Jumat, 24 Januari 2014

Spring, I’m Falling In Love

Lanjutan kisah : Love on the end of winter


         Kejadian beberapa waktu lalu di apartemen membekukan hubungan diantara mereka. Tak ada saling sapa untuk waktu yang lumayan lama. Bahkan untuk saling pandang saja mereka bahkan tidak mau. Entah siapa yang tidak mau, atau siapa yang malu melakukannya, yang pasti mereka terlihat seperti orang yang tidak saling kenal.
            Ini jelas menghebohkan seisi apartemen terutama di lantai tiga gedung apartemen. Semua bertanya-tanya. Sejak awal, mereka tak pernah terlihat seperti itu. Tidak pernah sekalipun.
            Saling benci? Tidak. Mereka tidak saling benci. Tak pernah terbersit dalam diri Melza untuk membenci sahabatnya itu. Pun dengan Aland, membenci Melza sama halnya dengan membunuh separuh hatinya.
            Namun suatu malam diakhir musim dingin, mereka menyadari satu hal. Bahwa mereka saling merindukan. Tak bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Maka ketika malam berganti pagi, dengan tanpa diperintah oleh siapapun, keduanya dengan dandanan rapi sudah berdiri dibalik pintu apartemen masing-masing. Berjaga-jaga ketika pintu apartemen didepannya terbuka lalu ikut membuka pintu.
Wellcome Spring!!!
“Aku minta maaf. Aku memang egois. Bersikap dingin hanya karena persoalan seperti ini. Sorry…”Ujar Melza Pelan dengan wajah tertunduk.
“Tidak. Kamu tidak salah. Aku yang salah dan seharusnya aku yang minta maaf”
Dan…
Musim dingin pun usai. Salju-salju mencair bersama sikap dingin diantara Melza dan Aland. Berganti indahnya musim semi. Persahabatan yang kembali mekar. Indah.
Rasa dingin yang cukup lama menyelimuti mereka akhirnya pasrah pada kehangatan musim semi. Diluar, gundukan salju telah mencair. Hilang. Berganti dengan bunga-bunga yang bermekaran indah. Kota Manchester melepas jubah putihnya.
Matahari dengan lembutnya kembali menyapa penduduk kota manchester. Dengan sinarnya yang hangat, melepas rasa rindu yang tersimpan cukup lama. Menyapa dedaunan dan rerumputan hijau. Segar.
Dan hari ini seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka, Melza dan Aland memutuskan untuk menikmati awal musim semi dengan berjalan-jalan di sekitaran Piccadilly Gardens.
Aland menoleh sejenak, mengamati wajah Melza yang berseri-seri. Tersenyum.
“Sepertinya kamu senang sekali, Za. Ada apa?”
“Senang bisa berteman lagi denganmu”Jawab Melza sambil tersenyum lebar.
“Oh ya?”
“Yah. Aku pikir aku akan kehilanganmu”Ucap Melza pelan kemudian menggandeng tangan Aland.
Melza menghembuskan nafas pelan lalu berjalan disamping Aland. Ia menyandarkan kepalanya dibahu Aland. Baginya, ini adalah cara terbaik untuk mengakrabkan kembali dirinya dengan laki-laki itu. Sebagai teman.  Hanya sebagai seorang teman.
Hatinya berdesir halus.
Lembut, meski ia sendiri tak mengerti dengan desiran itu...
“Demelza!”Seseorang berteriak memanggil namanya.
Sontak mereka berhenti lalu kompak memutar tubuh 180 drajat. Seorang laki-laki dengan kaos putih dan jeans hitam selutut berlari kearah mereka. Melza kenal siapa laki-laki itu. Tapi tidak dengan Aland. Dahinya berkerut sambil berusaha menerka siapa laki-laki pemilik wajah yang tidak asing itu.
“Franklin? Apakah ini kebetulan atau…?”
“Tidak ada yang kebetulan”
“Oh ya? Sedang apa kamu disini? dengan siapa?”
“Menikmati awal musim semi. Aku harus menjadi saksi mekarnya bunga-bunga indah di kota Manchester. Kalau kamu?”Franklin balas bertanya.
Mereka – Melza dan Franklin – berbincang akrab seakan lupa pada sosok lain diantara mereka yang hanya ikut menganggukan kepala ketika Melza mengangguk.
“Astagah! Aku hampir lupa, kenalkan ini Aland. Dan Aland, kenalkan ini Franklin”
Dua laki-laki itu saling berjabat tangan.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”Tanya Aland.
“Sepertinya begitu. Aku pernah datang ke apartemen milik kalian”
Aland bergumam pelan. Tidak jelas. Sejenak ia berpikir lalu mengangguk cepat. Ia teringat pada laki-laki berkacamata yang datang mencari Demelza beberapa waktu yang lalu. Laki-laki yang menjadi…Stop! Aland menggeleng cepat. Tidak ingin mengingat lagi kejadian itu.
“Boleh aku gabung dengan kalian? Bosan juga ternyata kalau jalan sendirian saja”
“Boleh. Boleh kan Aland?”Melza memutar kepalanya. Meminta persetujuan Aland.
“Oh tentu saja, boleh”Sahut Aland. Terpaksa mengiyakan.
***_***
            “Terima kasih karena kamu sudah menemaniku seharian ini”Ujar Melza ketika mereka tiba di apartemen.
            “Sama-sama”
            “Hari yang menyenangkan. Sampai ketemu besok pagi Aland. Selamat tidur, mimpi indah ya”Melza mengintip sesaat dari balik pintu lalu menghilang.
            “Senang bisa dekat denganmu lagi, Melza”Ucap Alan. Pelan.
            Benar-benar hari yang melelahkan. Mengelilingi kota bersama dua teman yang suka sekali berdebat. Terutama tentang sepakbola. Franklin sangat mengidolakan Manchester United sementara Aland sangat anti pada sepak bola inggris. Ia selalu saja memuji penampilan sepakbola spanyol.
            “Manchester United tetap lebih baik”
            “Kamu bercanda Franklin. Real Madrid jelas lebih hebat. Buktinya mereka bisa mengambil Christiano Ronaldo”
            “Hehehe. Tapi sebelum pindah ke Real, Christiano itu anak kesayangan Red Devils”
            Dan Melza hanya bisa diam menikmati ocehan-ocehan mereka. Diam dan menikmati. Dan… merindukannya?
Entah apa yang terjadi, dua jam berlalu sejak Ia berbaring ditempat tidur, matanya sama sekali belum terpejam. Bayangan Franklin masih berkelana. Kesana kemari dipelupuk matanya. Selain sama-sama menjagokan sepakbola inggris, keduanya juga menjagokan tim rad devils.
            Melza mengerutkan dahinya saat ponselnya berdering pelan. Siapa yang menelepon semalam ini? Dengan terpaksa Ia bangkit lalu mengambil ponsel dari dalam laci.
            MR. COLE???
            Rasa bahagia yang bersemi dihatinya berubah. Gelap. Ia menanti panggilan itu berakhir lalu menonaktifkan ponselnya. Aman. Setidaknya untuk malam yang tersisa ini Ia tidak akan diganggu laki-laki itu.
***_***
            Melza melangkah cepat melewati koridor kampus. Ia mengambil jalan memutar menuju kelasnya. Sengaja untuk menghindari Mr. Cole. Tadi ia sempat melihat Mr. Cole masuk ke jalur kiri gedung kampus.
            Melza mempercepat langkahnya ketika telinganya mendapati sayup-sayup suara Mr. Cole. Ia bukan menghindari Mr. Cole karena pekerjaan itu. Bukan. Ia masih sering menemani banyak laki-laki lainnya yang lebih kaya dan lebih keren dari pria tua itu. Ia menghindar karena tidak suka dengan sikap dosennya itu yang suka mengancamnya. Mengancam untuk membongkar rahasianya.
            Derap langkah semakin cepat terdengar. Melza enggan berbalik badan. Namun satu yang ia tahu, seseorang sedang berjalan dibelakangnya. Langkah mereka saling bersahutan. Tidak ada siapa-siapa dikoridor sehingga Melza yakin seseorang sedang membuntutinya.
            “Demelza!”
            Melza tersentak kaget. Tangan orang itu sudah berada tepat dibahunya. Terpaksa Ia harus mengalah. Menyerahkan diri pada keadaan. Tak ada gunanya melawan. Ia sudah tertangkap.
            “Iya ada apa Mr…. Franklin?”Nada suaranya berubah. Lega.
            Ia menghembuskan nafas lega. Orang itu ternyata Franklin bukan Mr. Cole. Rasanya jantungnya seakan ingin copot.
            “Kamu…? kamu kenapa? Kamu sakit?”
            Raut pucat Melza mengundang pertanyaan dari Franklin. Laki-laki itu meraba pelan dahi Demelza lalu mundur.
            Demelza menggeleng. Ia masih mengendalikan dirinya. Debar jantungnya masih saling berkejaran.
            “Kamu seperti dikejar-kejar hantu”Kata Franklin lalu diikuti tawa kecil.
            “Tidak lucu. Ayo ke kelas”Melza bergegas menarik tangan Franklin.
            “Sebentar…”Franklin berusaha mengatur langkahnya.”…Tadi aku bertemu Mr. Cole. Ia mencarimu.”
            “Apa??”
            “Iya. Sepertinya urusan penting”Kata Franklin.
            “ooh”Ujar Melza sekenanya.
            Benar dugaannya semalam. Mr. Cole pasti akan mencarinya pagi ini dan sudah terbukti benar. Ia harus mencari cara agar tidak bertemu pria itu. Setidaknya untuk hari ini sampai Ia siap memberikan alasan tepat pada Mr. Cole.
***_***
            “Aku punya tiket nonton teater, kamu tertarik? Aku ingin mengajakmu nonton”Franklin mengeluarkan dua lembar tiket.
            “Mengajakku? Maksud kamu? semacam kencan?”Melza mengangkat sebelah alisnya.
            “Hmmm…. Kalau menurutmu nonton teater berdua itu kencan, tidak masalah. Bagaimana? Kamu tertarik?”
            Melza menarik ujung bibirnya. Tersenyum. Hatinya sekejap berbunga-bunga. Ia belum pernah kencan dengan laki-laki manapun. Oups, mungkin pernah. Beberapa kali dengan laki-laki yang berbeda-beda. Tapi itu bukan kencan. Sekali lagi itu bukan kencan tapi bagian dari pekerjaan.
            “Baiklah kalau kamu memaksa”
            Mendengar jawaban Demelza, Franklin menyunggingkan senyumnya. Akhirnya rencananya berjalan mulus. Sejak awal Ia memang sudah berniat untuk mendekati Melza.
            Sementara Melza sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan kencan berdua bersama Franklin. Ini jelas akan berbeda dengan kencan-kencan sebelumnya. Tak ada nafsu sama sekali. Hanya perasaan menggebu-gebu yang tidak jelas. Yang masih sulit untuk dijelaskan…apakah ini cinta? Entahlah. Yang pasti cinta selalu datang tiba-tiba. Bahkan tak butuh penjelasan apa-apa.
***_***
            Sesuai janji di kafe tadi Franklin akan menjemputnya jam tujuh malam. Melza sibuk berdandan. Mencari gaun terbaik. Meski hanya menonton teater tapi moment malam ini harus menjadi sejarah. Oh indahnya ketika hati seorang perempuan sedang memasuki musim semi. Semuanya terasa indah. Menawan dan penuh pesona.
            Seperti Demelza. Ia cantik sekali dengan balutan blazer biru muda dengan dalaman kaus putih. Ia juga mengenakan jeans putih gading. Sempurna. Tak perlu gaun apa-apa. Semua gaun sudah pernah dipakainya saat kencan. Yah, kencan dengan para pelanggannya.
            Demelza melangkah pelan keluar dari kamar. Ia menuju ruang tamu untuk menemui seseorang.
            “Bagaimana penampilanku? Cantik kan?”
            Orang itu – Aland – hanya ternganga tanpa sepatah katapun. Lidahnya kelu. Otaknya membeku. Matanya tak bisa dikedipkan. Tunggu dulu… Aland meraba dadanya. Tidak berhenti tapi berdebar sangat kencang.
            “So beatifull!!!”Seru Aland seketika lalu melanjutkannya, “Kamu mau kemana? Kerja?”
            “tidak. aku akan pergi ke Opera House. Ada pertunjukan teater”
            “Teater? Sejak kapan kamu suka menonton teater?”
            “Sejak tadi siang. Oh ya sudah, aku harus ke bawah. Sepertinya Frank sudah menunggu cukup lama. Sampai jumpa Aland.”Demelza melambaikan tangan. Meninggalkan Aland mematung di ruang tengah.
            Seperti biasanya, Ia sengaja menitipkan apartemennya pada Aland. Ia selalu punya kunci cadangan jika Ia terpaksa pulang larut malam atau bahkan pulang pagi.
            “Doakan kencanku berhasil. Okey?”
            WHAT A???
            Aland tak sempat bertanya apa-apa. Demelza telah menghilang. Pergi dan hanya menyisakan aroma parfum yang begitu wangi. Aroma mawar. Aland terduduk lesu. Bertanya dalam hati, sampai kapan Ia mampu bertahan. Memendam rasa pada sahabat sendiri.
***_***
            “Pertunjukannya bagus sekali. Aku suka”Kata Demelza ketika mereka keluar dari gedung Manchester Opera House.
            “Aku senang kalau kamu suka. Setidaknya aku tidak sia-sia mengajakmu ke tempat ini”
            “Selanjutnya kita akan kema…?”
            Kata-kata Demelza terpotong. Ia merasakan tubuhnya diputar oleh seseorang. Cukup keras. Karena takut terjadi apa-apa Ia bahkan memejamkan matanya. Dalam keadaan seperti itu Demelza memberanikan membuka matanya.
            Deg…
            Dadanya berdebar tiga kali lebih cepat dari yang biasanya. Ia dan Frank saling berpandangan. Ia baru sadar kalau saat ini Ia sedang berada dalam pelukan Frank. Begitu hangat dan meneduhkan. Tatapan Frank menyetrum sel-sel dalam hatinya. Bergetar dan menyala-nyala.
            “Kamu tidak apa-apa?”
            Demelza buru-buru melepaskan pelukan Frank. Merapikan pakaiannya lalu menggeleng kepala. Tadi, Ia hampir saja tertabrak motor yang ugal-ugalan. Karena tidak fokus Ia sampai tidak sadar kalau Ia sudah berjalan disebelah trotoar. Tepat di jalan raya.
            Diam.
            Angin musim semi bertiup pelan. Lembut. Menyusup diantara langkah dua anak manusia itu. namun tiba-tiba konsentrasi mereka terganggu oleh bunyi ponsel Melza. Ada satu pesan singkat masuk dari Aland.
            Kamu dimana? Tadi ada seorang perempuan datang mencarimu. Katanya dia disuruh oleh dosenmu. Kalau kamu sudah selesai, segera menghubungi dosenmu itu, kata perempuan tadi.
            Mr. Cole. Pria itu yang langsung terbersit dalam kepalanya. Memang sejak masih di apartemen tadi Mr. Cole selalu menghubunginya tapi Ia sengaja tidak menjawab. Berulang kali ditelepon dan berulang kali pula ia tak acuh pada telepon itu. tidak penting. Mengganggu malam terindahnya.
***_***
            “Terima kasih telah mengantarku sampai sini”
            Mereka sudah tiba didepan apartemen Melza. Frank tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu dalam satu gerakan cepat mendekatkan tubuhnya ke tubuh Demelza. Demelza terhenyak. Matanya sontak terpejam. Namun Ia salah menduga. Nothing French Kiss.
            Frank hanya mencoba menyeka sisa ice cream coklat yang menempel dibibir Demelza.
            “Sampai bertemu besok pagi. Bye…”Frank pamit pulang.
            “Bye”Jawab Melza sambil melambaikan tangan.
            Malam yang sangat indah. Tak pernah Ia melewati malam yang sangat indah bersama seorang laki-laki. Ia selalu sadar, Frank bukanlah laki-laki pertama yang jalan berdua dengannya. Tapi dengan Frank, Ia merasa normal. Ia merasa tak ada beban sama sekali. Semua mengalir.
            “Hallo Mr. Cole?”
            Setiba di apartemen Demelza langsung menghubungi dosennya. Ia tidak ingin terjadi apa-apa padanya hanya karena ia sengaja menjauh dari Mr. Cole seharian ini.
            “Kamu darimana saja? kenapa teleponku tidak diangkat?”suara itu terdengar agak-agak fales diseberang sana. Satu yang bisa ditebak : Mr. Cole sedang mabuk.
            “Maaf, aku tadi sibuk sekali. ponselku bahkan tertinggal di apartemen”
            “Oh ya? Sekarang kamu dimana? Temani aku. Aku rindu padamu sayang”
            “Kamu rindu padaku? Kamu bercanda Mr. Cole”
            “Aku serius. Ayo datang kesini, ke tempat biasa. Aku akan menunggumu”
            “Aduh maaf sekali, hari ini aku sangat lelah. Nanti saja”
            “Kamu mau semua orang dikampus tahu masalah ini?”
            “Oh tentu tidak sayang. Ayolah, kita bisa bertemu lagi besok. Aku janji, aku yang akan langsung mendatangimu. Jangan marah ya sayang…”
            “Baiklah, kali ini saja kau percaya padamu. Bye sayang”
            Demelza langsung melempar ponsel itu keatas tempat tidur. Ia tidak boleh lagi menundanya. Ia jelas tidak menginginkan rahasianya selama ini terbongkar. Maka besok malam sesuai janjinya Ia yang akan mendatangi Mr. Cole sebelum pria itu benar-benar marah dan benar-benar membongkar rahasiannya.
            Dan bukan hanya itu. Ia kenal siapa Mr. Cole. Ia lebih bengis dari sekedar membongkar rahasianya. Mr. Cole punya banyak bodyguard dengan badan-badan yang berotot. Kekar. Mengerikan rasanya jika sampai bodyguardnya ikut turut campur dalam masalah ini. Demelza tentu tak ingin berurusan dengan mereka. Ia bisa dibunuh.
***_***
            Berulang kali Demelza menguap. Rasa kantuk sudah tak bisa ditahan lagi. Tiga hari ini Ia sibuk bekerja lembur sampai larut malam. Bahkan kemarin Ia harus pulang pagi lagi.
            “Dari tadi kamu menguap terus Demelza. Kamu mengantuk?”
            Tanya Frank yang saat itu duduk disampingnya. Saat itu mereka sedang ada di kantin kampus. Kuliah pagi itu bersama Mr. Cole dibatalkan. Mr. Cole mendadak ada urusan penting. Bukan kabar buruk sebenarnya bagi Demelza. Ini bahkan kabar baik Ia tidak perlu bertemu lagi dengan Mr. Cole.
            “Apakah pertanyaanmu itu membutuhkan jawaban?”Demelza balik bertanya.
            “…”
            “Atau… ikut aku. Ayo!”Seru Frank seketika dan langsung menarik tangan Demelza.
            Demelza menurut saja seperti sedang dihipnotis. Ia baru tersadar ketika membaca sebuah tulisan didepan ruangan. LIBRARY. Matanya membelalak. Kaget dan langsung menoleh kearah Franklin.
            “Kamu mengantuk bukan? Kalau begitu temani aku disini”
            “Oh No! Kamu hanya membuatku tambah mengantuk Frank”
            “Kenapa bisa begitu?”
            “aku bukan kutu buku sepertimu. Mana mungkin berada disekeliling rak buku aku tidak mengantuk? Ini jelas menambah rasa kantukku”
            Franklin sudah berada didalam perpustakaan. Sementara Demelza berniat untuk balik belakang lalu pulang saja. Tapi… matanya menangkap sesuatu. Tulisan didalam perpustakaan : Please silent.
            Hmmm…
            Demelza membatalkan niatnya untuk pulang. Segera saja ia menyusul Frank yang sudah duduk disalah satu meja yang menggunakan sekat pembatas. Frank sedang memegang buku sejarah. Dasar kutu buku!
            Dari awal niat Demelza untuk masuk ke perpustakaan tidak lain adalah untuk TIDUR. Ia menemukan tempat yang aman dan nyaman. Langsung saja Ia mengambil posisi untuk tidur.
            Baru beberapa menit memejamkan mata atau bisa dikatakan ia belum sepenuhnya tertidur. Ibarat pesawat baru saja lepas landas, belum mengudara. Tiba-tiba Ia merasakan sesuatu dipipinya. Seperti rabaan tangan yang halus. Pipinya dielus-elus.
            Demelza membuka sedikit matanya dan menangkap sesuatu. Itu tangan Franklin tapi Franklin masih sibuk membaca buku disebelahnya. Seketika, Dadanya berdebar-debar. Ia bahkan lupa cara untuk bernafas. Ia membiarkan tangan laki-laki itu terus mengelus pipinya lalu berganti membelai rambutnya yang berwarna coklat kekuningan.
            Ia menikmatinya. Seperti Ia menikmati sebuah ledakan dahsyat didalam hati. Ia belum yakin ini cinta, tapi satu yang Ia yakini : Ia merasa nyaman. Tak seperti saat ia bersama laki-laki diluar sana yang hanya ingin menikmati tiap inci dalam tubuhnya.
            Demelza, dengan gerakan lambat Ia meraih tangan Frank lalu meletakannya dibawah pipinya. Halus. Frank tampaknya tidak merespon apa-apa. Terkesan membiarkan saja. Namun satu  yang dirasakan Demelza, Frank menggenggam tangannya lebih erat. Sangat erat…
            Demelza tersenyum singkat. Indahnya hidup ini jika memang dijalani dengan cinta. Bukan hanya nafsu belaka.

Kamis, 16 Januari 2014

#24 Hours


            “Kamu kenapa? Sepertinya kamu sedih”
            “Aku takut”
            “Takut kenapa?”
            “Aku takut tak bisa lagi bertemu denganmu”
 (*)(*)(*)
            Ia melangkah cepat dan tergesa-gesa menuju hotel tempatnya menginap. Udara yang cukup panas siang itu membuatnya harus memicingkan mata berkali-kali. Alexandria sedang membara. Bukan hanya keadaan alamnya. Suasana dikota mediterania itupun terkesan mencekam. Banyak polisi yang berjaga ditiap sudut kota.
            Ia baru bisa bernafas lega ketika kakinya tepat menginjak lobi hotel. Ia melongos sejenak kemudian menuju Lift. Ia berhenti didepan lift, menanti pintu lift terbuka kemudian masuk. Faiz sadar, saat ia masuk seseorang telah lebih dulu berada didalam lift. Namun karena sibuk dengan mengobrak-abrik isi tas ranselnya, Ia tidak terlalu memperhatikan gadis disampingnya.
            Saat pintu lift terbuka, sontak Faiz dan gadis disampingnya melangkah keluar dari Lift. Saat itulah, heels yang dikenakan gadis itu patah – entah karena apa – membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir saja jatuh. Beruntunglah Faiz dengan gesit langsung menarik lengan gadis itu.
            Sekejap mereka terdiam. Saling pandang satu sama lain. Mereka tidak sadar saat itu mereka menjadi bahan tontonan pengunjung hotel yang saat itu sedang berada disekitar mereka. Bukan karena heels gadis itu yang patah tapi karena posisi mereka berdua. Faiz dengan sedikit membungkuk memeluk gadis didepannya.
            “Astaga. Maaf”Kata Faiz lalu membantu gadis itu berdiri.
            Gadis itu membungkukan badannya sambil meminta maaf pula. Ia salah tingkah ketika tahu banyak orang yang memperhatikan mereka.
            Tak mau disergap rasa malu, Faiz langsung bergegas meninggalkan tempat itu dan menuju kamarnya. Rasa kantuk harus sesegera mungkin Ia hilangkan. Mungkin dengan berbaring beberapa menit, staminanya bisa kembali fit. Lagipula, sore nanti Ia harus mengirimkan data dan artikel pada teman-temannya di Indonesia. Besok malam ia akan meninggalkan mesir menuju suriah. Sasarannya adalah konflik timur tengah. Sebagai seorang wartawan internasional, sudah selayaknya Ia berkelana ditimur tengah.
            Belum nyenyak tidurnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Berteriak nyaring dari dalam ransel yang sengaja Ia letakan disampingnya.
            “Hallo?”
            “Faiz? Kamu ada dimana? Cepat ke pusat kota. Disana sedang ada demonstrasi, liput segera. Ini berita penting. jangan sampai kau melewatkannya”
            “Oh tidak. Aku belum istirahat, please. Beri aku waktu”Ujar Faiz setengah sadar.
            “Ayolah. Hari ini terakhir kamu bertugas di mesir. Besok kamu akan ke suriah, jika kamu melewatkan demonstrasi itu, berarti kamu telah melewati headline news penting untuk perusahaan kita. Come on, mana profesionalitas yang sering kamu teriakkan disini?”Orang diseberang telpon terus saja memaksanya.
            “Baiklah”Usai mematikan telepon Faiz langsung bangun.
            Ia melihat sekilas jam beker dimeja kecil disamping tempat tidur. Jam dua siang. Itu berarti ia baru saja tertidur kurang lebih setengah jam. Itu sangat tidak cukup mengingat sejak tadi pagi ia sudah bertugas dijalan.
            Ia menghembuskan nafas panjang. Petualangannya di timur tengah akan segera berakhir. Tiga hari di suriah setelah itu Ia akan pergi berlibur. Ia sudah tidak sabar menanti waktu liburan itu.
(*)(*)(*)
            Usai memastikan dirinya sudah sadar penuh barulah Ia keluar dari kamar. Tas ransel, kamera dan peralatan wartawan semua sudah lengkap. Sebenarnya Ia tidak suka bertugas sendirian. Namun karena rekan kerjanya yang bertugas bersama di mesir masih berada di Kairo Ia terpaksa harus bertugas sendirian. Mereka memutuskan berbagi tugas, rekannya di Kairo sementara ia di Alexandria.
            Saat berada di Lift Ia kembali bertemu dengan gadis tadi siang. Ia baru sadar ternyata gadis itu bukan gadis timur tengah. Lekuk wajahnya menggambarkan jelas kalau gadis itu berasal dari Asia. Mata sipit dengan kulit wajah yang putih bersinar. Faiz yakin gadis disampingnya itu berasal dari Asia. Jepang, Cina atau korea. Entahlah…
            “Hai”Kata Faiz menyapa.
            Gadis itu menoleh lalu tersenyum,
            “Kau? Terima kasih atas bantuannya tadi”
            “Sama-sama. Aku minta maaf soal yang tadi, aku tak berniat untuk…”
            “Tidak masalah.”
            “Oh iya, kenalkan namaku Faiz from Indonesian”
            “Aku Fiyumi takazawa, from Japan”
            Mereka melangkah bersama keluar dari Lift. Tiba-tiba langkah Fiyumi terhenti ketika melewati kafetaria didekat lobi. Ia berdiri sejenak lalu mengusap perutnya.
            “Kau lapar?”
            “Iya. Dari tadi pagi aku belum makan. Kau mau ikut?”
            “Boleh juga”Faiz mengiyakan tawaran Fiyumi. Tidak ada salahnya mengisi perut sebelum bertugas kembali. Lagipula demonstrasi itu pasti akan berlangsung lama.
            Mereka masuk lalu duduk disalah satu meja dekat jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan. Fiyumi memesan Tha’miyah bil baidh[1]. Faiz ikut memesan yang sama dengan Fiyumi. Sembari menunggu pesanan, mereka berbincang-bincang. Fiyumi bercerita lebih dulu. Tentang siapa dia dan apa keperluannya datang ke Mesir.
            Dari ceritanya, Fiyumi ternyata seorang wartawan salah satu surat kabar terbesar dinegeri matahari terbit. Ia bertugas di Mesir bersama empat orang temannya. Dua laki-laki dan dua perempuan. Namun sejak tadi pagi, Ia tidak melihat keempat temannya itu.
            “Kamu tidak takut bertugas sendirian? Suasana masih tidak nyaman untuk seorang perempuan berjalan sendiri”
            “tidak masalah. Lagipula aku kan tidak ikut turut campur dalam demonstrasi. Aku hanya mengamati dari jarak jauh.”
            “Oh iya. ngomong-ngomong bagaimana kabar Indonesia?”
            “Kabar apa?”
            “Korupsi”Sahut Fiyumi sambil menerima pesanannnya.
            Faiz terhenyak sejenak. Sudahkah menjadi rahasia umum bahwa indonesia terkenal dengan korupsinya?
            “Hei. Kamu menghayal apa?”
            “oh tidak apa-apa”Faiz terkejut dari lamunannya.
            “Sudahlah. Tak usah kau pikirkan”
            Faiz masih membisu. Membiarkan diam membungkus mereka. Hingga selesai makan siang, mereka masih diam satu sama lain.
            “Kamu mau ke pusat kota?”tanya Faiz memecah keheningan.
            “Iya. kalau kamu?”
            “Aku memang akan kesana. Bagaimana kalau kau ikut denganku?”
            “Boleh.”
            “Baguslah. Lagipula tidak aman untuk gadis sepertimu bertugas sendirian”
(*)(*)(*)
            “AWAS!!!!! SEMUA MUNDUR”
            Teriakan itu menggema. Entah siapa yang berteriak, pendemo atau petugas kepolisian, Faiz sudah tidak peduli. Pikirannya kacau seketika melihat puluhan bongkahan batu melayang diatas kepala. Sesekali terdengar bunyi tembakan. Ia panik. Fiyumi menghilang.
            Oh tidak. Seharusnya saat berlari tadi ia tidak melepaskan genggaman tangan Fiyumi. Atau lebih baik Ia tidak mengajak Fiyumi masuk sampai ketengah-tengah demonstran. Itu terlalu berani. Apalagi kata gadis itu, selama bertugas ia hanya mengamati dari jarak jauh.
            Hatinya menjadi tidak tenang. Tiba-tiba ia merasa bahwa ia yang bertanggung jawab sepenuhnya jika sampai terjadi apa-apa pada gadis itu.
            Orang-orang berlarian. Berhamburan dari sudut kota ke sudut kota lainnya. Faiz masih pada tempatnya. Hanya berteriak sambil memutar-mutar tubuhnya. Berharap dengan cepat matanya menemukan sosok itu.
            Fiyumi?
            Matanya membulat ketika melihat seorang gadis sedang berjongkok ketakutan diantara kerumunan banyak orang. Ia…ketakutan? Faiz berlari menghampirinya. Apalagi ketika ia sadar, puluhan bongkahan batu melayang kearah Fiyumi.
(*)(*)(*)
            Suasana semakin kacau. Ia terlepas dari genggaman Faiz. Laki-laki itu menghilang entah kemana. Fiyumi terdiam tak bisa berbuat apa-apa. Yang dilihatnya hanyalah orang-orang yang berlari tak tentu arah sambil berteriak. Untuk pertama kalinya semenjak bertugas sebagai seorang wartawan, Ia berada ditengah-tengah para demonstran? Oh bukan. Ditengah-tengah petugas kepolisian? Atau apalah… Fiyumi tidak tahu Ia sedang berada dibarisan kelompok mana.
            Ia berlari kecil menyelamatkan diri dari suasana kota yang semakin kacau. Bunyi tembakan berulang kali terdengar. Memaksa degub jantungnya berdebar kencang. Matanya memancarkan sinar ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia memilih untuk berjongkok, melindungi dirinya sambil meringis ketakutan. Mengapa juga Ia harus mengikuti ajakan Faiz ketengah-tengah demonstran? Mungkinkah Ia merasakan rasa aman bersama laki-laki itu?
            Fiyumi tidak peduli lagi apa yang akan terjadi padanya. Ia pasrah. Yang penting baginya adalah tugas sebagai seorang wartawan terlaksana dengan baik. Mati dalam bertugas adalah perjuangan terbaik baginya. Ia memejamkan mata. Memandangi puluhan batu yang melayang diatas kepala. Matanya menyipit. Sebongkah batu besar mengarah kepadanya, dan….
            Bruak…
            Batu itu mengenai pelipis. Fiyumi meringis ketakutan. Ia baru sadar ketika tidak merasakan apa-apa melainkan pelukan seseorang. Ia membuka mata dan mendapati tubuhnya berada dalam pelukan seorang laki-laki. Mata mereka saling bertumbukan. Faiz? Itukah kau? Jantung Fiyumi bergetar dahsyat. Laki-laki yang melindunginya adalah Faiz?
            “Faiz? Pelipismu…”Fiyumi mengangkat tanganya lalu menyentuh darah yang mengalir dari pelipis Faiz.
            “Kau berdarah…”
            “Yang penting kau tidak apa-apa”
            “Ayo kita pergi dari sini”Kata Fiyumi lalu berjalan menunduk bersama Faiz.
            Laki-laki itu? Ia tidak terlihat ketakutan. Sorot matanya berjuang. Tangannya masih mendekap tubuh Fiyumi dari samping. Meski darah mengalir diwajahnya.
(*)(*)(*)
            Fiyumi berlari tergopoh-gopoh dari kamarnya menuju kamar Faiz yang hanya berselang empat kamar. Ia membawa kotak kecil. Faiz terbaring disofa sambil memegangi pelipisnya.
            “Lebih baik kamu berbaring saja. Jangan banyak bergerak”Kata Fiyumi setelah melilitkan perban dikepala Faiz.
            “Tapi aku harus mengirimkan data ke Indonesia sore ini juga”Faiz berusaha bangkit sambil memegangi pelipisnya.
            “Dimana datamu? Biarkan aku saja yang mengirimkannya”
            “tapi…”
            “Kau ragu padaku?”Fiyumi mendekatkan wajahnya. Memandangi tatapan ragu dari laki-laki itu. “aku tidak akan mencuri datamu”
            “Baiklah”
            Faiz menunjukan folder artikel dan data-data lainnya. Ia juga memberikan alamat email beserta paswordnya. Ia tidak perlu ragu pada gadis itu.
            “Done. E-mail sent”Fiyumi berdiri lalu berbalik belakang.
            Faiz sedang memegang telepon dan berbicara dengan seseorang dibalik sana.  Ia memberitahu kalau baru saja mengirimkan email. Ia juga minta maaf karena tidak bisa meliput kejadian itu hingga akhir sebab terjadi kecelakaan kecil. Beruntunglah teman-teman di Indonesia mengerti.
            “Terima kasih”
            “Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Kalau kamu tidak datang, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku tadi”
            “aku minta maaf karena telah mengajakmu ketengah-tengah demonstran”
            “Tidak perlu minta maaf. Itu pengalaman terbaruku dalam bertugas. Aku harus kembali ke kamar, sepertinya teman-temanku sudah tiba”
            “Fiyumi”
            Gadis itu berhenti kemudian berbalik.
            “Malam nanti kamu mau kemana?”
            “Kemana ya???”Fiyumi mengangkat alisnya. Berpikir.
            “Kamu mau ku ajak jalan?”
            “boleh”
            “Sampai ketemu nanti malam. bye…”
            “Bye…”Fiyumi keluar lalu menutup pintu dari luar.
            Rasa yang tak bisa dijelaskan. Fiyumi sedang merasakan sesuatu. Melihat tatapan Faiz membuat jantungnya berdebar pelan. Tiba-tiba bibirnya mengulas senyum. Wajahnya merona merah mendapati dirinya dalam keadaan seperti itu. Mungkinkah ini cinta? Ah gila. Ini terlalu cepat. Lagipula tidak mungkin kalau perasaan ini diartikannya sebagai rasa cinta. Bagaimana nasib takaeda yang menanti kepulangannya ke jepang?
(*)(*)(*)
            Sebongkah rembulan menggantung indah pada jubah hitam yang dikenakan malam. Disekitarnya, ribuan kilau bintang bertebaran. Membuat suasana malam itu menjadi semakin indah. Tak bisa dipungkiri, sekalipun dalam suasana bergejolak, kecantikan Cleopatra takkan pernah tertandingi. Ia terlalu indah.
            “Jadi kamu sering ketempat ini?”tanya Fiyumi.
            “iya. Kalau aku sedang di mesir, aku sering datang kesini”Jawab Faiz.
            Saat itu mereka sedang duduk berdua diatas pasir. Berada dipantai yang menghadap langsung ke laut mediterania membuat suasana semakin romantis. Diatas pasir putih kekuningan itu, mereka duduk sambil berbincang-bincang.
            “Kau sering kesini dengan pacarmu?”
            Pertanyaan Fiyumi membuyarkan fokusnya pada keindahan malam. Ia menoleh lalu tersenyum tipis pada Fiyumi. Bukan pacar. Ia pernah datang ketempat itu tapi bukan dengan pacarnya. Ia hanya datang bersama seorang gadis yang ia temui di perpustakaan tertua didunia, perpustakaan Alexandria.
            “Kau memang aneh. Setiap kali ditanya malah diam”
            Faiz hanya terkekeh pelan. Tawanya. Tawa itu. Oh tidak. Fiyumi merasakan bumi seakan berhenti berputar. Jarum jam berhenti berdentang. Angin berhenti berhembus. Dan… Jantungnya seakan berhenti berdetak. Tatapan Faiz berulang kali membuatnya salah tingkah. Ia tidak boleh sampai jatuh hati pada laki-laki itu. Mereka baru saling kenal lagipula Ia punya kekasih yang menanti di jepang.
(*)(*)(*)
            Malam semakin larut sementara Ia masih saja terjaga. Bayangan laki-laki itu selalu saja mengganggunya. Senyumnya. Tawanya. Juga candaannya. Laki-laki itu sangat mempesona.
            Tiba-tiba ponselnya berdering, Ia buru-buru menjawab,
            “Hallo. Ada apa faiz?”
            “Faiz? Siapa dia?”suara serak dari balik telepon, kebingungan. walaupun raut wajahnya tidak tampak, Fiyumi yakin orang itu – Takaeda – pasti memasang wajah bingung.
            “Oh.. anu.. dia… hmm. Dia rekan kerjaku. Aku pikir dia menelepon untuk mengabarkan berita penting. Soalnya tadi siang ia sudah berangkat ke Kairo”
            “Benarkah? Apakah kau tidak melihat nama yang muncul dilayar ponselmu”
            “Maaf. Hari ini aku lelah sekali. Aku sedang beristirahat dan kau tiba-tiba menelepon. Ayolah, aku tahu kamu masih bingung dan tak percaya. Takaeda, dengarkan aku. Aku berada disini untuk tugas…”
            “aku percaya sepenuhnya padamu. Aku hanya ingin mendengarkan suaramu. Aku rindu, kapan kamu pulang?”
            Sejenak Fiyumi menarik nafas pelan. “aku akan pulang seminggu lagi. Aku juga merindukanmu. Kau tahu? Aku punya banyak cerita menarik untukmu”
            “Aku akan menantikan cerita itu. baiklah, sepertinya kamu memang sangat lelah. Selamat tidur”
            Setelah memutuskan pembicaraan Fiyumi berniat untuk tidur. Ia memang sangat lelah namun entah mengapa sejak bertemu dengan Faiz tadi siang, rasa lelah itu perlahan terobati. Apalagi beberapa kali Ia ditolong oleh Faiz. Saat Ia hampir jatuh di Lift hingga saat meliput demonstrasi tadi.
            Tiba-tiba, ponselnya kembali berdering. Ia kenal dering itu. Bukan panggilan masuk tapi penanda SMS masuk.
            Besok kita jalan lagi ya… Selamat tidur. –Faiz
            Mata Fiyumi membulat. Darimana laki-laki itu tahu nomor ponselnya. Ah biarlah, tak penting. Yang penting, rasa rindu yang bersemayam didalam hati Fiyumi dapat sedikit terobati. Ia tersenyum. Malu-malu kemudian membalas pesan singkat itu. Mengiyakan…
(*)(*)(*)
            Esoknya, mereka memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Alexandria. Fiyumi ingin sekali berkunjung ke tempat itu sejak ia menginjakan kaki di Alexandria. Namun baru bersama Faiz Ia bisa masuk ke perpustakaan tertua di dunia.
            “Kamu suka membaca juga ternyata”Ujar Faiz saat mereka keluar.
            “Iya. Setidaknya dengan membaca aku bisa menggenggam dunia”
            “Oh ya?”Tanya Faiz, penasaran.
            “Iya benar. Kau bahkan tak perlu beranjak dari tempat dudukmu di Jakarta jika hanya ingin mengunjungi Tokyo”
            “Caranya?”
            “Dengan membaca. Kamupun bisa menembus batas waktu, pergi kemasa lalu”
            Faiz mengangguk pelan sambil tersenyum. Fiyumi tak hanya cantik dari segi fisiknya. Otaknya juga cantik. Indah dan eksotis.
            “Kenapa kamu memandangku seperti itu? kamu…tertarik padaku?”Tanya Fiyumi lalu menggoyangkan tangan didepan wajah Faiz.
            Faiz hanya tersenyum lalu berdehem pelan.
            “Kalau iya, kenapa?”Sahut Faiz kemudian melangkah lebih dulu.
            Fiyumi tertegun. Mematung sambil memandangi pundak Faiz yang semakin jauh meninggalkannya. Berulang kali bumi terasa berhenti berputar. Terik matahari tak terasa. Sungguh, Cinta itu benar-benar buta. Ia bahkan tak menyadari kalau sebuah mobil hampir saja menabraknya. Beruntung, seseorang datang dan dengan gesit menarik lengan Fiyumi ketepian jalan. siapa lagi kalau bukan Faiz.
            “Kamu mau bunuh diri hanya karena aku tertarik padamu?”
            “Ihh.”Fiyumi tak menjawab. Kali ini Ia yang maju lebih dulu. Wajahnya memerah. Faiz menyusulnya dari belakang.
            Faiz berhenti sejenak, mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana kemudian…
            “Iya… Jam empat?... oh tapi… bolehkah kita pergi ke suriah besok saja???... baiklah aku ikut katamu… Jam tiga?? Baiklah. Kamu atur saja semua… oke bye”Faiz mendesah panjang lalu memasukan kembal ponsel kesaku. Ia memandangi Fiyumi yang berdiri dikejauhan sana sambil melambaikan tangan kearahnya.
(*)(*)(*)
            Istana Raja Farouq yang sangat megah terlihat dengan jelas. Fiyumi tak berhenti mengarahkan kamera dan mengshoot sudut-sudut keindahannya. Sesekali Ia juga mengarahkan kamera kearah Faiz. Memotret laki-laki itu yang sepertinya juga sibuk memotret keindahan taman Muntazah.
            Usai memuaskan mata dengan menikmati keindahan taman muntazah, mereka memutuskan untuk duduk didekat sebuah pohon kurma.
            “kata mahasiswa-mahasiswa indonesia yang berkuliah disini. Katanya ya, kalau ada pasangan yang berkunjung ke taman ini, kisah cintanya akan abadi”Kata Faiz kembali membuka percakapan.
            “hmm…”Fiyumi balas dengan berdehem pelan. tapi sesungguhnya, saat Faiz mengatakan hal itu, Ia merasakan sesuatu menjalar kelubuk hatinya. Ia tidak yakin dengan makna yang tersirat dalam kalimat itu. Akhirnya, Ia hanya bisa tersenyum lalu mengangkat kamera kemudian mengarahkannya kewajah Faiz.
            “Berhentilah memotretku. Mungkin wajahku memang baby face tapi jujur aku ini bukan model.”Kata Faiz penuh percaya diri kemudian terbahak.
            Fiyumi menurunkan kameranya lalu mengernyintkan dahi sambil tersenyum tipis. “kalau begitu aku hapus saja foto-fotomu disini”Fiyumi bergerak menghapus foto-foto Faiz. Sebenarnya Ia tidak ingin melakukan hal itu atau bahkan tidak mungkin menghapus foto-foto Faiz. Itu sama saja dengan menghapus…Oups!!!
            “Jangan”Sontak Faiz menahan gerakan tangan Fiyumi. Fiyumi mengangkat wajah lalu mendapati Faiz sedang menatapnya.
            Aduh…
            Berulang kali jantung Fiyumi berdebar kencang. Nafasnya naik turun. Darahnya menghangat. Oh tidak. Satu persatu pengunjung di taman Muntazah mulai menghilang dari pandangannya. Bunga-bunga semakin bermekaran. Menebarkan aroma wangi. Fiyumi merasakan jantungnya berhenti berdetak. Nadinya? Jangan sampai berhenti berdenyut.
            “Jangan dihapus, simpan saja. siapa tahu bisa jadi bukti perkenalan kita”Lanjut Faiz lalu melepaskan tangan Fiyumi.
            Dua puluh empat jam berkenalan dan bersama dengan Faiz membuat Fiyumi merasa nyaman. Kecuali hatinya yang sedikit-sedikit bergejolak ketika matanya bertumbukan dengan mata pemuda itu. Beberapa jam lagi, Faiz akan pergi. Entah kapan mereka akan bisa bertemu kembali. Atau bahkan mereka takkan pernah bertemu lagi. Perkenalan mereka hanya sesaat, tak untuk selamanya. Fiyumi mendesah panjang…
(*)(*)(*)
            Faiz keluar dari kamar hotel sambil menenteng ransel dan mendorong koper kecilnya. Fiyumi berdiri didepan pintu dengan wajah memelas. Ia belum siap berpisah. Waktu terlalu cepat berlalu.
            “Kamu yakin akan pergi hari ini?”
            “ya”Faiz mengangguk pelan.
            “tak bisa ditunda sampai besok? Atau minggu depan mungkin”
            “tidak bisa”Faiz mengangkat tanganya lalu mengacak-acak pelan rambut Fiyumi.
            “Ayo… temanku mungkin sudah ada dibawah”
            Fiyumi mengikuti langkah Faiz dengan lambat. Mukanya tertunduk lesu. Dadanya sesak. Ia tak mengerti mengapa Ia begitu berat melepas kepergian Faiz. Ia mengetuk pelan jidatnya. Susah untuk dimengerti. Namun memang begitulah cinta, terkadang tak memerlukan logika. Tapi…benarkah ini cinta? Hanya dua puluh empat jam lalu cinta itu begitu cepat bersemi diantara mereka?
            “Mobilnya sudah ada. Aku harus pergi, terima kasih kau telah mau menjadi temanku selama seharian ini”Ucap Faiz lalu meraih tangan Fiyumi. Ia memandangi wajah yang tampak lesu tak bersemangat itu.
            Sementara Fiyumi membiarkan jemarinya berada dalam genggaman Faiz. Diremas lembut oleh lelaki itu. Ia kemudian mendesah panjang tanpa kata-kata.
            “Kamu kenapa? Sepertinya kamu sedih”
            “Aku takut”
            “Takut kenapa?”
            “Aku takut tak bisa lagi bertemu denganmu”
            Faiz hanya tersenyum lalu mencubit pipi Fiyumi. “Kita akan bertemu. Kita akan tetap berkirim kabar. Jangan khawatir, Indonesia dan Jepang masih satu Asia. Deket Kok”Kata Faiz menghibur.
            Fiyumi memaksa untuk tersenyum. Meski berat dan benar-benar berat perpisahan itu harus terjadi. Faiz melangkah dan masuk kemobil. Laki-laki itu menurunkan kaca mobil lalu melambaikan tangan. Fiyumi membalas dengan lambaian pelan. Lambat.
            Waktu dua puluh empat jam memanglah sangat cepat. Terlalu cepat untuk berpisah. Terlalu cepat untuk jatuh cinta tapi itulah kenyataannya. Fiyumi jatuh hati pada Faiz hanya dalam waktu dua puluh empat jam.
            Oh cinta… terkadang kehadiranmu membingungkan..
Bersamamu adalah perselingkuhan terindah…


[1] Makanan khas mesir. Berbentuk sandwich dengan isi sayuran, kentang goreng dan telur rebus.