Minggu, 25 Januari 2015

Hujan malam minggu

“Kapan kawin?”
                Itulah pertanyaan yang akhir-akhir ini selalu menyerangku hampir setiap saat. Biasalah, mereka yang bertanya seperti itu ialah teman-teman yang masih nganggur, tetangga ribet dan keluarga yang tidak tahu diri.
                Memangnya mau kawin sama siapa? Kambing? Kan nggak mungkin? Walaupun kegantengan aku menurun 0,1% setiap hari karena jomblo, bukan berarti aku harus kawin sama kambing kan?
                Tidak ada yang aneh memang dari pertanyaan itu mengingat sampai sekarang, tinggalah aku seorang anak muda (cowok) di kompleks yang tidak pernah terlihat membonceng cewek atau membawa teman perempuan datang ke rumah. Sebenarnya banyak teman-teman perempuanku datang ke rumah, tapi tidak sendirian melainkan bergerombolan dan hasilnya para tetangga ribet mengira dirumahku lagi ada arisan girlband. Nggak banget!
                Bicara soal perempuan, aku punya criteria yang tidak susah buat dijadikan calon istri.
                Minimal dia perempuan, baik hati, sayang, asyik diajak ngobrol (terutama masalah politik, ekonomi, agama, fashion sampai masalah ABG yang kalau selfie bibirnya dilipat-lipat kayak nenek-nenek kena stroke).
                Dan aku tahu siapa perempuan yang memenuhi criteria itu. aku sebut namanya mawar.
                Eh, ganti…ganti… Rasanya mawar kok malah mirip korban kekerasan yang sering muncul di TIVI ya? Aku ganti jadi Tiwi. Hmm… tak apalah.

                Kapan terakhir kalinya aku malam mingguan? Entahlah, aku tidak pernah mengingat hal itu sebab memang belum pernah terjadi sama sekali. Malam mingguan disini yang dimaksud ialah jalan sama pacar di sabtu malam. Kalau malam mingguan biasa sih aku sering banget. Misalnya malam mingguan sama teman, keluarga, tetangga bahkan sama lepy (nama laptop tercintaku).
                Namun satu hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya, meski setiap saat aku mengharapkan hal itu terjadi, aku diajak jalan berdua sama TIWI. Woah, aku loncat kegirangan, sedikit bergoyang caisar, lalu tanpa sengaja jatuh kepeleset. Bunyi gedubrak itu mengundang tanteku sampai di depan pintu kamar.
                “Kamu tidak apa-apa?”
                “Aku baik-baik saja.”jawabku sambil mengurut pelan pantatku.
                Maka dengan sedikit latihan di depan cermin, aku siap untuk jalan berdua dengan seorang perempuan cantik yang tiap malam bikin aku insomnia sampai harus menghabiskan dua bungkus roti besar plus dua gelas susu coklat. (Bengkak deh, bengkak).
                Aku memeriksa lemari, mencari kaos terbaik meski ujung-ujungnya pilihanku jatuh pada jersey timnas favoritku yang baru saja memenangkan pagelaran sepakbola akbar, JERMAN. Dipadu skinny jeans warna hitam aku jadi mirip… Indra bekti. PEMAPAMU, perut maju, pantat mundur. Sorry ya bro Ndra!
                Sabtu malam alias malam minggu kali ini pasti akan menjadi malam minggu terhebat.
                Aku sudah siap di depan cermin tepat pukul tujuh malam. Berdiri sambil senyum-senyum sendiri (Dimohon jangan jijik pada bagian ini), aku berputar sesaat, dan semakin yakin kalau ternyata aku ini lumayan ganteng. Gigi ginsul plus dua gigi kelinci membuat senyumku mirip nabila JKT48, aittakatta.. aittakatta…
                Tapi sepertinya malam itu cuaca tidak seirama dengan suasana hatiku. Sejak sore hujan sudah dengan manjanya mengguyur kota ini. Hanya berhenti beberapa menit, kemudian jatuh lagi dengan sangat deras. Aku melamun diteras rumah sambil menopang dagu ditemani segelas capucino hangat. TIWI juga baru saja SMS, katanya kalau hujan terus mending dibatalin saja. Jelas aku menolak. Aku sudah berdandan rapi terus dibatalin begitu saja? Memangnya aku laki-laki APA???
                “Jangan suka menopang dagu, jodohmu bakalan jauh.”
                Suara tanteku yang tiba-tiba muncul itu mirip sekali dengan nenek gayung yang habis mandi tapi lupa mengembalikan gayungnya ke bak mandi. Benar-benar menghantui perasaanku. Miris sekali nasibku ini, oh hayati…
                Sudah jomblo, hujan, eh malah ditakut-takuti lagi dengan jodoh bakan jauh.
                Coba saja kalau aku lagi ditengah hutan, dalam gubuk kecil, terus hujan deras, petir menggelegar, angin kencang, listrik mati, belum bayar hutang, jomblo pula? Sepertinya aku akan memilih keluar dari gubuk lalu basah-basahan di jalanan. Mirip adegan film india.
                “Kamu nggak jalan ya?...”
                Baru saja berniat menjawab, tiba-tiba kalimatnya meluncur kembali.
                “Oh iya tante lupa. Mau jalan sama siapa ya? Kan jomblo. Kasihan… percuma ya punya otak tapi nggak punya hati.”
                Malam mingguku tambah ngenes. Dasar tante-tante tidak berperikemanusiaan.
                Tiga puluh menit kemudian hujan mulai mereda dengan sedikit doa dari orang yang baru saja dianiaya oleh tantenya sendiri. Aku bergegas menyalakan sepeda motor, memanasi mesinnya, lalu melunjur menembus rintik hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Ah.. ah… ah…
               
                Memang benar ya ternyata pacar orang itu lebih cantik daripada orang yang nggak punya pacar? Whatever. Tapi TIWI malam ini memang kelihatan cantik dan dia memang pacarnya orang. Biarin. Aku kan tidak punya niat buruk buat merusak hubungan mereka. Aku sadar aku lelaki, dan lelaki sejati tidak pernah merebut wanita dari lelaki lain secara paksa. Dan itu eyke bingggo cyin..
                “Kita mau kemana?”
                “Kemana saja. Terserah kamu.”jawaban yang sebenarnya tidak aku butuhkan.
                Terserah? Terserah aku? Laki-laki yang hampir tidak pernah malam mingguan?
                Aku berdecak pelan. Mana aku tahu spot menarik buat dijadiin tempat nongkrong berdua? Kalau nongkrong sendirian di malam minggu sih aku tahu. Toilet.
                “Atau kita makan saja dulu, habis itu baru kita keliling kota. Bagaimana?”
                Ide yang menarik. Aku mengiyakan. Setuju.
                Motor yang kami kendarai melaju tenang dijalanan yang basah. Aku tidak perlu menunjukan skill aku sebagai adik sepupunya valentine rossi untuk meliuk-liuk dijalan berlubang. TIWI berpegang erat di belakang.
                “Pacarmu kemana wi?”
                “Hilang.”
                “oooh. Kok nggak diajak malam mingguan?”
                “ish. Bisa nggak sih kalau lagi jalan nggak usah ngebahas cowok lain?”suaranya barusan terdengar sangat BETE Maksimal. Sepertinya aku salah.
                “iya deh iya, sorri.”
                Kami sepakat singgah disalah satu warung makan ayam lalapan. Tepat ketika kami turun dan masuk ke warung makan itu, hujan kembali jatuh dengan tiba-tiba dan sangat deras. Aku menghela nafas lega, berbalik sesaat, lalu..
                “Weee.. yang penting aku sudah sampai.”Kataku mengejek hujan sambil menjulurkan lidah.
                “Kamu kenapa?”Tanya TIWI dengan ekspresi terkejut, mirip ketika aku melihat anjing kencing dengan satu kakinya melayang diudara.
                “Eh. Nggak apa-apa. Lidahku sariawan.”
                “Sariawan? Nggak bisa makan pedes dong? Kita cari makan di tempat lain saja.”
                “eeh nggak usah,.. di sini saja. Bukannya kalau lagi sariawan malah bagus makan yang pedes?”
                “Okey.”
                Kami memilih meja di dekat wastafel. Dua ayam lalapan sementara dalam proses penggorengan. Suasana seperti ini yang sama sekali aku tidak sukai. Banyak sekali jeda kosong yang diisi dengan kegiatan masing-masing. Dia sibuk BBM-an, aku sibuk main game online.
                Laki-laki yang benar-benar payah. Tapi aku bisa apa coba? Inilah aku apa adanya. Aku selalu kehilangan kata setiap kali berdua dengannya. Rasanya, untaian kalimat puitis nan estetis yang sering jadi cirri khas aku menghilang entah kemana. Ini sama sekali tidak mirip adegan dalam drama korea-korea. Apalagi dalam film Hollywood? Tidak sama sekali. Mungkin jika ini sinetron indosiar, aku pasti sudah bernyanyi dalam hati, berlari keluar, basah-basahan dijalanan lalu ditabrak mas-mas tukang bakso. Beruntung ini kisah nyata.
                “Pinjem hapemu dong.”katanya sambil tersenyum.
                “Nih.”
                Kurang dari satu menit hapeku dikembalikan.
                “Rencanamu kamu mau nikah umur berapa?”
                “Hah? Nikah??”
                Duar…. Di luar petir menggelegar dahsyat, membelah langit.
                “Iya. Memangnya kenapa? Kamu nggak ada niat buat nikah?”
                Sumpah! Kenapa orang-orang suka sekali membahas pernikahan ketika bersamaku? Memangnya mukaku ini sudah tua banget ya? Pernikahan itu bukan sebuah perlombaan, siapa cepat dia yang dapat. Pernikahan itu komitmen. Kalau masih suka keluyuran sama teman-teman, tidak mau diatur sama orangtua apalagi sama pacarnya, mending jangan dulu membahas pernikahan. Apalagi membahasnya sama orang jomblo? Tahu tidak? Itu level aniayanya sudah dua kali lipat.
                “Nikah sama siapa?”
                “Pacarmu. Memangnya kamu belum punya pacar? Kasihan sekali ya?”
                “hehe.”Tawaku sebisa mungkin.
                Sama sekali tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Malam minggu yang indah ternyata hanya ilusi untuk seorang jomblo. Malam minggu tetaplah derita.
                “Aku masih pengen bebas.”Tambahku.
                “Bebas? Kamu yakin?”
                “Iya.”
                Aku percaya om Nietsche, seorang filsuf jerman yang punya kumis keren mirip rambutnya candil, tidak main-main dengan istilah Nihilisme yang dibuatnya. Berkat dorongannya untuk “membebaskan diri” dari segala ikatan nilai bagi setiap manusia itulah yang sekarang membuatku terus merasa nyaman. Katanya ini salah satu jalan untuk menjadi “manusia super”. Bukan superman ya, apalagi om Mario teguh. Bukan…
                Aku merasa terbebas dari dunia yang sama sekali belum pernah aku masuki. Dengan keadaanku sekarang, yang terkadang menjadi bahan candaan dan olok-olokan para tetangga yang sok prihatin, aku selalu bahagia. Aku bebas dari yang namanya wajib lapor 24 jam. Aku bebas dari bangun pagi hanya untuk ngucapin selamat pagi buat kekasih, yang terus tidur lagi. Aku bebas dari ngucapin selamat malam, selamat tidur, padahal mata lagi melek merhatiin layar ponsel yang miring 90 drajat. (Ssst… lagi main game online, jangan mikir macam-macam.)
                Aku bebas dari kemunafikan yang selalu membayang-bayangi. Termasuk pula aku terbebas dari sms menyesatkan seperti :
                Hallo tayank koew. Kamu sudah makan tiank belom?
                Atau bisa saja aku balas :
                Hallo juja tayank. Map ya kalau kompleks rumahmu sebentar mati lampu, soalnya tianknya sudah aku makan. Dibikin saos tiram sama perkedel..
                Habis makan rencananya kita masih mau jalan keliling kota, melihat-lihat pemandangan yang ada tapi tidak pakai becak. Masih pakai motorku yang berlumuran hujan.
                “Aku antar kamu pulang ya?”
                “Huh. Padahal aku lagi kepengen jalan.”
                “Hujan makin deras. Aku takut kamu sakit…”
                DIa mendesis pelan. Pertanda tidak setuju tapi kali ini aku tidak boleh kalah dengan sikapnya yang keras kepala. Dia berbonceng dibelakang, berlindung dibalik tubuhku sambil menyandarkan kepalanya. Aku rasa ia kedinginan.
                “Kamu nggak dingin?”Tanya tiwi ketika motor memasuki kompleks perumahannya dia.
                “Nggak.”
                “pakai jaketku saja. Kecil sih..”
                “Udah nggak usah. Kamu pakai saja.”
               
                Hujan malam minggu? Oh sungguh tidak sesuai rencana. Aku tahu ditiap tetes hujan pasti ada doa yang sedang tersembunyi. Apalagi doa dari kaum jomblo sepertiku. Aku juga baru ingat, hujan deras malam ini adalah hasil dari doaku sendiri jumat kemarin. Aku pasrah. Tuhan memang selalu mengabulkan doa orang-orang teraniaya, termasuk ketika orang teraniaya itu dalam keadaan hampir totally happy.

Selasa, 20 Januari 2015

Hati yang terlalu penuh



Kau bukan lelaki!
Kau rapuh tak berdaya.
Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa melihatmu tersenyum kembali?
()()*()()
            Kau bukan lelaki.
            Lihat dirimu sekarang. Sama sekali tak terurus.
            Berapa hari sudah kau seperti ini? oh iya aku ingat. Kata adikmu tadi, dua minggu sudah kau tampak seperti ini. Wajah kusam tak terawat. Sorot matamu kosong tanpa makna sama sekali. Mana senyum ceria yang selalu kau tunjukan padaku via skype itu? mana suara merdumu yang suka menyapaku sebelum tidur?
            “Fandi.”Aku melangkah mendekatimu.
            Tempat ini terlalu ramai untuk kita bicara berdua. Bahkan dentang musik dan alunan bass dalam gedung ini cukup membuat jantungku hampir copot.
            Kamu diam tak menjawab. Bukan hanya tidak menjawab bahkan kamu tidak menunjukan respon apapun. Tidak biasanya. Lalu dimana pelukan hangat yang selalu kau berikan padaku ketika kita berjumpa?
            Apa karena perempuan itu?
            Aku memutuskan untuk menyeretmu secara terpaksa, mencari sudut yang lebih sepi dan lumayan nyaman untuk kita bisa bicara berdua. Aku kenal siapa kau sebenarnya. Kita sudah terlalu lama berteman. Kita sudah lebih dari sahabat, lebih dari sekedar saudara, aku merasakan itu. Aku menginginkannya.
            Kau berjalan terpaksa dengan gelas dan botol bir kokoh ditanganmu. Kau menjatuhkan tubuhmu begitu saja. Sementara aku? Aku tak bisa berbuat apa selain meneteskan air mataku. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarku. Lebih-lebih aku datang dengan sebuah koper kecil.
            “Aku baru tiba dari Brisbane.”ucapku pelan. Suaraku terdengar jelas olehmu, aku yakin. Tempat ini cukup nyaman untuk kita berdua. Gema musik tidak terlalu terdengar disini, setidaknya suaranya lebih kecil dari tempat dimana aku melihatmu terduduk lesu. Tak berdaya.
            “Fandi?”
            “Fandi dengarkan aku. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padamu, aku tidak akan peduli dengan masalahmu. Aku datang ke sini atas permintaan adikmu, dia tidak sanggup mengadapimu akhir-akhir ini.”
            “Adikku tidak ada disini. Dia dirumah, lebih baik kau ke rumah saja.”
            “Aku pulang untuk bertemu denganmu, bukan adikmu.”suaraku lantang bergetar.
            “Oh.”
            “Apa kabarmu?”
            Aku rasa kamu mulai menyadari kehadiranku. Posisi dudukmu jauh lebih baik meski gelas berisi bir itu tidak kunjung kau lepaskan. Oh tunggu dulu, aku  bahkan tidak tahu sejak kapan kau suka ke tempat ini, kau berubah.
            “Apa yang terjadi denganmu?”Suaraku melemah.
            Jujur aku tidak sanggup melihat lelaki yang sangat aku banggakan, yang selalu aku kagumi sejak dulu, sekarang duduk tak berdaya dihadapanku. Aku kembali menangis. Pelan.
            “Semuanya telah selesai.”Jawabmu sekenanya sambil berusaha tersenyum.
            Aku menghela nafas panjang.
            Aku sudah tahu semuanya. Perempuan itu yang membuatmu seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana bisa kisahmu dengannya berakhir tiba-tiba, yang aku tahu aku mendapatkan undangan pernikahannya dua minggu yang lalu, dan aku tidak berpikir kau akan serapuh ini.
            Dia…
            Perempuan yang membuat tergila-gila sejak SMU. Membuatmu rela bolos sehari hanya untuk menemani perempuan itu dirumah sakit. Membuatku terpaksa berbohong kepada wali kelas kalau kamu sedang ada urusan keluarga. Penting.
            Usahamu untuk mendekatinya memang tidak mudah. Kamu bahkan hampir tidak naik kelas, karena terlalu jatuh cinta, terlalu sibuk mengurusi perasaanmu sampai lupa bahwa kamu itu siswa berprestasi.
            Semua masih terekam erat di memori kepalaku. Saat itu dimana kamu menjemputku malam-malam, mengajakku ke sebuah toko souvenir untuk mencari kado terbaik. Kado untuk seorang perempuan. Yah meski saat itu aku merasa bahwa kado itu untuk aku, namun nyatanya bukan. Kado itu untuk perempuan lain.
            “Apa salahku sampai dia berbuat tega seperti itu?”
            “…”
            Kamu terlalu mencintainya. Mungkin itu salahmu. Jika kamu tidak terlalu mencintainya, kamu akan tetap kokoh, tidak lemah seperti ini. Kamu harus sadar, cinta itu menguatkan bukan melemahkanmu.
            Terdengar pelan suaramu yang mulai sesenggukan.
            “Bodoh. Tolol. Kenapa aku jadi seperti ini?”
            Aku bangkit lalu duduk di dekatmu. Ku tatap wajahmu erat-erat, kau masih menunduk.
            “Berhenti Fandi.”Aku menahan tanganmu. Gelas berisi bir itu akan kembali mendarat di bibirmu, itu sudah kelewatan.
            “Aku sangat mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa dia membuatku seperti ini?”
            “Mungkin dia tidak mencintaimu lagi.”
            “Mustahil.”
            “Di dunia ini tidak ada yang mustahil Fandi. Perasaan itu sangat tidak konsisten. Kamu tahu, rasa suka yang menggebu-gebu hari ini, bisa jadi tidak terasa sama sekali esoknya.”
            “Aku dan dia tidak hanya saling menyukai, kami saling mencintai. Kamu tahu itu kan?”
            “Aku tahu kamu mencintainya, tapi aku tidak yakin dia mencintaimu.”ucapku hati-hati. Aku takut menyinggung perasaanmu.
            Kamu diam.
            Aku ikut diam.
            Aku mendekap erat jemarimu yang tampak lesu. Aku ingat, ingat betul kapan kita terakhir kali sedekat ini. Saat dimana perempuan itu tidak ada dalam hari-harimu. Itu terlalu lama. Tiga tahun yang lalu kita duduk sedekat ini tapi bukan di tempat ini. Namun setelah itu, tidak ada lagi waktu untuk kita berdua walau hanya sekedar nongkrong, membicarakan banyak hal, termasuk masa kecil kita. Berdua.
            Seiring waktu..
            Aku terus berusaha membunuh sendiri perasaanku. Meskipun berat dan sulit, aku tetap akan mencobanya. Kau tahu kenapa aku selalu menghindar ketika kau mengajakku jalan, nonton, atau makan ketika kau sedang bersamanya? Itu karena aku tidak sanggup menahan gejolak cemburu yang bergemuruh di dada. Kau tahu kenapa sampai sekarang belum ada satupun lelaki yang benar-benar menghuni relungku selain dirimu, itu karena kamu masih ada disana.
            Aku selalu percaya bahwa waktu dapat merubah segala rasa, meskipun sampai detik ini rasaku padamu masih kokoh tak terkikis oleh waktu dan jarak.
            “Apakah semua perempuan seperti itu?”Kamu menatapku. Sorot matamu sontak membuatku terdiam.
            “Kenapa kamu diam?”
            “Perempuan tidak seperti itu.”
            “Tapi sekarang apa yang terjadi? Aku begini karena perempuan itu.”
            “Tapi bukan berarti semua perempuan sama.”
            “Kamu? Apakah kamu akan melakukan hal itu kepada laki-laki yang tulus mencintaimu?”
            “Aku tidak setega itu.”
            Apalagi jika laki-laki itu adalah dirimu. Mustahil bagiku membuat kau tersakiti. Karena menyakitimu, membuat kau rapuh seperti ini, sama saja dengan membunuhku secara perlahan. Menjatuhkan meski satu tetes air matamu ialah cara tercepat untuk membuatku remuk.
            “Aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa melupakannya.”
            Aku diam.
            Mungkin dengan diamku ini kau akan mengerti bahwa ada hati yang terbuka, menanti untuk kau masuki, berharap kau sentuh dengan kehangatan. Kau terlalu sibuk pada seseorang yang kau sayangi sehingga kau tidak menyadari ada hati yang tulus menyayangimu, menanti untuk kau sayangi, sekian tahun menunggu.
            Suasana hening.
            Gelasmu masih terisi penuh. Bir dalam gelas itu masih utuh tak tersentuh. Seperti itulah perasaanmu pada perempuan itu, juga perasaanku padamu.