. Sepulang sekolah SMP, mereka singgah di kebun mangga milik Pak RT, memanjatnya tanpa pamit pada pemiliknya. Biasanya Hasan yang memanjat dan Rina yang berjaga-jaga dibawah.
            Memasuki masa SMA, masa dimana kirim-kiriman surat sangatlah keren bahkan di pelosok desa yang listriknya bisa sehari tidak menyala. Mereka saling mengagumi satu sama lain. Kekaguman itu mereka tuangkan dalam kertas, membentuk syair. Terkadang membentuk puisi. Indah.  Lalu apakah surat-surat itu saling dikirimkan? Jawabannya tidak. Mereka memilih untuk menyimpannya, masing-masing takut untuk saling mengungkapkan.
            “Kamu ingat pohon mangga itu?”Hasan membuka pembicaraan ketika mereka lewat di depan rumah Pak RT. Tidak ada yang berubah kecuali warna cat pagar yang diperbarui setiap puasa dan lebaran. Setahun sekali.
            “Iya. Kamu masih berani memanjat pohon itu?”
            “Kamu mau makan mangganya Pak RT?”Hasan tertawa kecil.
            Rina hanya tertawa.
            Dua tahun berlalu dan ternyata Rina belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain, termasuk Hasan. Hasan yang terus berusaha, memberikan kode-kode, termasuk bercerita tentang kebahagiaan Ibunya saat mendengar kabar perceraian Rina, tidak menghasilkan apa-apa. Rina masih memilih untuk sendiri.
            Sebenarnya Rina sudah mulai menyukai Hasan tapi Ia takut. Ia sangat takut tersakiti untuk kedua kalinya. Ia tidak mau kejadian di kota beberapa tahun lalu kembali terulang di desa ini. jika sampai terjadi? Ia harus kemana lagi?
            Hasan putus asa.
            Sia-sia Ia menunggu tiga tahun sejak perceraiannya dengan sang istri.
            Hasan memutuskan segera menikah. Dengan perempuan lain.
            Ia tidak peduli pada Ibunya yang masih mengharapkan RIna.
            Undangan disebar. Satu desa heboh. Bukan dengan pernikahan itu, tapi dengan calon pengantin perempuan yang ternyata bukanlah Rina. Padahal sejak kepulangan Rina, satu desa berharap mereka bisa berjodoh. Menikah lalu bahagia. Tapi mau dikata apa? manusia hanya bisa berharap, selebihnya tangan tuhan lebih ahli untuk bekerja.
            RIna menerima undangan itu. Hatinya sedih. Sesak. Menyesal.
            Pernikahan dilangsungkan begitu mewah. satu desa datang kecuali Rina. Rina tidak sampai hati hadir ke pernikahan itu. Bukannya tidak menghargai undangan. Ia tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika Ia hadir dalam pernikahan itu. Satu desa bisa double heboh melihat kedatangannya. Dan Hasan, mungkin Ia tidak akan fokus saat akad nikah nanti. Bisa-bisa Ia salah sebut nama saat Ijab Qabul.
            Rina hanya berdiri jauh beberapa meter dari tenda yang terpasang di halaman rumah mempelai wanita. Ijab Qabul baru saja dilaksanakan. SAH. Hasan tidak duda lagi.

**O**
            Dua minggu berlalu, Rina masih menyimpan sesal dalam hatinya. Tapi semua pasti akan baik-baik saja. Ardi saja bisa Ia lupakan, kenapa Hasan tidak?
            Saat itu, Ia sedang menjemur kain di samping rumah. Lina  sedang berdagang di kantin sekolah. Suami Lina lagi di pasar. Anak-anaknya Lina? Yang nomor satu sudah mengajar di SMA, nomor dua lagi di kota sedang kuliah, yang nomor tiga baru lulus SMA dan sudah bekerja di kecamatan tetangga.
            Seorang laki-laki berwajah oriental datang mendekat. Membeli pulsa. Kebetulan Rina sudah berjualan pulsa sejak kedatangannya ke desa ini.
            “Maaf tidak ada kembaliannya.”
            “Oh begini saja. nanti malam saya balik lagi untuk ambil kembaliannya. Saya lagi buru-buru, mau mengurusi kebun cengkeh saya. Bisa?”
            “Tapi koh?”
            “Boleh?”
            “Boleh.”
            Laki-laki tanpa identitas itu buru-buru naik ke mobil bersama anak buahnya. Rina hanya bisa mengerjapkan mata ketika laki-laki berwajah tionghoa itu menghilang bersama mobilnya diujung jalan. Rina tidak pernah melihat wajah laki-laki sebelumnya. Kalau wajah anak buah si Engkoh itu, Rina sudah sering melihat wajah mereka.
            Sampai menjelang magrib tidak ada tanda-tanda kedatangan si Engkoh misterius itu. Rina tidak kenal namanya jadi selama berbicara dengan Lina Ia selalu menyebutnya Engkoh.
            “Mungkin itu malaikat kali.”
            “Malaikat apa? kamu itu, bicaranya mulai ngawur.”
            “Kan tidak ada yang tahu. Kakak sendiri tahu siapa dia?”
            Rina menggeleng.
            “Nah, itu berarti…”
            “Tapi anak buahnya dia, aku pernah melihat mereka.”
            “Itu hanya halusinasi saja. Pelengkap.”
            “Ah sudah-sudah. Kamu ini, sudah mau gelap malah bicara tidak jelas. Aku mau sholat magrib dulu. Nanti kalau laki-laki itu datang dan minta uang kembalianya, kamu saja yang ngasih.”
            Dan tepat beberapa menit setelah waktu magrib selesai, terdengar salam dari pintu rumah. Lina dan anak pertamanya yang saat itu sedang di dapur menyiapkan makan malam buru-buru berlari ke luar.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam. Oh, ini pasti si engkoh yang mau ngambil uang kembalian ya?”
            “Iya. Boleh masuk?”
            “Boleh koh, boleh.”
            Setelah menerima uang kembali, si Engkoh dan anak buahnya yang ada dua orang itu tidak langsung pulang. Mereka masih duduk saja di ruang tamu membuat Lina dan anak pertamanya saling pandang. Bertukar pendapat lewat alis yang naik turun dan bola mata yang kesana kemari.
            “Maaf ya engkoh, ada lagi yang bisa kami bantu?”
            “Hmm… begini. Maksud kedatangan saya kesini…”
            “Assalamualaikum.”belum lengkap penjelasan si engkoh tiba-tiba suami Lina masuk.
            “Ada tamu rupanya? Tidak disuguhin minum Bu?”
            “Oh iya Ibu lupa. Ayo Win.”
            Dua perempuan itu berebut masuk ke dapur. Membiarkan si engkoh berbicara langsung dengan suaminya Lina. Sementara Rina di dalam kamar sudah selesai sholat magrib tapi masih membaca Al-Quran, kebiasaannya sejak dulu.
            “Jadi ada tujuan apa engkoh datang ke sini?”
            “Saya mohon maaf terlebih dulu. Kalau saya lancang dan kurang sopan mohon dimaafkan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.”
            “Oh iya katakan saja, tidak apa-apa.”
            “Saya sudah bicara dengan anak buah saya ini. Katanya di rumah ini ada perempuan bernama Rina yang baru saja pisah dengan suaminya. Kebetulan, sebulan yang lalu saya resmi menjadi Duda. Dan kalau diijinkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya ingin meminang perempuan itu untuk menjadi istri saya.”
            Duar!!!
            Di luar kembang api meledak-ledak, warnanya pecah, cantik dan indah.
            Cukup, imajinasinya berlebihan.
            “Oh My..”Anak pertama Lina tidak jadi menjerit. Mulutnya sudah lebih dulu dibekap tangan besar ibunya.
            Mereka di dapur tidak bisa berbuat apa-apa selain loncat kegirangan. Lupa pada Teh yang sedang dibuat. Sementara suami Lina masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan lelaki itu barusan.
            Lalu Rina? Yang kamarnya tepat bersampingan dengan ruang tamu. Yang kalau Ia membuka pintu langsung menghadap ke tempat pembicaraan itu.  Apa yang sedang terjadi dengannya? Syok!
            Hatinya tiba-tiba menderu tiada dua. Dug, Dag, Dig, Deg.
            Apa yang baru saja didengarnya? Ini tidak bercanda kan? Secepat itu? secepat itu laki-laki tadi melamarnya? Oh tuhan, scenario apalagi yang sedang engkau mainkan? Rina merinding dibalik mukena yang ia kenakan. Tidak sadar, airmatanya jatuh membasahi kitab di pangkuannya.
            “Ini pasti mimpi.”
             “Kakak?”
            Rina terkejut untuk kedua kalinya saat Lina dengan wajah berseri-seri sudah berdiri dihadapannya. Ia baru saja meletakan minuman dan sepiring kue untuk tamu mengejutkan itu.
            “Bagaimana? Aku yakin kakak pasti sudah mendengarnya.”
            “Ssst…”Rina tidak menjawab dan malah menyuruh adiknya itu diam. Mereka harus mendengar pembicaraan Si Engkoh dan suaminya Lina.
            “Begini Engkoh..”
            “Maaf, panggil saja Heri.”
            “Oh iya, begini Pak Heri. Bukannya saya mau menolak, tapi yang mau menjalani hubungan nanti kan saudara Ipar saya, bukan saya. Lagipula saya disini hanya sebagai saudara Iparnya, Ia masih punya tiga saudara laki-laki dan satu paman sebagai pengganti dari almarhum ayahnya. Jadi dengan tidak mengurangi rasa hormat, rasanya hal ini harus dibicarakan dulu dengan saudara-saudara dan keluarganya di kota seberang. Bagaimana?”
            “Ah, suamiku cemen sekali. masa urusan begini harus kasih kabar dulu ke kota?”
            “Suamimu bijaksana Lin.”Jawab Rina sambil senyum-senyum.
            “Jadi…?”
            “Aku belum tahu.”
            “kakak mau yang bagaimana lagi?”
            Perempuan dengan kerudung coklat itu bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
            “Aku tidak tahu Lin.”
            “Kak? Sekarang semuanya ada padamu. Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”
            Setelah berdebat cukup lama di dalam kamar akhirnya Rina mengalah dan menurut dengan ajakan Lina untuk keluar dan bicara langsung dengan si Engkoh Heri itu. Eh, si Engkoh malah malu-malu kucing saat Rina keluar dari kamar dan duduk dihadapannya.
            “Jadi kalau memang diterima, saya ingin akad nikahnya dilakukan secepat mungkin. Saya tidak mau lama-lama. Minggu depan juga bisa.”
            What???
            Rina, Lina dan suami Lina terkejut bukan kepalang. Kenal saja baru tadi, memintapun baru tadi, eh minggu depan sudah mau akad nikah. Gila Si Engkoh ini kali ya?
            Setelah berbicara cukup panjang, Rina yang secara pribadi sudah menerima tapi masih mau memberi kabar ke kota seberang, Rina yang sudah mau tapi akad nikahnya nanti setelah lewat dari 100 hari Almarhumah Istrinya si Engkoh, akhirnya kabar itu sampai ke kota seberang via telepon.

            “Kamu serius Rin? Kalau kamu mau, kakak juga setuju.”Kakak pertamanya memberi persetujuan.
            “Tapi Rina maunya nanti setelah lewat 100 hari meninggalnya almarhumah Istrinya. Tapi si engkoh itu minta kalau bisa minggu depan, atau paling telat setelah lewat 40 hari meninggal Istrinya.”
            “Rina? Jangan suka menunda-nunda kedatangan jodoh. Kita tidak tahu seperti apa takdir yang sedang tuhan gariskan untuk kita. Terima saja, jangan menunda-nunda. Paman berharap kali ini semoga kamu mendapatkan laki-laki yang pantas untuk disebut suami.”Si Paman malah 100% mendukung keputusan si Engkoh.
            “Kakak tidak bercanda kan? Minggu depan? Ya sudah, insha allah aku sama anak istri aku akan datang.”Adik pertama dari istri kedua ayahnya bersorak bahagia. Namun tetap terselip rasa kaget dari tawa bahagia itu.
            “Adik bagaimana? Dia bisa datang kan?”
            “Entahlah Kak. nanti Aku coba bicara dulu.”
            Kabar bahagia itu akhirnya sampai juga ditelingaku. Aku yang tidak percaya tentunya geleng-geleng. Dua hari lagi harus berangkat dan aku belum sempat minta izin di tempat kerja. Ah, padahal jadwal cutiku dua bulan lagi, dan aku sudah berencana untuk mengunjungi desa itu.

**O**
            Semua sudah disiapkan. Rumah tiba-tiba ramai oleh kedatangan tante-tante, sepupu, keponakan dan tetangga yang ikut merapikan rumah. Tenda di pasang di halaman rumah. Satu desa heboh dengan kabar ini. Besok akad nikah sekaligus malam syukuran atas pernikahan mereka. tidak ada hiburan sama sekali. Rina tidak suka.
            “Kalau menikahnya terlalu ramai, aku takut kalau bercerai nanti ramai juga.”
            “His. Kakak bicara apa sih? akad nikahnya nanti besok kak. jangan dulu bahas cerai-ceraian.”
            Keluarga dari kota tetangga akan datang dengan kapal malam ini. kemungkinan besar, jika tidak ada halangan besok pagi mereka sudah tiba di rumah. Ada Ramzi, beserta Istri dan anaknya. Ada Reza yang juga datang bersama istri dan anaknya. Terakhir ada adik bungsunya yang baru saja tamat kuliah dan sepertinya masih betah sendiri. Setiap kali ditanya oleh Rina, apalagi keluarga besar, si adik malah senyum-senyum tidak jelas.
            Ah, dua tahun yang lalu aku terakhir menginjakkan kaki ini, tidak banyak yang berubah kecuali anak-anak desa ini yang semakin modern. Padahal dulu, dulu sekali saat aku masih SD sampai kelas 1 SMA, desa ini selalu ramai dengan anak-anak yang berlari kesana kemari tanpa gadget ditangan mereka. Kalau malam tiba, listrik padam dan menyala nanti pukul 12.00, jalanan desa ramai dengan petikan gitar anak-anak muda desa ini. Tapi untuk sekarang? Anak-anak muda itu telah merantau, jauh dari desa ini. Sekarang, rasanya kota mati cocok disematkan pada desa ini, kecuali malam ini, malam syukuran.
            Tadi pagi, ketika keluarga tiba, akad nikah langsung dilaksanakan. Tidak ada yang diundang kecuali keluarga besar. Ada pamannya, tante-tantenya, sepupu-sepupu, keponakan, adik-adik dan kerabat dekat. Rumah ramai. Dapur juga ikut berseru ramai ketika si Engkoh dengan gagahnya mengucapkan Qabul.
            SAH!!!
            Alhamdulillah.
            Acara syukuran yang sederhana dilangsungkan pada malam hari. Ramai meskipun tanpa hiburan sama sekali. Banyak yang datang memberikan ucapan selamat dan mendoakan agar pernikahan ini berkah. Termasuk Hasan yang datang tanpa ditemani istrinya.
            Sungguh, tiada insan yang lebih bahagia pada malam ini kecuali Rina.
            Semua datang tidak terduga. Lalu siapakah yang berhak menolak kehadiran jodoh? Atau jangan sebut dulu jodoh. Siapa yang berhak menolak takdir tuhan? Scenario tuhan? Tidak ada. Kita hanya manusia. Terima saja takdir untuk kita ini.
            Lalu Rina?
            Jelas, raut bahagia tampak diwajahnya. Sepertinya Ia harus siap untuk berpisah dengan adiknya, Lina. Ia akan dibawa pergi si engkoh ke kecamatan seberang, jaraknya 16 KM dari desa ini. Si Engkoh harus mengurusi warung makannya di pusat kecamatan. Juga harus mengurusi kebun cengkeh, perusahaan kayu, dan banyak lagi.
            Rina, ah, kau sungguh beruntung. Kau lepaskan si tukang ojek tak tahu diri itu. Dua tahun dia berusaha tegar untuk melupakan segala kenangannya bersama mantan suaminya, dan sekarang lihat? Tuhan sedang menggariskan takdir yang lain untuknya. Terserah akhir dari takdir ini mau bagaimana lagi, tapi satu yang pasti, ini saatnya Rina untuk menjalani takdir dengan sebaik-baiknya. Tuhan maha baik. Tuhan maha mendengar. Doa Rina mulai dikabulkan satu persatu.
            Semoga, kelak suatu saat nanti tuhan juga mau mengabulkan doaku. Doaku tidak muluk-muluk kok. Tuhan tahu, aku sering menyebut nama perempuan itu dalam doaku. Perempuan kedua yang kusebut selain Ibuku. Tuhan tahu, aku sudah sering bicara dengannya tentang perasaanku pada perempuan itu, yang ah, entah mengapa sampai sekarang rasa itu belum juga sirna. Padahal waktu dan jarak rasanya sudah cukup dijadikan alasan kuat untuk aku berhenti mengharapkannya.
            Atau selama ini, aku yang sama sekali tidak menarik baginya? Bagi hatinya?


*Cerita ini terinpirasi dari kisah nyata. Diedit dan dimanipulasi untuk kebutuhan publikasi.
*Bahwa, tuhan selalu punya scenario terbaik. Selalu ada makna dibalik gelapnya malam tanpa bintang.
*Tidak usah berpikiran macam-macam. Ini hanya karya Fiksi yang terinspirasi dari kisah Nyata.

Nikmati saja. Baca saja. tidak usah menduga-duga apalagi yang aneh-aneh.

Cinta itu logika berperasaan

     
  Mungkin jika teman-temanku tahu apa yang aku lakukan malam ini, mereka pasti akan mengomel sepanjang malam. Kalau memang mereka belum puas mereka akan melanjutkan ocehan itu besok hari, esoknya lagi dan esoknya lagi sampai akhirnya aku meminta maaf.
            Yups!
            Jadi bisa dipastikan apa yang aku lakukan sekarang tanpa pengetahuan mereka. Aku tidak berbohong ketika Denada mengajakku keluar malam ini, menemaninya ke mall, tapi aku menolaknya dengan alasan aku ada urusan penting mendadak. Memang, pertemuan malam ini mendadak dan lumayan penting.
            Di sini, suasana terasa cukup canggung. Sudah lama sekali suasana seperti ini tidak pernah terjadi lagi. Mungkin sekitar dua tahun lebih atau bisa juga tiga tahun. Aku sudah lupa sebab Denada memaksaku untuk melupakannya.
            “Aku hampa tanpa dirimu.”Bisiknya coba merayuku. Basi.
            Aku tersenyum jijik. Entah sudah berapa banyak laki-laki ini mengatakan kalimat barusan pada puluhan wanita di luar sana. Entah sudah berapa kali Ia mencoba merayuku dengan kalimat itu.
            “Kamu tidak rindu padaku?”
            Untuk apa? untuk apa aku merindukan seseorang yang sudah aku coba mencintainya setulus hati, mengorbankan semua yang aku miliki, aku hampir kehilangan teman-temanku karena dia, tapi dia malah berselingkuh. Memilih perempuan lain yang menurutku, Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas perempuan tidak penting itu.
            “Bagaimana kabarmu?”
            Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit aku dan dia di tempat ini, tempat favorit kita dulu, aku memberanikan diri bertanya kabar. Aku bisa dengan jelas melihat senyum bahagia di wajahnya.
            “Aku tidak baik. Setelah kamu pergi, aku rapuh.”
            “Kamu yakin?”
            “Iya.”
            “Bukannya ada banyak sekali caramu untuk tidak merasakan rapuh? Bahkan sebelum aku pergi.”
            “Aku menyesal telah melakukan itu.”
            “Aku lebih menyesal telah mempercayaimu dengan begitu polos.”
            Dia diam. Sepertinya kalimatku barusan hampir menyadarkannya bahwa masa lalu diantara kami terjadi karena kepolosanku. Aku tahu keputusanku menemuinya malam ini sangat fatal. Aku tidak bisa memastikan apakah setelah perjumpaan sekarang aku akan kembali menyanyanginya atau tetap berusaha untuk melupakannya.
            Angin berhembus pelan.
**O**
            Angin berhembus pelan.
            Air mataku yang jatuh langsung mongering di pipi. Terlambat.
            Denada, Tiara, dan Sri berdiri beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.
            Seandainya dulu aku bisa lebih peka pada keadaan. Seandainya dulu aku lebih percaya pada teman-temanku, manusia yang menghabiskan waktu delapan tahun denganku, dibandingkan harus percaya padanya, lelaki yang baru aku kenal dua tahun terakhir ini.
            Lalu aku bisa apa sekarang? Menyesali yang telah terjadi? Mungkin.
            Aku menghela nafas panjang.
            “Aku melihatnya jalan sama perempuan lain.”Kesal Denada waktu itu.
            “Iya. Kamu harus percaya.”
            Aku mengangguk singkat.
            Mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang jalan dengan Hilman itu. mereka kenal dengan perempuan itu? Tidak. itu pasti sepupunya Hilman atau teman kampusnya atau bisa jadi orang yang menumpang saja.
            Aku sudah jenuh mendengar komentar buruk mereka tentang Hilman. Laki-laki yang rela datang tengah malam, hujan-hujanan hanya karena aku berkata aku kangen, lalu mereka bilang selingkuh. Memang tidak ada yang mustahil di muka bumi ini, tapi coba deh kalian masukin logika.
            Aku mengenal Hilman dua tahun yang lalu lewat sebuah konser artis. Laki-laki yang murah senyum dan baik. Dan selama ini Ia menunjukan sikap yang baik-baik saja. Ia selalu datang ke rumah, kadang membantu ibu belanja ke pasar atau supermarket. Mengangkat barang belanjaan ibu tanpa dimintai tolong sama sekali. Ia juga sering menemani ayah begadang sampai larut malam hanya untuk bermain catur. Bahkan Ia lebih sering menemani ayah dibandingkan menemaniku, kalau sedang di rumah.
            “Kamu itu pacaran sama aku atau sama ayahku sih?”
            Kesal aku bertanya padanya namun hanya dijawab dengan senyuman manisnya.
            “Kan kalau pacaran sama anaknya, harus bisa juga pacaran sama ayahnya. Bukan begitu?”
            “Bukan!”Aku menjawab ketus.
            Kalau sudah begitu, dengan wajahnya yang rupawan itu, hidung mancung, alis mata yang tebal dan teratur, mata bulat mempesona dan dua gigi kelincinya, Ia akan menatapku dan berkata,
            “Kamu tetap satu-satunya. Tidak ada dan tidak akan ada yang lain.”
            Memang, beberapa bulan yang lalu aku memergokinya sedang jalan berdua dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal. Mereka bergandeng mesra seolah tidak menyadari aku berdiri hanya beberapa meter dari tempat mereka bermesraan. Padahal, dua hari yang lalu aku dengannya baru saja bertengkar hebat. Aku marah karena ada perempuan lain yang suka sekali mengiriminya SMS mesra.
            “Hilman? Jadi begini kelakukanmu sebenarnya?”
            Teriakku tidak peduli pada tatapan orang sekitar. Denada yang saat itu sedang berada denganku, segera menarikku dari kerumunan orang. Memasukkan aku ke dalam mobil lalu memutar musik sekencang mungkin. Denada mungkin lagi stress, dia menyetel lagu DJ. Tapi bukan itu tujuannya, Ia sengaja memutar lagu itu karena aku sedang menangis terisak dalam mobil.
            “Sudahlah. Kau sudah lihat kan sekarang bagaimana dia sebenarnya? aku sudah capek, aku lelah memberitahu yang sebenarnya tapi kamu tetap tidak percaya.”
            Hari itu juga aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Hilman. Apa yang terjadi? Bisa dipastikan aku menangis seminggu lebih. Hubunganku yang telah jalan setahun lebih berakhir dengan kehadiran perempuan itu? aku bahkan tidak percaya hubungan kami telah berakhir.
            Tapi Hilman bukan laki-laki biasa. Ia berani mendatangi rumahku pada saat aku berada di puncak amarah yang melemahkanku. Ayah dan Ibu, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, menyuruhku keluar dari kamar hanya untuk menemani Hilman di teras rumah.
            “Aku minta maaf.”
            “…”
            “Aku melakukan itu karena aku stress. Aku bingung, aku tidak tahu kenapa aku sampai menerima ajakannya untuk jalan malam itu. Aku mengaku salah. Karena kamu marah padaku waktu itu, itu yang membuat aku stress. Dan sekarang, kamu mau memutuskan hubungan kita? Kamu bercanda kan? Aku tidak sanggup hidup tanpamu.”
            Hilman. Benarkah itu? aku tidak sanggup melihat wajahnya yang memelas permohonan maaf dariku. Memang benar sejak kejadian waktu itu, Ia sempat mengejar mobilku dan Denada tapi memang dasar Denada yang niat sekali memisahkan kami berdua, Ia menarik gas mobil sekencang mungkin. Hilman tidak bisa mengejar.
            “Kamu mau kan maafkan aku? aku janji.”
            “Janji???”Aku mengangkat kelingking tangan kananku.
            “Janji.”Jawab Hilman sambil meraih tanganku dan menciumnya. Lembut.

**O**
            “Perempuan itu yang kegatelan.”Kataku pada Denada dan teman-teman lainnya ketika kami saat itu sedang berada di rumah Tiara untuk mengerjakan tugas kampus.
            Mereka sudah tahu aku dan Hilman baikan lagi kemarin. Bahkan Hilman yang mengantarkanku tadi ke rumah Tiara. Aku sudah menceritakan pada mereka panjang lebar. Aku sudah menceritakan awal kejadian ini yang sebenarnya. semua berawal dari aku, yang tidak melakukan check and recheck.
            Denada, Tiara dan Sri hanya bisa mengusap dada mereka. Sudahlah, tidak usah pikirkan mereka. Mereka hanya terlalu phobia pada laki-laki yang sangat ramah dengan siapapun. Mereka mungkin tidak pernah memiliki pacar atau gebetan yang seramah Hilman. Lihat pacarnya Tiara? Dengan kami saja dia jarang senyum. Kadang kalau kami jalan ramai-ramai, berdelapan dengan pasangan masing-masing, pasangannya Tiara yang terlihat paling beku. Tiara betah banget pacaran sama patung.
            Aku sangat sayang pada Hilman. Aku rela menguras tabunganku untuk membantunya membayar biaya rumah sakitnya beberapa waktu lalu. Aku dan dia itu satu, apa yang aku miliki sudah miliknya juga. Seperti hatiku, hatinya. Waktu itu Hilman sakit. Sebagai anak rantau dari pulau seberang, Ia tidak ingin memberatkan orang tuanya. Ia bahkan tidak mau meminta tolong padaku. Nanti setelah aku paksa, sedikit keras, barulah Ia mengiyakan menerima bantuanku.
            “Kita ini sudah lama, Man. Apa yang aku miliki, itu juga milik kamu.”
            “Nanti aku ganti.”
            “Sudahlah. Kamu tidak usah memikirkan biaya itu. Kamu pikirin dulu kondisi kesehatan kamu.”
            Beberapa hari setelah Hilman keluar dari rumah sakit, giliran Sri yang dengan gemasnya bercerita tentang penglihatannya tadi malam. Ia melihat Hilman jalan dengan perempuan lain. Tidak tanggung-tanggung, Sri melihat mereka masuk ke restaurant mahal. Hilman dapat uang dari mana?
            Sorry, bukannya aku berpikiran lain tentang Hilman, tapi aku tahu keadaan Hilman saat ini. Ia baru saja kehabisan simpanan untuk biaya rumah sakitnya lalu tiba-tiba setelah sembuh ia makan di restaurant mahal bersama perempuan lain. Logikaku tidak bisa menerima ini. Sri, kamu kelewatan!
            “Aku nggak bohong!”Sri balas membentakku. Suaranya meninggi, pipi sebelah kanannya bergoyang-goyang.
            “Terserah. Kamu mau bicara apapun tentang Hilman, aku nggak peduli. Aku nggak akan biarin otakku didoktrin omongan kalian. Aku bosan. Aku capek dengerin kalian ngomongin hal negative tentang Hilman.”
            “Kamu harus dengerin Sri dulu.”Tiara masuk dalam pembicaraan kami.
            “Dengerin dia ngejatuhin Hilman terus? Tiara? Selama ini aku nggak pernah ngurusin hubungan Sri dengan pacarnya. Aku nggak pernah sok-sok ngasih pendapat tentang hubungan mereka.”
            “Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu.”Sri, nada suaranya mereda.
            “Terserah.”
            Aku pulang dengan perasaan kesal. Film yang akan kami nonton baru saja akan dimulai dan aku kehilangan mood untuk menonton film itu. Padahal diantara kami, aku yang paling menggebu-gebu untuk menonton.
            Sampai di rumah, aku menelepon Hilman, memastikan apa yang dibicarakan Sri tadi benar atau salah.
            “Aku di kontrakan sayang. Kamu di mana?”
            “Aku di rumah. Kamu sudah makan? sudah minum obat?”
            “Sudah sayang. Kamu sendiri bagaimana?”
            “Sudah.”
            “Sayang, aku kangen. Aku pengen ketemu, tapi sorry yah, badan aku lagi lemes banget. Tadi saja aku harus minta tolong Dodit untuk mengambilkan makanan sama minum.”
            Aku diam sejenak. Niatku untuk bertanya kejadian beberapa hari lalu tiba-tiba sirna. Lihat? Kalau Sri ada denganku sekarang, aku ingin memberikan telepon itu padanya. Mana mungkin Hilman, yang mau makan dan minum saja minta tolong pada Dodit, jalan berdua kemarin dulu? Sri memang keterlaluan.

**O**
            “Assalamu’alaikum.”
            Aku kenal suara siapa itu. Apalagi yang mau mereka katakan padaku? Mau memfitnah apalagi tentang Hilman? Aku keluar dari kamar dan menyambut mereka di ruang tamu.
            “Aku punya kabar buruk.”
            “Nggak usah datang kesini kalau bawa kabar buruk.”
            “ini penting.”Sri menatapku serius.
            “Semua yang kalian omongin kemarin juga begitu. Selalu bilang, ini penting!
            “Tentang Hilman.”
            Aku sudah menduga. Benar kan dugaanku?
            “Kami melihatnya di bioskop tadi malam. Coba saja kamu tidak merajuk dan pulang lebih dulu, kamu pasti akan melihatnya sendiri.”
            “Apalagi? Hilman jalan sama perempuan lain? bergandengan tangan? Suap-suapan popcorn? Atau pangkuan di dalam studio? Basi.”
            “…”Sri tidak jadi bicara ketika Denada mengeluarkan ponsel dan menyerahkan padaku.
            Astagah!
            Awalnya aku tidak tertarik menerima ponselnya, tapi setelah melihat gambar-gambar yang ada dalam ponsel itu, aku malah terdiam. Dadaku tiba-tiba sakit. Nyeri tak tertahankan. Aku tidak bisa bernafas. Mataku berair. Aku menggelengkan kepala.
            “Nggak mungkin.”
            “Harus dengan cara apalagi sih untuk membuat kamu itu sadar. Hilman itu LAKI-LAKI BAJINGAN!”Tiara yang biasanya paling pendiam diantara kami bersuara cukup keras.
            Hilman bersama perempuan itu lagi, bergandengan tangan. Perempuan itu bersandar pada pundak Hilman. Hilman menyuapkan popcorn. Hilman mengusap kepala perempuan itu. Perempuan itu melingkarkan tangannya ke tubuh Hilman. Ah, aku hampir pingsan melihat semua foto ini.
            “Bukan itu saja. Tadi aku sengaja lewat di depan kontrakan Hilman. Perempuan itu ada disana. Mereka sedang duduk berdua di teras rumah.”Sri melanjutkan kalimatnya.
            “Tunggu apa lagi? ayo kita ke sana.”Denada bangkit lebih dulu lalu diikuti teman-teman yang lain.
            Aku masih duduk tidak percaya. Ini tidak mungkin. Laki-laki yang sangat aku banggakan, berbuat seperti ini padaku. Aku tidak mau. Aku tidak mau pergi kesana, hatiku terlanjur sakit.
            “Ayo. Kamu mau nangis disini? percuma. Ayo berdiri!”Sri menarik lenganku.
            Entah apa yang terjadi setelahnya, yang aku tahu sekarang aku sedang menangis di jok belakang mobil Denada bersama Tiara. Sri sepanjang jalan mengomel, memberikan ide, masukan dan cara untuk membalas perbuatan Hilman. Sri… Sri… kamu memang cerewet bahkan dalam situasi seperti ini.
            Kontrakan Hillman tutup. Biasanya kalau tutup begini semua penghuninya sudah pergi kuliah dan kerja. Tapi tunggu dulu, di parkiran ada motornya Hilman dan satu motor lagi yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
            “Ayo. Apa sih lama-lama dalam mobil?”
            Sri tampak sangat gemas.
            Aku menyeka air mataku. Doktrin yang diberikan Sri sepanjang jalan tadi cukup memberikan aku kekuatan, setidaknya untuk beberapa menit kedepan. Kamu keterlaluan Hilman.
            Aku mengetuk pintu kontrakannya sangat keras. Nafasku naik turun. Laki-laki tidak tahu terima kasih, aku sudah memberikannya lebih dari sekedar cinta  dan lihat apa yang Ia lakukan padaku? Dasar!
            “Hilman. HILMAN, BUKA PINTUNYA!”
            “Maaf siapa ya?”
            Sesosok perempuan yang keluar membukakan pintu. Aku mengamatinya dari ujung rambut yang keriting sampai kakinya yang mirip kaki lionel messi.
            “Kamu yang siapa? DI MANA HILMAN?”
            “Maaf, kamu siapa ya?”
            “Aku nggak ada urusan sama kamu.”
            Saat itulah Hilman muncul dengan rambut dan tubuh yang basah. Sepertinya dia baru habis mandi. Dia tampak kaget melihat kedatanganku.
            “Eh… Say… Kam.. Kamu sudah dari tadi? kamu..”
            “Kamu sudah sembuh?”Aku bertanya sambil berjalan pelan mendekatinya.
            “Eh.. I..iya.. syukur.”
            Hilman menjawab gelagapan.
            “Cepat banget ya? Padahal semalam makannya minta tolong sama Dodit.”
            “Eh… Anu… itu… obat.. o…obat yang diberikan dokter. Obatnya ampuh.”
            “Atau.. kamu memang sudah sembuh?”
            “Tidak mungkin aku sudah sembuh.”
            “Lah, semalam kan nonton di bioskop sama perempuan tidak tahu diri ini.”
            “Kata siapa?”
            Praakk!!!
            For the first time in my life, aku mendaratkan tamparan keras pada pipi manusia.
            Hilman terkejut bukan kepalang. Ia memegangi pipinya yang sepertinya sangat sakit.
            “Aku bisa jelasin…”
            Praakkk…
            Ekstra double, baby…
            “Aku… kamu dengerin penjelasan aku dulu.”
            Duar!!!! Goall…
            Aku sepertinya berbakat jadi pemain bola menggantikan Christiano Ronaldo. Tendanganku tepat mengenai alat vitalnya. Hanya dengan memakai handuk seperti itu membuat tendanganku goal tanpa penjaga gawangnya.
            Hilman mengeram kesakitan, matanya memelotot, nafasnya tertahan untuk beberapa detik dan langsung disusul dengan teriakan super keras. Ia jatuh tersungkur. Dasar, ini belum cukup laki-laki tidak tahu diri! Ia memegangi alat vitalnya. Sakit? kasihan…

**O**
            Jujur saja, setelah kejadian itu aku menangis hampir setiap hari. Bukan karena melihatnya tersakiti seperti itu, tapi menangisi kebodohanku. Menangisi aku yang tidak terlalu peduli pada komentar teman-temanku. Seandainya dari dulu aku tahu, mungkin aku tidak akan merasakannya sesakit ini.
            Angin berhembus pelan.
            Air mataku yang jatuh langsung mongering di pipi. Terlambat.
            Denada, Tiara, dan Sri berdiri beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.

**O**
            “Kamu mau kan maafkan aku?”
            “Aku sudah memaafkan sebulan sejak kejadian itu. aku juga minta maaf, tendanganku sakit ya?”
            “Iya. Lumayan keras. Ternyata kamu ahli juga yah?”Dia tersenyum, menggoda.
            “Itu belum apa-apa. Sebenarnya aku bisa memberikan yang lebih, tapi sayang, aku rasa perempuanmu itu masih membutuhkan itumu.”
            “Dia sudah pergi.”Nada suara Hilman melemah.
            Terus? Aku harus bilang WOW? Begitu? Atau harus ditambah ekstra, multi platinum WOW?
            “Kamu mau kan balikan denganku lagi?”
            Hah? Balikan dengan laki-laki tidak tahu diri sepertimu? Beruntung aku tidak pernah mengungkit biaya rumah sakit yang sekarang sudah lama sekali kamu tidak kembalikan. Aku memang ikhlas memberikannya untukmu, tapi karena kamu sendiri yang dengan sombongnya bilang itu hanya pinjaman maka aku mencatatnya sebagai piutang yang kemungkinan besar tidak akan tertagih.
            “Kamu mau kan, sayang?”
            “Sayang….sekali aku sudah tidak bodoh.”jawabku sambil tersenyum.
            “Aku sudah wisuda sarjana. Aku sekarang sudah bekerja disalah satu Bank. Aku juga sudah pandai mengelola butik dan distro milikku. Aku sudah bisa bawa mobil sendiri. itu semua menunjukan aku tidak bodoh lagi, sayang.”Lanjutku.
            “Kamu tidak cinta lagi padaku?”
            Deg!
            Dua tahun lebih atau mungkin tiga tahun sudah aku mencoba melupakanmu, tapi tidak bisa Hilman. Seandainya aku sudah tidak cinta, tidak mungkin aku datang menemuimu saat ini. Tapi, bagi aku cinta itu logika berperasaan.
            Logikaku harus peka apalagi terhadap rayuanmu yang bisa menghanyutkan. Logikaku sekarang sudah bisa merasa, mana yang tulus dan mana yang modus. Mana yang jujur dan mana yang hancur.
            Sayang sekali Hilman, aku memang mencintaimu tapi bukan berarti aku harus mengulangi kebodohanku tiga tahun lalu. Jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu tahu bahwa cinta memang tidak selamanya bisa memiliki. Hilman, silahkan cari perempuan lain yang bisa kau jadikan Bank dalam hidupmu.