Senin, 05 Oktober 2015

Aku dan kamu (Topan dan Rinai)

Kita pernah berpetualang
Aku dan kamu, menyusuri cinta tak berujung
Kita pernah bersama,
Aku dan kamu, mendesahkan butiran cinta

Namun kini aku tertunduk,
Sementara engkau menggemakan tawa,
Tidak peduli hatiku semakin tertusuk,
Tidak peduli hatiku semakin membara,

Aku dan kamu masih berdiri,
Tapi berada dalam ruang terpisah,
Sebuah struktur padat kokoh berdiri,
Memaksaku untuk tersenyum pasrah,

Dinding ini menjulang tinggi,
Mencaci maki kebodohanku,
Menghantamku dengan besi berduri,
Lalu bahagia menertawaiku,

Dinding itu semakin menjulang tinggi,
Kokoh berdiri terus melindungimu,
Menghalau ragaku untuk menggapai,
Sepotong mawar kuning yang pernah menjadi milikku,

Mawar kuningku,
Hanya penyesalan yang mampu ketelurkan,
Hanya pengharapan yang bisa aku terbangkan,
Meski semua tidak akan pernah sama,
Meski dirimu kini tersenyum dalam pelukannya,

Mawar kuningku,
Dinding ini berdirih terlalu tangguh,
Dinding ini tidak pernah terlihat rapuh,
Dinding ini memisahkan kita,
Menyimpanmu semakin rapat dalam ruang penuh cinta,
Menjatuhkan dalam jurang dengan kilauan karang dibawahnya,

Duhai dermaga kecilku,
Meski mustahil senantiasa mendekapku,
Meski raga ini semakin menyerah dalam kerapuhan,
Aku tetap memaksa pada Tuhan,
Suatu saat nanti Dinding itu harus aku robohkan,
Sekalipun jiwa ini adalah taruhan,

*Puisi diantara “Purnama Berdarah!” dan “Dermaga kecil”

Diikut sertakan dalam tantangan menulis yang rajin dilaksanakan oleh @KampusFiksi #NulisBarengAlumni #JamaahTyphobia

Minggu, 04 Oktober 2015

Dermaga Kecil

Siapa aku?
Hanya perempuan muda tak berdaya yang lahir beserta jutaan rintik hujan menghujam bumi. Malam hari, dalam sebuah rumah sakit yang sepi. Untuk itu, aku disebut Rinai.
Lalu, siapa kamu?
Kamu adalah samudera yang luas. Tempat perahu kertas kecil ini pasrah untuk tenggelam jika sewaktu-waktu gelombang datang menerpa. Hujan badai menyerang pelan. Kamu adalah lelehan keju menggiurkan diatas sepotong ubi dari perkebunan nan jauh di pedalaman daerah.

Aku masih mengingatnya. Hari dimana langit menjadi saksi, janji suci itu dia ucapkan. Menit dimana dua ekor merpati terbang melintas sambil mendoakan. Detik dimana hati ini ikut menyenandungkan nada yang sama. Janji suci, sehidup semati. Selamanya.
Angin mendesau pelan. Berbulan-bulan sebelum jemari ini bertahtahkan cincin emas berkilauan. Sebelum selembar daun yang berguguran ini menemui tempat untuk mengakhiri penerbangannya.
“Ingat, Rinai! Terigu dua kilo, Mentega satu kaleng, susu bubuk 1 kotak, coklat batang 2 bungkus. Hanya itu. Bahan-bahan lain sudah siap sedia. Jangan lupa!”
Kakiku terus berayun. Tidak berhenti. Sambil terus mendendangkan daftar belanjaan. Mama cerewet. Mana mungkin anak gadisnya ini lupa? tenang saja.
            Benar. Mama hanya perlu tenang karena semua pesanan telah selesai dibeli. Derap langkahku berhenti di depan supermarket ketika sepotong musik mengalun pelan. Bergelantungan dengan irama yang indah pada dinding-dinding kaca supermarket.
            Lagu itu?
            Aku terbius oleh merdu suara penyanyinya. Bergerak pasrah, meski sepenuhnya sadar, menuju sebuah toko kaset kecil tidak jauh dari supermarket. Masuk. Seorang pemuda dengan rambut dipotong rapi menyambutku. Aku membagi senyum.
            Tempat yang mudah untuk dikelilingi. Aku berhenti dihadapan jejeran album karya seorang penyanyi british. Membuatku terpesona pada cover kaset DVD. Namun, pesona itu benar-benar memudar ketika tanpa sengaja kakiku tergelincir saat mengambil kaset DVD favoritku.
            Oh tuhan,
            Telah kau ciptakan keindahan tak bernilai,
            Pesona Cleopatra pada sepotong lelaki,
            Aku terperanjat. Hatiku berdesir pelan.
            Lelaki dengan tatapan tajam dan senyum yang melengkung ramah itu menyambutku. Dengan gesit, menahanku bagai ranting lemah tak berdaya yang putus begitu saja dari dahan. Aku hanyut dalam pelukannya. Samudera luas yang menjebak. Aku tenggelam.
            Kami berkenalan.
            “Namaku Topan!”
            Lelaki dengan jutaan badai cinta bersarang ditubuhnya. Aku ragu menyambut uluran tangannya. Bukan takut pada lekuk tubuhnya yang membuatku tak mampu bernafas. Tapi ragu jika saja aku menjabat uluran tangan itu maka aku akan semakin tenggelam. Atau tersesat pada labirin ini.
            Pertemuan yang singkat namun berkesan. Kami bertukar nomor ponsel. Untuk bisa saling telepon atau janjian untuk bertemu. Dua minggu setelahnya.

            “Jadi kamu tinggal tidak jauh dari sini?”
            Jam dua belas siang ketika Topan datang menjemputku. Mengajakku makan siang bersama pada salah satu tempat makan terbaik di kota ini.
            “Rumahku hanya beberapa meter dari tempat ini. Kantorku yang letaknya cukup jauh. Aku harus dua kali berpindah bus.”
            “Bagaimana kalau mulai besok kita barengan saja? Kebetulan tempat kerjaku searah dengan tempat kerjamu.”
            Tentu aku menyetujuinya.
            Aroma maskulin dari Topan membuatku tak sanggup menolak tawaran itu. Dan mulai saat itu, jarak diantara kami mulai mengecil. Kami sering tertawa bersama dalam mobil. Tawa itu. Senyum itu. Pesona yang terpancar dari sorot mata itu. Membuatku semakin tersesat. Hingga dengan berani, pada suatu hari Ia mengatakan keinginan terbesarnya. Menikahiku.

            Hari-hari berlalu begitu cepat.
            Kami memilih satu rumah minimalis di tengah kota. Hanya kami berdua. Hanya aku dan dia. Hanya seorang Rinai dan seorang Topan. Berdua saja menjelajahi cinta bagai samudera yang tak memiliki ujungnya.
            Setiap malam aku berkelana. Berpetualang pada cinta yang menggelora. Membakar asmara. Seolah peluh yang menetes pada dadanya yang bidang adalah manisan surgawi. Aku senang mengarungi samudera ini. Meski aku tahu, aku hanya perahu kertas nan kecil di tengah samudera luas. Aku menikmatinya.
            “Aku mencintaimu, Rinai.”Bisiknya. Membuat sekujur tubuhku menegang. Cinta ini terlalu dalam. Cinta ini terlalu kuat.
            “Aku juga mencintaimu, Topan!”Bisikku dalam dinginnya malam.
            Dua ekor kucing yang sedang jatuh cinta diatas atap rumah tetangga mengeluh ketika mendengar desah nafasku. Setiap kalimat yang keluar dari bibirku adalah cinta.
            Kami saling mencintai.
            Aku dan dia saling memiliki, setidaknya sampai beberapa bulan ke depan.
            Sebab, waktu terus berkelana tanpa arah. Membawaku semakin tersesat. Juga terperanjat pada kenyataan. Topan mulai berbeda.
            Ia semakin rajin bekerja. Jauh lebih rajin dari hari-hari awal pernikahan kami. Tak ada lagi perjalanan cinta setiap malam. Tidak ada lagi petualangan yang nikmat tanpa ujung. Aku tak bisa lagi menjelejahi samudera itu. Tidak pernah lagi.

            Bukan dosa jika aku mulai merasa curiga. Aku berhak mengetahui kejadian sebenarnya. Aku memutuskan mencarinya sampai ke kantor. Menjumpai setiap rekan kerjanya. Lalu, bagai dihantam gelombang besar, tubuhku terhempas dalam kesedihan. Aku melihatnya, berdiri di parkiran bersama seorang perempuan berambut coklat.
            Tangisku meledak. Membuat mereka terperanjat. Terkejut. Lalu Topan dengan tubuhnya yang senantiasa membuatku mabuk, berlari mengejarku. Setiap jengkal langkahnya adalah rindu yang kupendam.
            Sekian lama, setelah kejadian itu, rumah ini menjelma bagai neraka. Satu permintaan maaf menjadi kesempatan baginya untuk tetap berulah. Beralasan lembur hanya untuk bisa bersama perempuan itu. Membuat rumah ini dipenuhi air mata. Aku kecewa. Pada lelakiku yang kini menutup rapat tiap jengkal dalam hatinya.
            Mungkin aku ialah perempuan paling baik di atas bumi yang keronta ini. Terus menyangkal fakta. Sigap menyimpan keraguan. Rajin menanam harap kalau semua ini hanya ilusi dan segera berakhir. Sebab aku masih menginginkannya disini. Disampingku. membawaku kembali tenggelam.
            “Siapa perempuan itu? Aku kecewa denganmu Mas.”
            “Dia hanya rekan bisnisku. Tidak lebih.”
            “Bohong. Dia pasti selingkuhanmu.”Pecah. Tangisku kembali meledak.
            “Apakah kau sudah gila? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
            “Yah. Aku memang gila. Aku tergila-gila padamu. Aku gila karena aku mencintaimu.”
            “Sayang? Aku serius. Kamu harus percaya.”
            Lalu dia menarikku. Tenggelam dalam pelukan yang aku rindukan. Meski pada kenyataanya pelukan itu tidak sehangat dulu. Aku tahu, aku bukanlah satu-satunya. Aku hanyalah dermaga kecil, tempatnya bersandar hanya pada sebuah waktu.
            Aku menyadari kalau petualangan ini tidak semenarik dulu. Kita memang sering berpetualang, tapi aku tetap merasakan sendiri. Dia mengajakku mengarungi samudera cinta meski pada kenyataannya tidak ada senandung di dalam dadanya. Dia sering menyimpanku dalam pelukan yang bidang meski cinta tak lagi bisa aku rasakan di sana. Manisan surgawi itu? menjelma bagai biji kopi yang dipetik dari hutan dalam neraka. Berlumuran jutaan kebohongan. Pahit!
            “Berhenti bersandiwara. Aku tahu semuanya!”
            “LALU KAMU MAU APA?”
            “TINGGALKAN PEREMPUAN GILA ITU!”Bentakku.
            “KAU YANG GILA!”Balasnya membentak.
Kemudian pergi tanpa menoleh sedetikpun. Lalu tidak pernah kembali lagi. Membuatku menangis. Menyadari sejuta dusta telah bersemayam dalam rumah ini. Membuatku tersadar kalau hatimu tak jua bisa aku miliki sepenuh jiwa.

            Aku terperanjat. Nafasku memburu.
            Dalam malam aku tersadar oleh peluh dibagian dahi. Hatiku meringis ketika tahu tempat ini tidak lagi sama. Aku benar-benar terjebak sendiri. Dalam gelap dan sepi. Aku terbangun dari petualangan mimpi yang mengerikan. Menyaksikan kilauan petir bermain-main diluar sana.Kenangan itu terus mengganggu.

            Aku ketakutan. Aku merindu. Aku tersakiti. Aku merindu. Seuntai dusta telah menghancurkan istana kita. Aku tidak lagi bisa memilikmu seutuhnya, Lelakiku.­

* Prekuel dari Cerita Pendek "Purnama Berdarah!"
Diikut sertakan pada tantangan oleh @KampusFiksi

Senin, 28 September 2015

Purnama Berdarah!


Kita bukan lagi sepasang kekasih!
Aku adalah apa yang dulu engkau harapkan. Irisan keju diatas sepotong ubi jalar yang digoreng dengan api sedang. Aku adalah seikat bunga mawar yang selalu ingin kau belai. Kau kecup setiap malam tidak peduli pada kelopak yang mulai rapuh ditelan waktu.
Namamu tidak hanya terukir, namun tertanam begitu dalam di rongga dada. Tidak ada kesempatan untuk mencabut namamu dari sana, sebab setiap kali aku berusaha untuk mencabutnya, maka saat itu pula sekujur tubuhku merasakan sakit yang amat dalam. Bagaikan paku berkarat yang dicabut dari telapak kaki sang gajah.
            Selama 363 hari, anak-anak tangga di tempat ini menjadi saksi jejak langkah kita. Angin yang senantiasa merangkak, lalu membisikan lagu-lagu cinta. Bahkan dua ekor kucing yang sering bermesraan di atap rumah tetangga selalu cemburu mendengar desah nafasmu setiap malam hingga beduk subuh di masjid menggema. Membangunkan setiap jiwa yang lelah, terlelap dalam kenikmatan imajinasi.
            Namun dunia bukan lagi milikku. Seperti engkau, setumpuk mawar merah dengan pita kuning yang kini berada dalam genggaman pria lain.

            Semua seharusnya tidak dimulai ketika aku - dengan cinta semu yang entah mengapa datang merasuki, menipuku dengan sejuta kepalsuan - menghempaskanmu begitu saja. Meninggalkanmu berteman hujan tangis.
Tidak pernah sedikitpun aku berbalik, lalu meraih tanganmu yang biru keunguan, mencumbunya sambil minta maaf. Atau dengan sapu tangan turquoise menyeka titik air yang menguap di pipimu yang bergaris-garis merah itu. Atau memeluk tubuhmu yang menggigil dibalik daun jendela.
Aku malah menikmati kepalsuan imajinasi yang aku ciptakan sendiri.
Dan kini aku menyadari satu hal.
Aku terbangun dalam heningnya malam. Kamar yang gelap ini tanpa ada satu titik cahaya merasuk kedalamnya, sedang menggemakan desahanmu. Memutar kembali setiap tawa candamu. Nikmat.
“Aku adalah wanita paling bahagia di atas bumi ini.”
“Kamu mau makan apa besok pagi? Ubi goreng dengan lelehan keju?”
“Sayang??? Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?”
Aku beranjak dengan langkah gontai. Bagai musafir kehausan di tengah gurun pasir. Terik membakar relung hatiku. Tidak hanya perih, tapi sakit.
Aku duduk di tepi ranjang tanpa sehelai benang melilit bagian atas tubuhku. Biasanya, jika kau ada disini, kau akan memelukku dari belakang. Bermain pada dadaku yang bidang ini. Mencubit pelan kotak-kotak diperutku yang katamu mirip roti bantal di supermarket tempat kita bertemu sekian tahun silam.
Tempat tidur ini masih sama, Rinai.
Namun kini aku merasa tempat ini lebih lega dari biasanya. Aku bahkan bisa berguling kesana kemari, sendirian, tidak perlu takut untuk terjatuh.
Dan tahukah kau Rinai? Lagu kita masih sering di putar di radio. Lagu yang mengajak langkah kita masuk toko kaset depan supermarket itu. Menghentikan kita tepat di jejeran kaset milik penyanyi jebolan ajang pencarian bakat di tanah britania raya.
Ah, tapi sekarang lagu itu tidak lagi sama. Ada nada yang hilang disana. Aku kehilangan not dalam hidupku. Persis Do – Re – Mi – Fa tanpa Sol – La – Si – Do. Lagu ini tidak lagi sama, sebab suaramu tidak pernah lagi mendengungkan sepotong lirik yang menggairahkan itu di daun telingaku.

Rinai? Sebentar malam kau akan menikah. Dan aku, berusaha ikhlas dengan keadaan ini.
“Sekarang Rinai akan menikah. Dia bertemu dengan laki-laki itu di supermarket depan toko kaset.”Seorang teman berkata santai. Tidak peduli pada jantungku yang mendesis kesal.
“Acaranya sebentar malam. Kita semua diundang. Kalian akan datang kan?”
Aku memang lelaki bodoh yang tercipta dari kesucian cinta namun tumbuh mekar dalam palsunya imajinasi. Malam ini, aku sengaja mengenakan tuksedo yang engkau pilihkan tiga bulan setelah kita menikah. Aku ingin kau tahu, sungguh, aku ingin kau mengingatnya bahwa tuksedo ini saksi cinta kita saat malam mulai beranjak pergi.
Dan sekarang, kau berdiri tersenyum diantara ribuan tepuk tangan. Bahagia dalam genggaman tangan seorang pria bermata kecoklatan. Kau memeluk seikat mawar merah dengan pita kuning, kesukaanmu. Tersenyum.
Sementara aku? Keramaian ini hanya ilusi. Aku tidak berada disini. Aku tersesat pada kebahagiaan yang tidak aku harapkan. Melihat senyummu, matamu yang memuja lelakimu, aku rapuh. Sakit. Seandainya aku tahu sejak dulu kalau yang engkau inginkan hanya sesederhana ini. Berdansa dengan lelakimu, aku pasti melakukannya.
Tapi…
Ah…. Dirimu memang sedang berdansa.
Kadang diiringi nada canda khas itu.
Tapi dengan pria lain.

Harus aku akui, meskipun sakitnya bagai dihujam ribuan anak panah yang baru menetas dari busurnya. Atau bagai semangka yang pasrah dibelah samudera mengkilap yang selama ini bersembunyi dalam sarungnya. Aku akui kesalahanku.
Semua telah terlambat. Semua tidak akan kembali semula. Tidak mungkin kamu melangkah lagi ke supermarket itu. Lalu aku menunggumu di antara rak kaset, tempat kita dijumpakan oleh takdir tuhan. Meski aku ingin semua itu terjadi kembali hanya untuk agar aku bisa mengatakan satu hal,
“Aku minta maaf, perempuanku.”
Aku berharap, lelakimu itu membelikanmu bunga setiap waktu. Mawar merah dengan pita kuning. Lalu mengengam erat tanganmu. Kuat namun tidak menyakiti. Membelainya dengan hujan cinta.
Aku berharap dia bukan lelaki seperti aku. Aku berharap, dia mencurahkan setiap detik yang tersisa hanya bersamamu. Bukan bersama imajinasi semu. Bukan bersama cinta palsu. Lalu setiap waktu mengajakmu bermain di lantai. Berdansa. Aku tahu itu, aku tahu kau senang berdansa. Aku tahu itu, aku tahu kau ingin berdansa.
“Aku berharap satu hal. Aku ingin dia melakukan segala hal yang seharusnya aku lakukan dahulu.”
Rinai, kau tidak perlu menatapku sendu seperti itu! Itu hanya membuatku semakin tenggelam dalam samudera kebodohanku.
“I Hope He do all the things I should have done, when I was your man!”[1]
Kau hanya tersenyum. menepuk pelan pipiku. Menahannya lama disana. Mengijinkanku untuk menggenggamnya tapi tidak juga aku lakukan.
“Kau tidak usah khawatir. Laki-laki itu tidak sama denganmu.”
Lalu kau pergi. Begitu saja.
Sementara aku..?
Sudahlah. Kalian terlalu menikmati kerapuhanku.
Seperti menikmati purnama berdarah di langit malam ini.


[1] When I was Your Man by Bruno Mars

Kamis, 06 Agustus 2015

Pengalaman pertama Try Scuba (Ingat, Jangan SOK TAHU!)

(Foto ini diambil setelah puas-puasin diri maen Aeer!!)


Berbulan-bulan sudah saya memendam hasrat terdalam untuk menyelami dalamnya laut indonesia and akhirnya hasrat itu kesampaian juga di tanggal 26 Juli 2015. Satu minggu setelah lebaran idul fitri.
Awalnya saya menduga menyelam atau yang lebih popular dengan judul Diving (bukan pura-puar jatuh di lapangan sepakbola, loh) dapat dilakukan dengan mudah. Tinggal pakai baju ketat, gendong tabung, pakai kaki bebek, selesai. tinggal masuk ke dalam air, kesana kemari, lambaikan tangan ke ikan-ikan kecil, Happy ending Deh… Tapi suer, disamber Julia perez ternyata tidak semudah yang saya harapkan.
Semua bermula ketika salah satu teman sekampus dulu mengajak saya untuk Try Scuba. Satu spot terkenal di pesisir pantai kota gorontalo menjadi tempat latihan. Mereka menyebutnya sih, KOLAM alias tempat buat latihan saja. Ah, masa anak pantai seperti saya harus latihan dulu? Gak keren! Mereka meremehkan kemampuan saya ternyata.
Jam 07.00 pagi, TENG! Kami janji ketemu di tempat penyewaan alat scuba di kelurahan talumolo, kota gorontalo. Biaya sewa alat lengkap dengan bibit bobotnya Cuma sekitar Rp. 400.000,-. Saya dapat wetsuit (baju ketat yang dipakai penyelam) ukuran L, plus satu tabung gas yang lumayan berat minta ampun.
Cuaca pagi yang cerah tentu menjadi alasan kenapa saya harus rela menarik gas sepeda motor menembus dari rumah menuju lokasi penyewaan alat scuba. Kami tiba di lokasi try scuba sekitar pukul 08.00 pagi.  Angin berhembus sepoi-sepoi dan dari pinggir pantai si KOLAM yang dimaksud memang jelas kelihatan. Warnanya beda sendiri dipinggiran laut. Kayak ada manis-manisnya, gitu…
Total peserta Scuba hari ini ada 4 orang. Saya, teman sekampus saya lengkap dengan suaminya, dan seorang pemandu yang bertugas mengenalkan perlengkapan dan cara pakainya kepada saya. Pengalaman pertama menggunakan wetsuit membuat saya membayangkan kalau beberapa bagian ditubuh saya akan menonjol (seperti perut yang bentuknya onepack ini) tapi ternyata bayangan saya salah besar. Pakaiannya memang ketat tapi tidak menonjolkan anggota tubuh. Selamat…
Karena sok jago, saya malah cuek bebek ketika si pemandu - yang saya lupa namanya siapa – menjelaskan banyak tetek bengek penggunaan alat-alat scuba. Mulai dari tombol otomatis yang mengisi-mengeluarkan angin dari pelampung, tabung gas sekalian selang udaranya yang harus memaksa saya bernafas menggunakan mulut (ini agak sedikit susah, tapi gampanglah itu) dan juga alat pemberat supaya saya bisa dengan mudah tenggelam (Eh, maksud saya menyelam).
Demi tuhan (jangan membayangkan Arya wiguna) saya harus berjalan lambat menuju lokasi SPOT yang baru sadar ternyata namanya “SDC SPOT”. Ini dikarenakan tubuh saya sudah dipenuhi banyak beban berat. Apalah-apalah, deh. Belum lagi harus menerjang ombak kecil yang mengalun lembut diatas batu karang. Oh, beban hidup pagi ini lumayan cettar membahenol.
Dugaan saya perlahan-lahan mulai berguguran. Air laut sudah sebatas Dada, saya baru memakai kaki bebek dengan sangat kesulitan. Kaki saya diombang-ambing lautan asmara. Susah memakai kaki bebeknya. Hingga akhirnya si pemandu yang turun tangan memakaikannya. Ah, saya jadi malu. hihihi…
Oke? Fix! Sebelum kita benar-benar menjatuhkan diri ke dalam laut, Si pemandu bercerita sedikit lagi tentang kode bahasa di dalam air. Saya baru ngeh ternyata kita emang nggak bisa bicara di dalam air. Butuh bahasa tubuh mulai dari Naik, turun, ke kanan, ke kiri, oke, pulang dan sebagainya.
Dengan mengucapkan Bismillah, saya memencet tombol yang mengeluarkan angin dari pelampung sehingga secara otomatis saya perlahan jatuh ke dalam air. Sumpah, sumpaaaaaaaaah ini pertama kalinya saya berada diantara karang-karang dan ikan-ikan kecil yang nggak mabuk! Saya terpukau, terpesona hingga saya lupa harus bernafas dalam air. Panik? Jelas.
Saya langsung memberi kode naik ke pemandu, dia langsung mendekat dan menekan tombol pengisi udara. Hampir saja saya pulang ke rumah tersisa nama dan kenangan saja. Belum terbiasa bernafas lewat mulut jelas menjadi faktor utama yang menjadi kendala. Kami naik ke permukaan, belajar bernafas menggunakan mulut lalu kembali turun.
Kali ini mulai terkendali. Saya bisa bernafas menggunakan mulut meski awalnya memang kesulitan. Ya iyalah, selama ini kan saya bernafas pakai hidung saja. Satu meter, saya mengambil posisi meruncing (susah menjelaskan posisi saya saat itu), turun mencapai dua meter. Si pemandu masih berada di dekat saya sampai akhirnya saya menyadari something wrong. Telinga saya terasa sangat sakit.
Dengan otomatis saya menekan tombol pengisi udara dan membuat saya melesat pelan menuju permukaan. Nggak bisa cepat ternyata. Saya sudah menggerak-gerakan kaki sampai kena tikus-tikus. Kata si pemandu, ketika telinga mulai terasa sakit, maka langkah pertama yang harus saya lakukan ialah memencet hidung dalam buang nafas via hidung. (hal ini jelas tidak akan mengeluarkan udara sama sekali tapi akan terasa sesuatu di telinga seperti bunyi dug kecil).
*()*
            Semua berjalan semakin mudah. Saya mulai terbiasa bernafas menggunakan mulut. Menyelam dengan gaya selllow membuat saya melayang seperti ikan. Di bawah sini, kedalaman 4 meter saya merasakan menjadi makhluk tuhan paling bahagia. kalau sudah begini? Nikmat tuhan mana lagi yang harus saya ingkari? Nggak ada! Mata saya terus menjelalah, dalam hati terus bertasbih, memuja kecantikan alam ciptaan Allah SWT.
            Awalnya saya agak takut menoleh ke belakang soalnya suasana di belakang sangat menyeramkan. Sepi. Nggak ada karang atau ikan-ikan apalah gitu. Semakin saya melihat ke belakang, semakin berkelana imajinasi saya. Eh, siapa tahu ada hiu tiba-tiba melaju kencang dan HAP saya ditelan. Atau hewan buas lainnya seperti gurita dengan delapan tentakel berukuran 8 meter. Atau si kikir Mr. Crab?
            Ah tapi semua itu terhapus sudah ketika saya berjumpa dengan sekelompok ikan menggemaskan yang lewat di dekat saya. Saya berpikir mereka takut dengan manusia seukuran saya tapi ternyata tidak sama sekali. Coba saja mereka punya tangan pasti kami sudah berkenalan dan saya akan undang mereka ke rumah. silaturahmi lah, kan masih suasana lebaran toh?
            Pelan-pelan si pemandu mengajak saya turun hingga ke posisi 5 meter. Suasana semakin ramai mirip pasar malam. Kerang-kerang yang cantiknya menyeramkan, Seekor ikan berbisa yang diusir si pemandu sampai sebuah gua kecil yang gelap gulita. Saya langsung mundur beberapa centimeter dari lubang gelap itu. Entah apalah yang akan tiba-tiba keluar dari sana.
            Try scuba hari itu jelas tidak akan pernah saya lupakan. Kami bergerak kesana kemari mirip setrikaan. Bertemu dengan sepasang ibu dan anak Ikan Nemo. Itu tuh yang jadi bintang utama di film Finding Nemo? Are you remember that? Iya, mereka malu-malu loh. Sembunyi dibalik rumput laut yang bergoyang ke kiri dan kanan. Ingin sekali saya menyentuh pipi mereka tapi ah sudahlah, saya tidak ingin jatuh cinta pada ikan. Mahal kalau mau ngapel, musti sewa alat scuba.
            Scuba kembali mengasyikan ketika saya dengan sok berani memutar badan ke posisi terlentang. Subhanallah Yeah, sesuatu banget. Diatas cantik sekali…. Ikan kesana kemari, Daa-Daa ke saya. Di bawah sana saya melihat sepasang suami-istri yang menyelam dengan begitu romantis. Mereka berpegangan. Ah, sepertinya seru kalau saya ikut nimbrung dengan mereka. Oh iya lupa, kenalkan nama mereka Ka Icha dan Ka noval.
            Eh belum juga dekat banget sama mereka, si pemandu langsung memberi kode. Menyuruh saya melihat ke alat pengukur kedalaman. Sembilan meter, lumayan. Toh sepasang suami istri itu kayaknya sudah sampai lima belas meter dibawah permukaan laut. (kira-kira segitu deh soalnya saya lupa bawa meteran buat ngukur jarak).  Saya disuruh naik sambil diberi info kalau ternyata saya baru boleh sampai kedalaman lima meter. Ihhhhh Kesellllllllllllllllllllllllllll!!!!!!!!!!
            Puas? Belum sih, tapi udahlah cukup sangat puas. Bingung kan? Saya juga bingung sih mau bilang puas atau nggak.
            Kami memutuskan berhenti lalu naik ke permukaan. Oh iya, ternyata ada sampah yang duduk rapi disebuah karang. Dengan baik hati si pemandu mengambilnya, melepaskan dari karang. Satu lagi, ternyata saya harus belajar lebih lagi bergerak dalam air dengan setumpuk alat scuba dibayar tunai (sewanya………….). harus bisa memberatkan tubuh karena berulang kali saya otomatis terangkat ke permukaan karena terlalu ringan. Berulang kali si pemandu harus menarik saya ke bawah, kadang memegang tangan saya, kadang menarik kaki, bahkan kadang malah berjaga-jaga di atas saya. Supaya kalau saya terangkat tiba-tiba langsung deh si pemandu nginjak saya. Heheh, bercanda!
            Akhirnya saya menyadari satu hal kalau ternyata sikap sombong, sok tahu, dan takabbur itu memang berbahaya. Coba saja kalau tadi saya menolak tawaran si pemandu, waduh nggak terbayang lagi bagaimana saya sekarang. Mungkin cerita ini nggak akan ada disini.  Mungkin saya mati tenggelam lalu ditolong putri duyung, diajak ke istana mereka. Bertemu raja Neptunus sama ratu Uranus (emang iya?) lalu membahas pernikahan saya dengan putri duyung. Ah, kelamaan ngejomblo bikin saya berimajinasi liar yang sangat mustahil.
            Dan satu lagi, saya tidak punya kenang-kenangan semisal foto underwater bersama nemo dan kawan-kawan. Selain karena situasi nggak memungkinkan karena memang berombak – kata Ka Icha, gara-gara ombak beberapa teman mereka kehilangan kamera. Ada yang rusak dan hanyut dibawah ombak. Dan juga ketika kita terlalu menikmati sebuah kejadian sehingga lupa untuk melakukan hal-hal lain, disitulah letak nikmatnya sebuah peristiwa.
            Dan terakhir, saya ingin berpesan pada teman-teman semua untuk senantiasa mencintai alam ini terutama laut. Jangan buang sampah sembarangan!!! Kasihan Nemo, Little mermaid sama King Neptune Kan? Oh iya, jangan sungkan sama takut buat Try scuba ya kawan? Intinya yang penting tenang dan nggak panikan. Soalnya, Katanya saudaranya Ka Icha, ada temannya Ka icha yang meninggal setelah Try Scuba karena kepanikan di dalam air.
            So intinya jangan pernah panik apalagi kalau dekat sama gebetan…!
            Laut kita itu luas lohh. Cantik dan mengagumkan. Indonesia ini kan sebagian besarnya memang laut toh? Masa bule-bule aja yang nikmatinya? Bukan kita? Entar kalau dicaplok lagi sama orang nggak dikenal baru deh ngomel kayak kambing kebakaran Jambang.
            Ingat, Indonesia itu cantik nggak hanya di darat aja!!!
            Try Scuba and Find more…
            Salam…
            Si jomblo yang mencari jodoh hingga ke dalam laut.
“Menyelami lautan bisa ku lakukan, tapi menyelami dalamnya hatimu sungguh lebih menantang”

*Oh iya, kalau mau lihat beberapa foto yang di take on location try scuba, bisa langsung maen ke Instagram saya di @Fachrul16

Minggu, 08 Maret 2015

ILUSI

Sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Bukankah kita tak pernah berjumpa?

Mata tidak saling tatap,
Tangan tak saling menjabat,
Langkah belum beriringan,

Kita terpisahkan jarak,
Lautan membentang luas,
Gugusan pulau berdiri kokoh,

Aku disini, memandangi bulan,
Kau disana, menghitung bintang,
Terkadang kita tidak searah,
Namun tetap sejalan,

Aku disini berharap hujan,
Kau disana menantikan mentari,
Kita dalam waktu yang sama,
Meski pada ruang yang berbeda,

Lalu apakah semua ini?
Kita, Kau dan Aku,
Selalu tertawa bersama pada satu malam,
Berbagi kisah pada suatu siang,

Dan aku berharap,
Suatu saat nanti, ruang dan waktu membawa kita,
Bertemu pada satu masa,


Semoga semua ini bukanlah ilusi,

Selasa, 24 Februari 2015

Siapa yang berhak menolak kehadiran jodoh?

            “kakak mau yang bagaimana lagi?”
            Perempuan dengan kerudung coklat itu bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
            “Aku tidak tahu Lin.”
            “Kak? Sekarang semuanya ada padamu. Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”Lina memegangi dua lengan kakaknya, Rina.
            Rina diam tidak menyahut. Tatapannya kosong tak bermakna sama sekali. Ia masih ingat bagaimana rumah tangganya yang hancur beberapa tahun yang lalu. Ia takut untuk kembali jatuh cinta. Ia takut untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan laki-laki manapun apalagi dengan laki-laki yang belum dikenalnya sama sekali.
            Hatinya masih cukup nyeri menyaksikan pernikahan lelaki itu dua minggu yang lalu. Ia takut berharap lebih sekalipun kali ini sepertinya itu bukan sekedar harapan melainkan kenyataan.
            “Kak? bagaimana?”
            Rina menggeleng pelan.
            Pernikahannya yang dibangun hampir enam tahun tiba-tiba kandas begitu saja karena kehadiran orang ketiga dalam hubungan mereka. Ardi, dengan perasaan tak bersalah sama sekali, mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi sekaligus bercerai dari Rina.
            Rina tentu syok berat. Apa-apaan ini? tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja minta cerai. Memang, akhir-akhir ini kelakukan Ardi berubah 180 derajat. Ardi yang biasanya pulang dengan senyuman, kali ini berubah. Ia jadi lupa mengucap salam. Ia juga tidak pernah bermesra-mesraan lagi dengan Rina. Ia jadi pendiam. Setiap kali diajak bicara serius, Ardi memilih untuk menjauh.
            Rina sebenarnya sudah cukup curiga dengan tingkah laku Ardi namun Ia masih berusaha berpikir positif. Mungkin Ardi lagi capek karena akhir-akhir ini penghasilan mereka kurang. Terkadang Rina hanya masuk telur ceplok dan sambal untuk makan malam mereka.
            Pekerjaan Ardi sebagai tukang ojek memang tidak bisa diharapkan terlalu banyak. Untung-untungan bisa dapat banyak, beberapa kali malah tekor karena terlalu banyak biaya bensinnya. Dan Rina mengerti kalau hanya persoalan itu. Enam tahun menikah dan persoalan itu hanya seperti bumbu pemanis dalam hubungan rumah tangga mereka yang tampak sangat harmonis itu.
            Puncaknya Rina menerima laporan dari tetangga yang tidak sengaja melihat Ardi sedang berada di pasar. Rina mengerti pasti Ardi sedang mencari penumpang di sana tapi bukan itu laporan yang Ia terima. Tetangga yang tidak mau disebutkan namanya itu - sebut saja namanya mawar – melihat Ardi sedang membantu seorang perempuan berjualan sayur, buah, dan obat-obatan.
            Rina yang memang sangat pencemburu itu, menyambut kepulangan Ardi dengan wajah merah padam.
            “Ada apa? suami pulang kok tidak disambut baik-baik? aku lapar. Mana makanannya? Jangan bilang hanya ada telur ceplok lagi.”
            “Lalu mas maunya apa? ikan? Aku kehabisan uang mas untuk belanja keperluan sehari-hari. Akhir-akhir ini mas tidak pernah memberikan lagi uang belanja.”
            “KAMU SENDIRI KAN TAHU SEKARANG LAGI SEPI. PENUMPANG TIDAK MAU NAIK OJEK. ALASANNYA PANAS LAH, UJAN LAH. LALU KAMU APA? MAU AKU MENCURI? KENAPA TIDAK KAMU SAJA YANG CARI KERJA? AKU CAPEK, KAMU TIDAK PERNAH MENGERTI KEADAAN AKU.”
            “Mas??...??”Rina mengatupkan bibirnya. Terkejut bukan kepalang melihat Ardi yang tampak bak Monster yang siap menerkam. Matanya melotot. Nyali Rina tiba-tiba ciut. Ia tidak jadi memarahi suaminya itu.
            “APA? KAMU MAU MINTA CERAI???”
            Rina menggeleng, ketakutan.
            “AKU MAU KITA CERAI. AKU TIDAK BISA LAGI HIDUP DENGANMU.”
            “Mas? Kamu bercanda kan?”
            “Aku serius! Aku tidak pernah bercanda dengan omonganku. Waktu melamarmu dulu, apa kau pikir itu bercanda?”
            Rina teringat kejadian enam tahun silam. Ardi dengan lantangnya, meski hanya bermodalkan pekerjaan sebagai tukang ojek, datang dengan gagahnya melamar Rina langsung pada orang tuanya.
            “Aku tidak percaya. Mas? Kamu bercanda kan mas?”
            “Aku tidak bercanda. Aku mau kita cerai!”Ardi menepis tangan Rina yang menyentuh pipinya dengan lembut.
            Rina menahan airmatanya yang mau jatuh. Jantungnya seolah tertikam benda tajam. Sakit? tidak, tapi sangat sakit. Ia hampir pingsan.
            “Aku mencintai perempuan lain.”
            Hah???
            Setelah itu Ardi pergi tanpa pamit sama sekali. Rina ditinggalkan seorang diri. Menangis sejadi-jadinya. Dalam rumah berukuran 4 x 4 meter itu, Rina terus saja menangis. Juga berharap Ardi akan pulang lalu menenangkannya. Tapi tidak terjadi, sampai subuh tiba, bahkan magrib kembali menyapa, Ardi tidak kembali.
            Tiga hari laki-laki itu tidak pulang dan tidak memberikan kabar. Kejadian malam itu yang selalu disembunyikan akhirnya diketahui juga oleh adiknya, Lina. Perempuan dengan bodi bigsize itu malah dengan lantang menyuruh Rina untuk bersikap. Terima saja ajakan laki-laki itu untuk bercerai. Selesai.
            Tapi bagi rina apakah itu mudah? Enam tahun mereka melewati suka dukanya ikatan rumah tangga. Tiga tahun mereka melewati masa perkenalan yang sekarang lebih ngtren disebut pacaran. Satu tahun mereka saling kenal, curi-curi pandang, saling sapa satu sama lain, malu-malu kucing. Jika ditotalkan, 10 tahun sudah mereka menerima takdir tuhan. Mengikuti drama yang telah tersusun sangat rapi. Lalu? Harus bercerai? Cinta… dimana CINTA?
            “Bercerai? Kamu tahu? Yah, Paman yakin kamu sudah tahu. Saudara-saudaramu juga tahu, adikmu yang masih kuliah itu juga tahu. Ponakanmu yang baru masuk SMA juga tahu, bercerai itu HALAL. Allah tidak melarangnya, tapi sayang sekali, Allah tidak menyukai hal itu.”Pamannya menjelaskan panjang lebar.
            Sebagai satu-satunya saudara laki-laki dari almarhum Ayahnya, sudah tepat laki-laki berusia 72 tahun itu dijadikan tempat bertanya dan meminta pendapat. Saat itu mereka semua sedang berkumpul di ruang keluarga rumah paman. Ada Lina, Ramzi – kakak pertamanya – dan Reza – adik pertamanya dari istri kedua ayah.
            “Tapi paman, bukankah pernikahan yang menyiksa pasangannya haram hukumnya? Bukankah lebih baik kita melakukan tindakan halal meski menyakitkan daripada menikmati keindahan yang diharamkan? Lagipula…”
            Lina tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Rina mencubitnya pelan.
            Paman menghela nafas lalu berkata,
            “Kalian tahu? Ilmu agama paman masih sangat sedikit. Paman tidak bisa memberikan pendapat lebih tentang kejadian seperti ini. Paman hanya berharap, semoga keputusan yang kau ambil bisa memberikan manfaat padamu dan pada kita semua. Semoga keputusan yang kau ambil, bisa lebih mendekatkan dirimu pada sang pencipta.”
            Hari itu juga keputusan yang paling tepat meski sulit, diambil. Perceraian tidak bisa dicegah. Sidang perceraian berlangsung cepat. Tidak perlu ada yang diperdebatkan. Meski harus mengorbankan airmata tapi tetap harus diputuskan. Mereka bercerai. Pernikahan 6 tahun sirna. Perkenalan 3 tahun hilang. 1 tahun PDKT, musnah.
            Setelah perceraian itu Rina memutuskan untuk ikut dengan Lina ke kampung halamannya. Kembali ke daerah seberang. Di kota ini, tentunya masih banyak kenangan yang akan membuatnya semakin sedih. Ia yakin, di daerah seberang, tanah Ia dilahirkan dan dibesarkan, Ia bisa melupakan laki-laki biadab itu.

**O**
            Dua tahun sudah berlalu, Rina sudah bisa melupakan kenangannya bersama Ardi. Meski tidak cepat, meski tidak banyak tapi sudah cukup mengobati luka didadanya. Ternyata benar, di desa ini, desa yang begitu asri dengan pepohonan yang rindang. Desa yang dialiri sungai nan jernih, diapit oleh bebukitan, jalannya pun masih bebatuan, pemandangan masih perawan, semuanya hilang dengan perlahan. Ardi lenyap dari pikirannya bersamaan dengan kedatangan seorang laki-laki, duda.
            Namanya Hasan.
            Oh sungguh dikira Hasan akan menjadi pelabuhan terakhir Rina? Belum tentu.
            Hasan sudah bercerai dengan istrinya. Kalian tahu apa yang terjadi antara Hasan dan Rina? Oke tunggu.
            Hasan dan Rina ternyata pernah menjalin hubungan lebih dari sekedar teman dekat dulu sebelum Rina memutuskan untuk merantau ke kota, ikut dengan ayahnya. Hubungan mereka sangat direstui orang tua Hasan. Sungguh, tidak ada yang menduga, ketika mendengar kabar perceraian Rina, orang tua Hasan bersorak bahagia.
            Hasan sudah bercerai dengan istrinya lebih dulu sebelum perceraian Rina. Jadi kalian jangan berpikir kehadiran Rina adalah penyebab hancurnya mahligai rumah tangga mereka.
            Di desa ini, kembali tumbuh kenangan-kenangan manis di masa SMP dan masa SMA. Masa dimana mereka jalan berduaan, melewati jalan bebatuan, terkadang bersepeda bersama untuk pergi ke sekolah. Sepulang sekolah SMP, mereka singgah di kebun mangga milik Pak RT, memanjatnya tanpa pamit pada pemiliknya. Biasanya Hasan yang memanjat dan Rina yang berjaga-jaga dibawah.
            Memasuki masa SMA, masa dimana kirim-kiriman surat sangatlah keren bahkan di pelosok desa yang listriknya bisa sehari tidak menyala. Mereka saling mengagumi satu sama lain. Kekaguman itu mereka tuangkan dalam kertas, membentuk syair. Terkadang membentuk puisi. Indah.  Lalu apakah surat-surat itu saling dikirimkan? Jawabannya tidak. Mereka memilih untuk menyimpannya, masing-masing takut untuk saling mengungkapkan.
            “Kamu ingat pohon mangga itu?”Hasan membuka pembicaraan ketika mereka lewat di depan rumah Pak RT. Tidak ada yang berubah kecuali warna cat pagar yang diperbarui setiap puasa dan lebaran. Setahun sekali.
            “Iya. Kamu masih berani memanjat pohon itu?”
            “Kamu mau makan mangganya Pak RT?”Hasan tertawa kecil.
            Rina hanya tertawa.
            Dua tahun berlalu dan ternyata Rina belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain, termasuk Hasan. Hasan yang terus berusaha, memberikan kode-kode, termasuk bercerita tentang kebahagiaan Ibunya saat mendengar kabar perceraian Rina, tidak menghasilkan apa-apa. Rina masih memilih untuk sendiri.
            Sebenarnya Rina sudah mulai menyukai Hasan tapi Ia takut. Ia sangat takut tersakiti untuk kedua kalinya. Ia tidak mau kejadian di kota beberapa tahun lalu kembali terulang di desa ini. jika sampai terjadi? Ia harus kemana lagi?
            Hasan putus asa.
            Sia-sia Ia menunggu tiga tahun sejak perceraiannya dengan sang istri.
            Hasan memutuskan segera menikah. Dengan perempuan lain.
            Ia tidak peduli pada Ibunya yang masih mengharapkan RIna.
            Undangan disebar. Satu desa heboh. Bukan dengan pernikahan itu, tapi dengan calon pengantin perempuan yang ternyata bukanlah Rina. Padahal sejak kepulangan Rina, satu desa berharap mereka bisa berjodoh. Menikah lalu bahagia. Tapi mau dikata apa? manusia hanya bisa berharap, selebihnya tangan tuhan lebih ahli untuk bekerja.
            RIna menerima undangan itu. Hatinya sedih. Sesak. Menyesal.
            Pernikahan dilangsungkan begitu mewah. satu desa datang kecuali Rina. Rina tidak sampai hati hadir ke pernikahan itu. Bukannya tidak menghargai undangan. Ia tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika Ia hadir dalam pernikahan itu. Satu desa bisa double heboh melihat kedatangannya. Dan Hasan, mungkin Ia tidak akan fokus saat akad nikah nanti. Bisa-bisa Ia salah sebut nama saat Ijab Qabul.
            Rina hanya berdiri jauh beberapa meter dari tenda yang terpasang di halaman rumah mempelai wanita. Ijab Qabul baru saja dilaksanakan. SAH. Hasan tidak duda lagi.

**O**
            Dua minggu berlalu, Rina masih menyimpan sesal dalam hatinya. Tapi semua pasti akan baik-baik saja. Ardi saja bisa Ia lupakan, kenapa Hasan tidak?
            Saat itu, Ia sedang menjemur kain di samping rumah. Lina  sedang berdagang di kantin sekolah. Suami Lina lagi di pasar. Anak-anaknya Lina? Yang nomor satu sudah mengajar di SMA, nomor dua lagi di kota sedang kuliah, yang nomor tiga baru lulus SMA dan sudah bekerja di kecamatan tetangga.
            Seorang laki-laki berwajah oriental datang mendekat. Membeli pulsa. Kebetulan Rina sudah berjualan pulsa sejak kedatangannya ke desa ini.
            “Maaf tidak ada kembaliannya.”
            “Oh begini saja. nanti malam saya balik lagi untuk ambil kembaliannya. Saya lagi buru-buru, mau mengurusi kebun cengkeh saya. Bisa?”
            “Tapi koh?”
            “Boleh?”
            “Boleh.”
            Laki-laki tanpa identitas itu buru-buru naik ke mobil bersama anak buahnya. Rina hanya bisa mengerjapkan mata ketika laki-laki berwajah tionghoa itu menghilang bersama mobilnya diujung jalan. Rina tidak pernah melihat wajah laki-laki sebelumnya. Kalau wajah anak buah si Engkoh itu, Rina sudah sering melihat wajah mereka.
            Sampai menjelang magrib tidak ada tanda-tanda kedatangan si Engkoh misterius itu. Rina tidak kenal namanya jadi selama berbicara dengan Lina Ia selalu menyebutnya Engkoh.
            “Mungkin itu malaikat kali.”
            “Malaikat apa? kamu itu, bicaranya mulai ngawur.”
            “Kan tidak ada yang tahu. Kakak sendiri tahu siapa dia?”
            Rina menggeleng.
            “Nah, itu berarti…”
            “Tapi anak buahnya dia, aku pernah melihat mereka.”
            “Itu hanya halusinasi saja. Pelengkap.”
            “Ah sudah-sudah. Kamu ini, sudah mau gelap malah bicara tidak jelas. Aku mau sholat magrib dulu. Nanti kalau laki-laki itu datang dan minta uang kembalianya, kamu saja yang ngasih.”
            Dan tepat beberapa menit setelah waktu magrib selesai, terdengar salam dari pintu rumah. Lina dan anak pertamanya yang saat itu sedang di dapur menyiapkan makan malam buru-buru berlari ke luar.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam. Oh, ini pasti si engkoh yang mau ngambil uang kembalian ya?”
            “Iya. Boleh masuk?”
            “Boleh koh, boleh.”
            Setelah menerima uang kembali, si Engkoh dan anak buahnya yang ada dua orang itu tidak langsung pulang. Mereka masih duduk saja di ruang tamu membuat Lina dan anak pertamanya saling pandang. Bertukar pendapat lewat alis yang naik turun dan bola mata yang kesana kemari.
            “Maaf ya engkoh, ada lagi yang bisa kami bantu?”
            “Hmm… begini. Maksud kedatangan saya kesini…”
            “Assalamualaikum.”belum lengkap penjelasan si engkoh tiba-tiba suami Lina masuk.
            “Ada tamu rupanya? Tidak disuguhin minum Bu?”
            “Oh iya Ibu lupa. Ayo Win.”
            Dua perempuan itu berebut masuk ke dapur. Membiarkan si engkoh berbicara langsung dengan suaminya Lina. Sementara Rina di dalam kamar sudah selesai sholat magrib tapi masih membaca Al-Quran, kebiasaannya sejak dulu.
            “Jadi ada tujuan apa engkoh datang ke sini?”
            “Saya mohon maaf terlebih dulu. Kalau saya lancang dan kurang sopan mohon dimaafkan. Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.”
            “Oh iya katakan saja, tidak apa-apa.”
            “Saya sudah bicara dengan anak buah saya ini. Katanya di rumah ini ada perempuan bernama Rina yang baru saja pisah dengan suaminya. Kebetulan, sebulan yang lalu saya resmi menjadi Duda. Dan kalau diijinkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya ingin meminang perempuan itu untuk menjadi istri saya.”
            Duar!!!
            Di luar kembang api meledak-ledak, warnanya pecah, cantik dan indah.
            Cukup, imajinasinya berlebihan.
            “Oh My..”Anak pertama Lina tidak jadi menjerit. Mulutnya sudah lebih dulu dibekap tangan besar ibunya.
            Mereka di dapur tidak bisa berbuat apa-apa selain loncat kegirangan. Lupa pada Teh yang sedang dibuat. Sementara suami Lina masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan lelaki itu barusan.
            Lalu Rina? Yang kamarnya tepat bersampingan dengan ruang tamu. Yang kalau Ia membuka pintu langsung menghadap ke tempat pembicaraan itu.  Apa yang sedang terjadi dengannya? Syok!
            Hatinya tiba-tiba menderu tiada dua. Dug, Dag, Dig, Deg.
            Apa yang baru saja didengarnya? Ini tidak bercanda kan? Secepat itu? secepat itu laki-laki tadi melamarnya? Oh tuhan, scenario apalagi yang sedang engkau mainkan? Rina merinding dibalik mukena yang ia kenakan. Tidak sadar, airmatanya jatuh membasahi kitab di pangkuannya.
            “Ini pasti mimpi.”
             “Kakak?”
            Rina terkejut untuk kedua kalinya saat Lina dengan wajah berseri-seri sudah berdiri dihadapannya. Ia baru saja meletakan minuman dan sepiring kue untuk tamu mengejutkan itu.
            “Bagaimana? Aku yakin kakak pasti sudah mendengarnya.”
            “Ssst…”Rina tidak menjawab dan malah menyuruh adiknya itu diam. Mereka harus mendengar pembicaraan Si Engkoh dan suaminya Lina.
            “Begini Engkoh..”
            “Maaf, panggil saja Heri.”
            “Oh iya, begini Pak Heri. Bukannya saya mau menolak, tapi yang mau menjalani hubungan nanti kan saudara Ipar saya, bukan saya. Lagipula saya disini hanya sebagai saudara Iparnya, Ia masih punya tiga saudara laki-laki dan satu paman sebagai pengganti dari almarhum ayahnya. Jadi dengan tidak mengurangi rasa hormat, rasanya hal ini harus dibicarakan dulu dengan saudara-saudara dan keluarganya di kota seberang. Bagaimana?”
            “Ah, suamiku cemen sekali. masa urusan begini harus kasih kabar dulu ke kota?”
            “Suamimu bijaksana Lin.”Jawab Rina sambil senyum-senyum.
            “Jadi…?”
            “Aku belum tahu.”
            “kakak mau yang bagaimana lagi?”
            Perempuan dengan kerudung coklat itu bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
            “Aku tidak tahu Lin.”
            “Kak? Sekarang semuanya ada padamu. Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”
            Setelah berdebat cukup lama di dalam kamar akhirnya Rina mengalah dan menurut dengan ajakan Lina untuk keluar dan bicara langsung dengan si Engkoh Heri itu. Eh, si Engkoh malah malu-malu kucing saat Rina keluar dari kamar dan duduk dihadapannya.
            “Jadi kalau memang diterima, saya ingin akad nikahnya dilakukan secepat mungkin. Saya tidak mau lama-lama. Minggu depan juga bisa.”
            What???
            Rina, Lina dan suami Lina terkejut bukan kepalang. Kenal saja baru tadi, memintapun baru tadi, eh minggu depan sudah mau akad nikah. Gila Si Engkoh ini kali ya?
            Setelah berbicara cukup panjang, Rina yang secara pribadi sudah menerima tapi masih mau memberi kabar ke kota seberang, Rina yang sudah mau tapi akad nikahnya nanti setelah lewat dari 100 hari Almarhumah Istrinya si Engkoh, akhirnya kabar itu sampai ke kota seberang via telepon.

            “Kamu serius Rin? Kalau kamu mau, kakak juga setuju.”Kakak pertamanya memberi persetujuan.
            “Tapi Rina maunya nanti setelah lewat 100 hari meninggalnya almarhumah Istrinya. Tapi si engkoh itu minta kalau bisa minggu depan, atau paling telat setelah lewat 40 hari meninggal Istrinya.”
            “Rina? Jangan suka menunda-nunda kedatangan jodoh. Kita tidak tahu seperti apa takdir yang sedang tuhan gariskan untuk kita. Terima saja, jangan menunda-nunda. Paman berharap kali ini semoga kamu mendapatkan laki-laki yang pantas untuk disebut suami.”Si Paman malah 100% mendukung keputusan si Engkoh.
            “Kakak tidak bercanda kan? Minggu depan? Ya sudah, insha allah aku sama anak istri aku akan datang.”Adik pertama dari istri kedua ayahnya bersorak bahagia. Namun tetap terselip rasa kaget dari tawa bahagia itu.
            “Adik bagaimana? Dia bisa datang kan?”
            “Entahlah Kak. nanti Aku coba bicara dulu.”
            Kabar bahagia itu akhirnya sampai juga ditelingaku. Aku yang tidak percaya tentunya geleng-geleng. Dua hari lagi harus berangkat dan aku belum sempat minta izin di tempat kerja. Ah, padahal jadwal cutiku dua bulan lagi, dan aku sudah berencana untuk mengunjungi desa itu.

**O**
            Semua sudah disiapkan. Rumah tiba-tiba ramai oleh kedatangan tante-tante, sepupu, keponakan dan tetangga yang ikut merapikan rumah. Tenda di pasang di halaman rumah. Satu desa heboh dengan kabar ini. Besok akad nikah sekaligus malam syukuran atas pernikahan mereka. tidak ada hiburan sama sekali. Rina tidak suka.
            “Kalau menikahnya terlalu ramai, aku takut kalau bercerai nanti ramai juga.”
            “His. Kakak bicara apa sih? akad nikahnya nanti besok kak. jangan dulu bahas cerai-ceraian.”
            Keluarga dari kota tetangga akan datang dengan kapal malam ini. kemungkinan besar, jika tidak ada halangan besok pagi mereka sudah tiba di rumah. Ada Ramzi, beserta Istri dan anaknya. Ada Reza yang juga datang bersama istri dan anaknya. Terakhir ada adik bungsunya yang baru saja tamat kuliah dan sepertinya masih betah sendiri. Setiap kali ditanya oleh Rina, apalagi keluarga besar, si adik malah senyum-senyum tidak jelas.
            Ah, dua tahun yang lalu aku terakhir menginjakkan kaki ini, tidak banyak yang berubah kecuali anak-anak desa ini yang semakin modern. Padahal dulu, dulu sekali saat aku masih SD sampai kelas 1 SMA, desa ini selalu ramai dengan anak-anak yang berlari kesana kemari tanpa gadget ditangan mereka. Kalau malam tiba, listrik padam dan menyala nanti pukul 12.00, jalanan desa ramai dengan petikan gitar anak-anak muda desa ini. Tapi untuk sekarang? Anak-anak muda itu telah merantau, jauh dari desa ini. Sekarang, rasanya kota mati cocok disematkan pada desa ini, kecuali malam ini, malam syukuran.
            Tadi pagi, ketika keluarga tiba, akad nikah langsung dilaksanakan. Tidak ada yang diundang kecuali keluarga besar. Ada pamannya, tante-tantenya, sepupu-sepupu, keponakan, adik-adik dan kerabat dekat. Rumah ramai. Dapur juga ikut berseru ramai ketika si Engkoh dengan gagahnya mengucapkan Qabul.
            SAH!!!
            Alhamdulillah.
            Acara syukuran yang sederhana dilangsungkan pada malam hari. Ramai meskipun tanpa hiburan sama sekali. Banyak yang datang memberikan ucapan selamat dan mendoakan agar pernikahan ini berkah. Termasuk Hasan yang datang tanpa ditemani istrinya.
            Sungguh, tiada insan yang lebih bahagia pada malam ini kecuali Rina.
            Semua datang tidak terduga. Lalu siapakah yang berhak menolak kehadiran jodoh? Atau jangan sebut dulu jodoh. Siapa yang berhak menolak takdir tuhan? Scenario tuhan? Tidak ada. Kita hanya manusia. Terima saja takdir untuk kita ini.
            Lalu Rina?
            Jelas, raut bahagia tampak diwajahnya. Sepertinya Ia harus siap untuk berpisah dengan adiknya, Lina. Ia akan dibawa pergi si engkoh ke kecamatan seberang, jaraknya 16 KM dari desa ini. Si Engkoh harus mengurusi warung makannya di pusat kecamatan. Juga harus mengurusi kebun cengkeh, perusahaan kayu, dan banyak lagi.
            Rina, ah, kau sungguh beruntung. Kau lepaskan si tukang ojek tak tahu diri itu. Dua tahun dia berusaha tegar untuk melupakan segala kenangannya bersama mantan suaminya, dan sekarang lihat? Tuhan sedang menggariskan takdir yang lain untuknya. Terserah akhir dari takdir ini mau bagaimana lagi, tapi satu yang pasti, ini saatnya Rina untuk menjalani takdir dengan sebaik-baiknya. Tuhan maha baik. Tuhan maha mendengar. Doa Rina mulai dikabulkan satu persatu.
            Semoga, kelak suatu saat nanti tuhan juga mau mengabulkan doaku. Doaku tidak muluk-muluk kok. Tuhan tahu, aku sering menyebut nama perempuan itu dalam doaku. Perempuan kedua yang kusebut selain Ibuku. Tuhan tahu, aku sudah sering bicara dengannya tentang perasaanku pada perempuan itu, yang ah, entah mengapa sampai sekarang rasa itu belum juga sirna. Padahal waktu dan jarak rasanya sudah cukup dijadikan alasan kuat untuk aku berhenti mengharapkannya.
            Atau selama ini, aku yang sama sekali tidak menarik baginya? Bagi hatinya?


*Cerita ini terinpirasi dari kisah nyata. Diedit dan dimanipulasi untuk kebutuhan publikasi.
*Bahwa, tuhan selalu punya scenario terbaik. Selalu ada makna dibalik gelapnya malam tanpa bintang.
*Tidak usah berpikiran macam-macam. Ini hanya karya Fiksi yang terinspirasi dari kisah Nyata.

Nikmati saja. Baca saja. tidak usah menduga-duga apalagi yang aneh-aneh.