“kakak
mau yang bagaimana lagi?”
Perempuan dengan kerudung coklat itu
bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat
ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
“Aku tidak tahu Lin.”
“Kak? Sekarang semuanya ada padamu.
Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”Lina memegangi dua
lengan kakaknya, Rina.
Rina diam tidak menyahut. Tatapannya
kosong tak bermakna sama sekali. Ia masih ingat bagaimana rumah tangganya yang
hancur beberapa tahun yang lalu. Ia takut untuk kembali jatuh cinta. Ia takut
untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan laki-laki manapun apalagi
dengan laki-laki yang belum dikenalnya sama sekali.
Hatinya masih cukup nyeri
menyaksikan pernikahan lelaki itu dua
minggu yang lalu. Ia takut berharap lebih sekalipun kali ini sepertinya itu
bukan sekedar harapan melainkan kenyataan.
“Kak? bagaimana?”
Rina menggeleng pelan.
Pernikahannya yang dibangun hampir enam
tahun tiba-tiba kandas begitu saja karena kehadiran orang ketiga dalam hubungan
mereka. Ardi, dengan perasaan tak bersalah sama sekali, mengungkapkan
keinginannya untuk menikah lagi sekaligus bercerai dari Rina.
Rina tentu syok berat. Apa-apaan
ini? tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba saja minta cerai. Memang,
akhir-akhir ini kelakukan Ardi berubah 180 derajat. Ardi yang biasanya pulang
dengan senyuman, kali ini berubah. Ia jadi lupa mengucap salam. Ia juga tidak
pernah bermesra-mesraan lagi dengan Rina. Ia jadi pendiam. Setiap kali diajak
bicara serius, Ardi memilih untuk menjauh.
Rina sebenarnya sudah cukup curiga
dengan tingkah laku Ardi namun Ia masih berusaha berpikir positif. Mungkin Ardi
lagi capek karena akhir-akhir ini penghasilan mereka kurang. Terkadang Rina
hanya masuk telur ceplok dan sambal untuk makan malam mereka.
Pekerjaan Ardi sebagai tukang ojek
memang tidak bisa diharapkan terlalu banyak. Untung-untungan bisa dapat banyak,
beberapa kali malah tekor karena terlalu banyak biaya bensinnya. Dan Rina
mengerti kalau hanya persoalan itu. Enam tahun menikah dan persoalan itu hanya
seperti bumbu pemanis dalam hubungan rumah tangga mereka yang tampak sangat
harmonis itu.
Puncaknya Rina menerima laporan dari
tetangga yang tidak sengaja melihat Ardi sedang berada di pasar. Rina mengerti
pasti Ardi sedang mencari penumpang di sana tapi bukan itu laporan yang Ia
terima. Tetangga yang tidak mau disebutkan namanya itu - sebut saja namanya
mawar – melihat Ardi sedang membantu seorang perempuan berjualan sayur, buah,
dan obat-obatan.
Rina yang memang sangat pencemburu
itu, menyambut kepulangan Ardi dengan wajah merah padam.
“Ada apa? suami pulang kok tidak
disambut baik-baik? aku lapar. Mana makanannya? Jangan bilang hanya ada telur
ceplok lagi.”
“Lalu mas maunya apa? ikan? Aku
kehabisan uang mas untuk belanja keperluan sehari-hari. Akhir-akhir ini mas
tidak pernah memberikan lagi uang belanja.”
“KAMU SENDIRI KAN TAHU SEKARANG LAGI
SEPI. PENUMPANG TIDAK MAU NAIK OJEK. ALASANNYA PANAS LAH, UJAN LAH. LALU KAMU
APA? MAU AKU MENCURI? KENAPA TIDAK KAMU SAJA YANG CARI KERJA? AKU CAPEK, KAMU
TIDAK PERNAH MENGERTI KEADAAN AKU.”
“Mas??...??”Rina mengatupkan
bibirnya. Terkejut bukan kepalang melihat Ardi yang tampak bak Monster yang
siap menerkam. Matanya melotot. Nyali Rina tiba-tiba ciut. Ia tidak jadi
memarahi suaminya itu.
“APA? KAMU MAU MINTA CERAI???”
Rina menggeleng, ketakutan.
“AKU MAU KITA CERAI. AKU TIDAK BISA
LAGI HIDUP DENGANMU.”
“Mas? Kamu bercanda kan?”
“Aku serius! Aku tidak pernah
bercanda dengan omonganku. Waktu melamarmu dulu, apa kau pikir itu bercanda?”
Rina teringat kejadian enam tahun
silam. Ardi dengan lantangnya, meski hanya bermodalkan pekerjaan sebagai tukang
ojek, datang dengan gagahnya melamar Rina langsung pada orang tuanya.
“Aku tidak percaya. Mas? Kamu
bercanda kan mas?”
“Aku tidak bercanda. Aku mau kita
cerai!”Ardi menepis tangan Rina yang menyentuh pipinya dengan lembut.
Rina menahan airmatanya yang mau
jatuh. Jantungnya seolah tertikam benda tajam. Sakit? tidak, tapi sangat sakit.
Ia hampir pingsan.
“Aku mencintai perempuan lain.”
Hah???
Setelah itu Ardi pergi tanpa pamit
sama sekali. Rina ditinggalkan seorang diri. Menangis sejadi-jadinya. Dalam
rumah berukuran 4 x 4 meter itu, Rina terus saja menangis. Juga berharap Ardi
akan pulang lalu menenangkannya. Tapi tidak terjadi, sampai subuh tiba, bahkan
magrib kembali menyapa, Ardi tidak kembali.
Tiga hari laki-laki itu tidak pulang
dan tidak memberikan kabar. Kejadian malam itu yang selalu disembunyikan
akhirnya diketahui juga oleh adiknya, Lina. Perempuan dengan bodi bigsize itu malah dengan lantang
menyuruh Rina untuk bersikap. Terima saja ajakan laki-laki itu untuk bercerai.
Selesai.
Tapi bagi rina apakah itu mudah?
Enam tahun mereka melewati suka dukanya ikatan rumah tangga. Tiga tahun mereka
melewati masa perkenalan yang sekarang lebih ngtren disebut pacaran. Satu tahun mereka saling kenal,
curi-curi pandang, saling sapa satu sama lain, malu-malu kucing. Jika
ditotalkan, 10 tahun sudah mereka menerima takdir tuhan. Mengikuti drama yang
telah tersusun sangat rapi. Lalu? Harus bercerai? Cinta… dimana CINTA?
“Bercerai? Kamu tahu? Yah, Paman
yakin kamu sudah tahu. Saudara-saudaramu juga tahu, adikmu yang masih kuliah
itu juga tahu. Ponakanmu yang baru masuk SMA juga tahu, bercerai itu HALAL.
Allah tidak melarangnya, tapi sayang sekali, Allah tidak menyukai hal
itu.”Pamannya menjelaskan panjang lebar.
Sebagai satu-satunya saudara
laki-laki dari almarhum Ayahnya, sudah tepat laki-laki berusia 72 tahun itu
dijadikan tempat bertanya dan meminta pendapat. Saat itu mereka semua sedang
berkumpul di ruang keluarga rumah paman. Ada Lina, Ramzi – kakak pertamanya –
dan Reza – adik pertamanya dari istri kedua ayah.
“Tapi paman, bukankah pernikahan
yang menyiksa pasangannya haram hukumnya? Bukankah lebih baik kita melakukan
tindakan halal meski menyakitkan daripada menikmati keindahan yang diharamkan?
Lagipula…”
Lina tidak jadi melanjutkan
kalimatnya. Rina mencubitnya pelan.
Paman menghela nafas lalu berkata,
“Kalian tahu? Ilmu agama paman masih
sangat sedikit. Paman tidak bisa memberikan pendapat lebih tentang kejadian
seperti ini. Paman hanya berharap, semoga keputusan yang kau ambil bisa
memberikan manfaat padamu dan pada kita semua. Semoga keputusan yang kau ambil,
bisa lebih mendekatkan dirimu pada sang pencipta.”
Hari itu juga keputusan yang paling
tepat meski sulit, diambil. Perceraian tidak bisa dicegah. Sidang perceraian
berlangsung cepat. Tidak perlu ada yang diperdebatkan. Meski harus mengorbankan
airmata tapi tetap harus diputuskan. Mereka bercerai. Pernikahan 6 tahun sirna.
Perkenalan 3 tahun hilang. 1 tahun PDKT, musnah.
Setelah
perceraian itu Rina memutuskan untuk ikut dengan Lina ke kampung halamannya.
Kembali ke daerah seberang. Di kota ini, tentunya masih banyak kenangan yang
akan membuatnya semakin sedih. Ia yakin, di daerah seberang, tanah Ia
dilahirkan dan dibesarkan, Ia bisa melupakan laki-laki biadab itu.
**O**
Dua tahun sudah berlalu, Rina sudah
bisa melupakan kenangannya bersama Ardi. Meski tidak cepat, meski tidak banyak
tapi sudah cukup mengobati luka didadanya. Ternyata benar, di desa ini, desa
yang begitu asri dengan pepohonan yang rindang. Desa yang dialiri sungai nan
jernih, diapit oleh bebukitan, jalannya pun masih bebatuan, pemandangan masih
perawan, semuanya hilang dengan perlahan. Ardi lenyap dari pikirannya bersamaan
dengan kedatangan seorang laki-laki, duda.
Namanya Hasan.
Oh sungguh dikira Hasan akan menjadi
pelabuhan terakhir Rina? Belum tentu.
Hasan sudah bercerai dengan
istrinya. Kalian tahu apa yang terjadi antara Hasan dan Rina? Oke tunggu.
Hasan dan Rina ternyata pernah
menjalin hubungan lebih dari sekedar
teman dekat dulu sebelum Rina memutuskan untuk merantau ke kota, ikut
dengan ayahnya. Hubungan mereka sangat direstui orang tua Hasan. Sungguh, tidak
ada yang menduga, ketika mendengar kabar perceraian Rina, orang tua Hasan
bersorak bahagia.
Hasan sudah bercerai dengan istrinya
lebih dulu sebelum perceraian Rina. Jadi kalian jangan berpikir kehadiran Rina adalah
penyebab hancurnya mahligai rumah tangga mereka.
Di desa ini, kembali tumbuh kenangan-kenangan
manis di masa SMP dan masa SMA. Masa dimana mereka jalan berduaan, melewati
jalan bebatuan, terkadang bersepeda bersama untuk pergi ke sekolah. Sepulang
sekolah SMP, mereka singgah di kebun mangga milik Pak RT, memanjatnya tanpa
pamit pada pemiliknya. Biasanya Hasan yang memanjat dan Rina yang berjaga-jaga
dibawah.
Memasuki masa SMA, masa dimana
kirim-kiriman surat sangatlah keren bahkan di pelosok desa yang listriknya bisa
sehari tidak menyala. Mereka saling mengagumi satu sama lain. Kekaguman itu
mereka tuangkan dalam kertas, membentuk syair. Terkadang membentuk puisi.
Indah. Lalu apakah surat-surat itu
saling dikirimkan? Jawabannya tidak. Mereka memilih untuk menyimpannya,
masing-masing takut untuk saling mengungkapkan.
“Kamu ingat pohon mangga itu?”Hasan
membuka pembicaraan ketika mereka lewat di depan rumah Pak RT. Tidak ada yang
berubah kecuali warna cat pagar yang diperbarui setiap puasa dan lebaran.
Setahun sekali.
“Iya. Kamu masih berani memanjat
pohon itu?”
“Kamu mau makan mangganya Pak
RT?”Hasan tertawa kecil.
Rina hanya tertawa.
Dua tahun berlalu dan ternyata Rina
belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain, termasuk Hasan. Hasan yang
terus berusaha, memberikan kode-kode, termasuk bercerita tentang kebahagiaan
Ibunya saat mendengar kabar perceraian Rina, tidak menghasilkan apa-apa. Rina
masih memilih untuk sendiri.
Sebenarnya Rina sudah mulai menyukai
Hasan tapi Ia takut. Ia sangat takut tersakiti untuk kedua kalinya. Ia tidak
mau kejadian di kota beberapa tahun lalu kembali terulang di desa ini. jika
sampai terjadi? Ia harus kemana lagi?
Hasan putus asa.
Sia-sia Ia menunggu tiga tahun sejak
perceraiannya dengan sang istri.
Hasan memutuskan segera menikah.
Dengan perempuan lain.
Ia tidak peduli pada Ibunya yang
masih mengharapkan RIna.
Undangan disebar. Satu desa heboh.
Bukan dengan pernikahan itu, tapi dengan calon pengantin perempuan yang
ternyata bukanlah Rina. Padahal sejak kepulangan Rina, satu desa berharap
mereka bisa berjodoh. Menikah lalu bahagia. Tapi mau dikata apa? manusia hanya
bisa berharap, selebihnya tangan tuhan lebih ahli untuk bekerja.
RIna menerima undangan itu. Hatinya
sedih. Sesak. Menyesal.
Pernikahan dilangsungkan begitu
mewah. satu desa datang kecuali Rina. Rina tidak sampai hati hadir ke pernikahan
itu. Bukannya tidak menghargai undangan. Ia tidak mau terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan jika Ia hadir dalam pernikahan itu. Satu desa bisa double heboh melihat kedatangannya. Dan
Hasan, mungkin Ia tidak akan fokus saat akad nikah nanti. Bisa-bisa Ia salah
sebut nama saat Ijab Qabul.
Rina hanya berdiri jauh beberapa
meter dari tenda yang terpasang di halaman rumah mempelai wanita. Ijab Qabul
baru saja dilaksanakan. SAH. Hasan tidak duda lagi.
**O**
Dua minggu berlalu, Rina masih
menyimpan sesal dalam hatinya. Tapi semua pasti akan baik-baik saja. Ardi saja
bisa Ia lupakan, kenapa Hasan tidak?
Saat itu, Ia sedang menjemur kain di
samping rumah. Lina sedang berdagang di
kantin sekolah. Suami Lina lagi di pasar. Anak-anaknya Lina? Yang nomor satu
sudah mengajar di SMA, nomor dua lagi di kota sedang kuliah, yang nomor tiga
baru lulus SMA dan sudah bekerja di kecamatan tetangga.
Seorang laki-laki berwajah oriental
datang mendekat. Membeli pulsa. Kebetulan Rina sudah berjualan pulsa sejak
kedatangannya ke desa ini.
“Maaf tidak ada kembaliannya.”
“Oh begini saja. nanti malam saya
balik lagi untuk ambil kembaliannya. Saya lagi buru-buru, mau mengurusi kebun
cengkeh saya. Bisa?”
“Tapi koh?”
“Boleh?”
“Boleh.”
Laki-laki tanpa identitas itu
buru-buru naik ke mobil bersama anak buahnya. Rina hanya bisa mengerjapkan mata
ketika laki-laki berwajah tionghoa itu menghilang bersama mobilnya diujung
jalan. Rina tidak pernah melihat wajah laki-laki sebelumnya. Kalau wajah anak
buah si Engkoh itu, Rina sudah sering melihat wajah mereka.
Sampai menjelang magrib tidak ada
tanda-tanda kedatangan si Engkoh misterius itu. Rina tidak kenal namanya jadi
selama berbicara dengan Lina Ia selalu menyebutnya Engkoh.
“Mungkin itu malaikat kali.”
“Malaikat apa? kamu itu, bicaranya
mulai ngawur.”
“Kan tidak ada yang tahu. Kakak
sendiri tahu siapa dia?”
Rina menggeleng.
“Nah, itu berarti…”
“Tapi anak buahnya dia, aku pernah
melihat mereka.”
“Itu hanya halusinasi saja.
Pelengkap.”
“Ah sudah-sudah. Kamu ini, sudah mau
gelap malah bicara tidak jelas. Aku mau sholat magrib dulu. Nanti kalau
laki-laki itu datang dan minta uang kembalianya, kamu saja yang ngasih.”
Dan tepat beberapa menit setelah
waktu magrib selesai, terdengar salam dari pintu rumah. Lina dan anak
pertamanya yang saat itu sedang di dapur menyiapkan makan malam buru-buru
berlari ke luar.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Oh, ini pasti si
engkoh yang mau ngambil uang kembalian ya?”
“Iya. Boleh masuk?”
“Boleh koh, boleh.”
Setelah menerima uang kembali, si
Engkoh dan anak buahnya yang ada dua orang itu tidak langsung pulang. Mereka
masih duduk saja di ruang tamu membuat Lina dan anak pertamanya saling pandang.
Bertukar pendapat lewat alis yang naik turun dan bola mata yang kesana kemari.
“Maaf ya engkoh, ada lagi yang bisa
kami bantu?”
“Hmm… begini. Maksud kedatangan saya
kesini…”
“Assalamualaikum.”belum lengkap
penjelasan si engkoh tiba-tiba suami Lina masuk.
“Ada tamu rupanya? Tidak disuguhin
minum Bu?”
“Oh iya Ibu lupa. Ayo Win.”
Dua perempuan itu berebut masuk ke
dapur. Membiarkan si engkoh berbicara langsung dengan suaminya Lina. Sementara
Rina di dalam kamar sudah selesai sholat magrib tapi masih membaca Al-Quran,
kebiasaannya sejak dulu.
“Jadi ada tujuan apa engkoh datang
ke sini?”
“Saya mohon maaf terlebih dulu.
Kalau saya lancang dan kurang sopan mohon dimaafkan. Ada hal penting yang ingin
saya sampaikan.”
“Oh iya katakan saja, tidak
apa-apa.”
“Saya sudah bicara dengan anak buah
saya ini. Katanya di rumah ini ada perempuan bernama Rina yang baru saja pisah
dengan suaminya. Kebetulan, sebulan yang lalu saya resmi menjadi Duda. Dan
kalau diijinkan, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya ingin meminang
perempuan itu untuk menjadi istri saya.”
Duar!!!
Di
luar kembang api meledak-ledak, warnanya pecah, cantik dan indah.
Cukup, imajinasinya berlebihan.
“Oh My..”Anak pertama Lina tidak
jadi menjerit. Mulutnya sudah lebih dulu dibekap tangan besar ibunya.
Mereka di dapur tidak bisa berbuat
apa-apa selain loncat kegirangan. Lupa pada Teh yang sedang dibuat. Sementara
suami Lina masih tidak percaya dengan apa yang disampaikan lelaki itu barusan.
Lalu Rina? Yang kamarnya tepat
bersampingan dengan ruang tamu. Yang kalau Ia membuka pintu langsung menghadap
ke tempat pembicaraan itu. Apa yang
sedang terjadi dengannya? Syok!
Hatinya tiba-tiba menderu tiada dua.
Dug, Dag, Dig, Deg.
Apa yang baru saja didengarnya? Ini
tidak bercanda kan? Secepat itu? secepat itu laki-laki tadi melamarnya? Oh
tuhan, scenario apalagi yang sedang engkau mainkan? Rina merinding dibalik
mukena yang ia kenakan. Tidak sadar, airmatanya jatuh membasahi kitab di
pangkuannya.
“Ini pasti mimpi.”
“Kakak?”
Rina terkejut untuk kedua kalinya
saat Lina dengan wajah berseri-seri sudah berdiri dihadapannya. Ia baru saja
meletakan minuman dan sepiring kue untuk tamu mengejutkan itu.
“Bagaimana? Aku yakin kakak pasti
sudah mendengarnya.”
“Ssst…”Rina tidak menjawab dan malah
menyuruh adiknya itu diam. Mereka harus mendengar pembicaraan Si Engkoh dan
suaminya Lina.
“Begini Engkoh..”
“Maaf, panggil saja Heri.”
“Oh iya, begini Pak Heri. Bukannya
saya mau menolak, tapi yang mau menjalani hubungan nanti kan saudara Ipar saya,
bukan saya. Lagipula saya disini hanya sebagai saudara Iparnya, Ia masih punya
tiga saudara laki-laki dan satu paman sebagai pengganti dari almarhum ayahnya.
Jadi dengan tidak mengurangi rasa hormat, rasanya hal ini harus dibicarakan
dulu dengan saudara-saudara dan keluarganya di kota seberang. Bagaimana?”
“Ah, suamiku cemen sekali. masa
urusan begini harus kasih kabar dulu ke kota?”
“Suamimu bijaksana Lin.”Jawab Rina
sambil senyum-senyum.
“Jadi…?”
“Aku belum tahu.”
“kakak mau yang bagaimana lagi?”
Perempuan dengan kerudung coklat itu
bertanya serius. Rautnya yang jenaka seperti biasanya tidak tampak pada saat
ini. Ia menatap perempuan kurus berusia lebih dari 40 tahun, serius.
“Aku tidak tahu Lin.”
“Kak? Sekarang semuanya ada padamu.
Ini untuk menghindari fitnah. Kakak mengerti kan maksud aku?”
Setelah berdebat cukup lama di dalam
kamar akhirnya Rina mengalah dan menurut dengan ajakan Lina untuk keluar dan
bicara langsung dengan si Engkoh Heri itu. Eh, si Engkoh malah malu-malu kucing
saat Rina keluar dari kamar dan duduk dihadapannya.
“Jadi kalau memang diterima, saya
ingin akad nikahnya dilakukan secepat mungkin. Saya tidak mau lama-lama. Minggu
depan juga bisa.”
What???
Rina, Lina dan suami Lina terkejut
bukan kepalang. Kenal saja baru tadi, memintapun baru tadi, eh minggu depan
sudah mau akad nikah. Gila Si Engkoh ini kali ya?
Setelah berbicara cukup
panjang, Rina yang secara pribadi sudah menerima tapi masih mau memberi kabar
ke kota seberang, Rina yang sudah mau tapi akad nikahnya nanti setelah lewat
dari 100 hari Almarhumah Istrinya si Engkoh, akhirnya kabar itu sampai ke kota
seberang via telepon.
“Kamu serius Rin? Kalau kamu mau,
kakak juga setuju.”Kakak pertamanya memberi persetujuan.
“Tapi Rina maunya nanti setelah
lewat 100 hari meninggalnya almarhumah Istrinya. Tapi si engkoh itu minta kalau
bisa minggu depan, atau paling telat setelah lewat 40 hari meninggal Istrinya.”
“Rina? Jangan suka menunda-nunda
kedatangan jodoh. Kita tidak tahu seperti apa takdir yang sedang tuhan gariskan
untuk kita. Terima saja, jangan menunda-nunda. Paman berharap kali ini semoga
kamu mendapatkan laki-laki yang pantas untuk disebut suami.”Si Paman malah 100%
mendukung keputusan si Engkoh.
“Kakak tidak bercanda kan? Minggu
depan? Ya sudah, insha allah aku sama anak istri aku akan datang.”Adik pertama
dari istri kedua ayahnya bersorak bahagia. Namun tetap terselip rasa kaget dari
tawa bahagia itu.
“Adik bagaimana? Dia bisa datang
kan?”
“Entahlah Kak. nanti Aku coba bicara
dulu.”
Kabar bahagia itu akhirnya sampai
juga ditelingaku. Aku yang tidak percaya tentunya geleng-geleng. Dua hari lagi
harus berangkat dan aku belum sempat minta izin di tempat kerja. Ah, padahal
jadwal cutiku dua bulan lagi, dan aku sudah berencana untuk mengunjungi desa
itu.
**O**
Semua sudah disiapkan. Rumah
tiba-tiba ramai oleh kedatangan tante-tante, sepupu, keponakan dan tetangga
yang ikut merapikan rumah. Tenda di pasang di halaman rumah. Satu desa heboh
dengan kabar ini. Besok akad nikah sekaligus malam syukuran atas pernikahan
mereka. tidak ada hiburan sama sekali. Rina tidak suka.
“Kalau menikahnya terlalu ramai, aku
takut kalau bercerai nanti ramai juga.”
“His. Kakak bicara apa sih? akad
nikahnya nanti besok kak. jangan dulu bahas cerai-ceraian.”
Keluarga dari kota tetangga akan
datang dengan kapal malam ini. kemungkinan besar, jika tidak ada halangan besok
pagi mereka sudah tiba di rumah. Ada Ramzi, beserta Istri dan anaknya. Ada Reza
yang juga datang bersama istri dan anaknya. Terakhir ada adik bungsunya yang
baru saja tamat kuliah dan sepertinya masih betah sendiri. Setiap kali ditanya
oleh Rina, apalagi keluarga besar, si adik malah senyum-senyum tidak jelas.
Ah, dua tahun yang lalu aku terakhir
menginjakkan kaki ini, tidak banyak yang berubah kecuali anak-anak desa ini
yang semakin modern. Padahal dulu, dulu sekali saat aku masih SD sampai kelas 1
SMA, desa ini selalu ramai dengan anak-anak yang berlari kesana kemari tanpa
gadget ditangan mereka. Kalau malam tiba, listrik padam dan menyala nanti pukul
12.00, jalanan desa ramai dengan petikan gitar anak-anak muda desa ini. Tapi
untuk sekarang? Anak-anak muda itu telah merantau, jauh dari desa ini.
Sekarang, rasanya kota mati cocok disematkan pada desa ini, kecuali malam ini,
malam syukuran.
Tadi pagi, ketika keluarga tiba,
akad nikah langsung dilaksanakan. Tidak ada yang diundang kecuali keluarga
besar. Ada pamannya, tante-tantenya, sepupu-sepupu, keponakan, adik-adik dan
kerabat dekat. Rumah ramai. Dapur juga ikut berseru ramai ketika si Engkoh
dengan gagahnya mengucapkan Qabul.
SAH!!!
Alhamdulillah.
Acara syukuran yang sederhana
dilangsungkan pada malam hari. Ramai meskipun tanpa hiburan sama sekali. Banyak
yang datang memberikan ucapan selamat dan mendoakan agar pernikahan ini berkah.
Termasuk Hasan yang datang tanpa ditemani istrinya.
Sungguh, tiada insan yang lebih
bahagia pada malam ini kecuali Rina.
Semua datang tidak terduga. Lalu
siapakah yang berhak menolak kehadiran jodoh? Atau jangan sebut dulu jodoh.
Siapa yang berhak menolak takdir tuhan? Scenario tuhan? Tidak ada. Kita hanya
manusia. Terima saja takdir untuk kita ini.
Lalu Rina?
Jelas, raut bahagia tampak
diwajahnya. Sepertinya Ia harus siap untuk berpisah dengan adiknya, Lina. Ia
akan dibawa pergi si engkoh ke kecamatan seberang, jaraknya 16 KM dari desa
ini. Si Engkoh harus mengurusi warung makannya di pusat kecamatan. Juga harus
mengurusi kebun cengkeh, perusahaan kayu, dan banyak lagi.
Rina, ah, kau sungguh beruntung. Kau
lepaskan si tukang ojek tak tahu diri itu. Dua tahun dia berusaha tegar untuk
melupakan segala kenangannya bersama mantan suaminya, dan sekarang lihat? Tuhan
sedang menggariskan takdir yang lain untuknya. Terserah akhir dari takdir ini
mau bagaimana lagi, tapi satu yang pasti, ini saatnya Rina untuk menjalani
takdir dengan sebaik-baiknya. Tuhan maha baik. Tuhan maha mendengar. Doa Rina
mulai dikabulkan satu persatu.
Semoga, kelak suatu saat nanti tuhan
juga mau mengabulkan doaku. Doaku tidak muluk-muluk kok. Tuhan tahu, aku sering
menyebut nama perempuan itu dalam doaku. Perempuan kedua yang kusebut selain
Ibuku. Tuhan tahu, aku sudah sering bicara dengannya tentang perasaanku pada
perempuan itu, yang ah, entah mengapa sampai sekarang rasa itu belum juga
sirna. Padahal waktu dan jarak rasanya sudah cukup dijadikan alasan kuat untuk
aku berhenti mengharapkannya.
Atau selama ini, aku yang sama
sekali tidak menarik baginya? Bagi hatinya?
*Cerita ini
terinpirasi dari kisah nyata. Diedit dan dimanipulasi untuk kebutuhan
publikasi.
*Bahwa, tuhan
selalu punya scenario terbaik. Selalu ada makna dibalik gelapnya malam tanpa
bintang.
*Tidak usah
berpikiran macam-macam. Ini hanya karya Fiksi yang terinspirasi dari kisah
Nyata.
Nikmati
saja. Baca saja. tidak usah menduga-duga apalagi yang aneh-aneh.