Senin, 05 Oktober 2015

Aku dan kamu (Topan dan Rinai)

Kita pernah berpetualang
Aku dan kamu, menyusuri cinta tak berujung
Kita pernah bersama,
Aku dan kamu, mendesahkan butiran cinta

Namun kini aku tertunduk,
Sementara engkau menggemakan tawa,
Tidak peduli hatiku semakin tertusuk,
Tidak peduli hatiku semakin membara,

Aku dan kamu masih berdiri,
Tapi berada dalam ruang terpisah,
Sebuah struktur padat kokoh berdiri,
Memaksaku untuk tersenyum pasrah,

Dinding ini menjulang tinggi,
Mencaci maki kebodohanku,
Menghantamku dengan besi berduri,
Lalu bahagia menertawaiku,

Dinding itu semakin menjulang tinggi,
Kokoh berdiri terus melindungimu,
Menghalau ragaku untuk menggapai,
Sepotong mawar kuning yang pernah menjadi milikku,

Mawar kuningku,
Hanya penyesalan yang mampu ketelurkan,
Hanya pengharapan yang bisa aku terbangkan,
Meski semua tidak akan pernah sama,
Meski dirimu kini tersenyum dalam pelukannya,

Mawar kuningku,
Dinding ini berdirih terlalu tangguh,
Dinding ini tidak pernah terlihat rapuh,
Dinding ini memisahkan kita,
Menyimpanmu semakin rapat dalam ruang penuh cinta,
Menjatuhkan dalam jurang dengan kilauan karang dibawahnya,

Duhai dermaga kecilku,
Meski mustahil senantiasa mendekapku,
Meski raga ini semakin menyerah dalam kerapuhan,
Aku tetap memaksa pada Tuhan,
Suatu saat nanti Dinding itu harus aku robohkan,
Sekalipun jiwa ini adalah taruhan,

*Puisi diantara “Purnama Berdarah!” dan “Dermaga kecil”

Diikut sertakan dalam tantangan menulis yang rajin dilaksanakan oleh @KampusFiksi #NulisBarengAlumni #JamaahTyphobia

Minggu, 04 Oktober 2015

Dermaga Kecil

Siapa aku?
Hanya perempuan muda tak berdaya yang lahir beserta jutaan rintik hujan menghujam bumi. Malam hari, dalam sebuah rumah sakit yang sepi. Untuk itu, aku disebut Rinai.
Lalu, siapa kamu?
Kamu adalah samudera yang luas. Tempat perahu kertas kecil ini pasrah untuk tenggelam jika sewaktu-waktu gelombang datang menerpa. Hujan badai menyerang pelan. Kamu adalah lelehan keju menggiurkan diatas sepotong ubi dari perkebunan nan jauh di pedalaman daerah.

Aku masih mengingatnya. Hari dimana langit menjadi saksi, janji suci itu dia ucapkan. Menit dimana dua ekor merpati terbang melintas sambil mendoakan. Detik dimana hati ini ikut menyenandungkan nada yang sama. Janji suci, sehidup semati. Selamanya.
Angin mendesau pelan. Berbulan-bulan sebelum jemari ini bertahtahkan cincin emas berkilauan. Sebelum selembar daun yang berguguran ini menemui tempat untuk mengakhiri penerbangannya.
“Ingat, Rinai! Terigu dua kilo, Mentega satu kaleng, susu bubuk 1 kotak, coklat batang 2 bungkus. Hanya itu. Bahan-bahan lain sudah siap sedia. Jangan lupa!”
Kakiku terus berayun. Tidak berhenti. Sambil terus mendendangkan daftar belanjaan. Mama cerewet. Mana mungkin anak gadisnya ini lupa? tenang saja.
            Benar. Mama hanya perlu tenang karena semua pesanan telah selesai dibeli. Derap langkahku berhenti di depan supermarket ketika sepotong musik mengalun pelan. Bergelantungan dengan irama yang indah pada dinding-dinding kaca supermarket.
            Lagu itu?
            Aku terbius oleh merdu suara penyanyinya. Bergerak pasrah, meski sepenuhnya sadar, menuju sebuah toko kaset kecil tidak jauh dari supermarket. Masuk. Seorang pemuda dengan rambut dipotong rapi menyambutku. Aku membagi senyum.
            Tempat yang mudah untuk dikelilingi. Aku berhenti dihadapan jejeran album karya seorang penyanyi british. Membuatku terpesona pada cover kaset DVD. Namun, pesona itu benar-benar memudar ketika tanpa sengaja kakiku tergelincir saat mengambil kaset DVD favoritku.
            Oh tuhan,
            Telah kau ciptakan keindahan tak bernilai,
            Pesona Cleopatra pada sepotong lelaki,
            Aku terperanjat. Hatiku berdesir pelan.
            Lelaki dengan tatapan tajam dan senyum yang melengkung ramah itu menyambutku. Dengan gesit, menahanku bagai ranting lemah tak berdaya yang putus begitu saja dari dahan. Aku hanyut dalam pelukannya. Samudera luas yang menjebak. Aku tenggelam.
            Kami berkenalan.
            “Namaku Topan!”
            Lelaki dengan jutaan badai cinta bersarang ditubuhnya. Aku ragu menyambut uluran tangannya. Bukan takut pada lekuk tubuhnya yang membuatku tak mampu bernafas. Tapi ragu jika saja aku menjabat uluran tangan itu maka aku akan semakin tenggelam. Atau tersesat pada labirin ini.
            Pertemuan yang singkat namun berkesan. Kami bertukar nomor ponsel. Untuk bisa saling telepon atau janjian untuk bertemu. Dua minggu setelahnya.

            “Jadi kamu tinggal tidak jauh dari sini?”
            Jam dua belas siang ketika Topan datang menjemputku. Mengajakku makan siang bersama pada salah satu tempat makan terbaik di kota ini.
            “Rumahku hanya beberapa meter dari tempat ini. Kantorku yang letaknya cukup jauh. Aku harus dua kali berpindah bus.”
            “Bagaimana kalau mulai besok kita barengan saja? Kebetulan tempat kerjaku searah dengan tempat kerjamu.”
            Tentu aku menyetujuinya.
            Aroma maskulin dari Topan membuatku tak sanggup menolak tawaran itu. Dan mulai saat itu, jarak diantara kami mulai mengecil. Kami sering tertawa bersama dalam mobil. Tawa itu. Senyum itu. Pesona yang terpancar dari sorot mata itu. Membuatku semakin tersesat. Hingga dengan berani, pada suatu hari Ia mengatakan keinginan terbesarnya. Menikahiku.

            Hari-hari berlalu begitu cepat.
            Kami memilih satu rumah minimalis di tengah kota. Hanya kami berdua. Hanya aku dan dia. Hanya seorang Rinai dan seorang Topan. Berdua saja menjelajahi cinta bagai samudera yang tak memiliki ujungnya.
            Setiap malam aku berkelana. Berpetualang pada cinta yang menggelora. Membakar asmara. Seolah peluh yang menetes pada dadanya yang bidang adalah manisan surgawi. Aku senang mengarungi samudera ini. Meski aku tahu, aku hanya perahu kertas nan kecil di tengah samudera luas. Aku menikmatinya.
            “Aku mencintaimu, Rinai.”Bisiknya. Membuat sekujur tubuhku menegang. Cinta ini terlalu dalam. Cinta ini terlalu kuat.
            “Aku juga mencintaimu, Topan!”Bisikku dalam dinginnya malam.
            Dua ekor kucing yang sedang jatuh cinta diatas atap rumah tetangga mengeluh ketika mendengar desah nafasku. Setiap kalimat yang keluar dari bibirku adalah cinta.
            Kami saling mencintai.
            Aku dan dia saling memiliki, setidaknya sampai beberapa bulan ke depan.
            Sebab, waktu terus berkelana tanpa arah. Membawaku semakin tersesat. Juga terperanjat pada kenyataan. Topan mulai berbeda.
            Ia semakin rajin bekerja. Jauh lebih rajin dari hari-hari awal pernikahan kami. Tak ada lagi perjalanan cinta setiap malam. Tidak ada lagi petualangan yang nikmat tanpa ujung. Aku tak bisa lagi menjelejahi samudera itu. Tidak pernah lagi.

            Bukan dosa jika aku mulai merasa curiga. Aku berhak mengetahui kejadian sebenarnya. Aku memutuskan mencarinya sampai ke kantor. Menjumpai setiap rekan kerjanya. Lalu, bagai dihantam gelombang besar, tubuhku terhempas dalam kesedihan. Aku melihatnya, berdiri di parkiran bersama seorang perempuan berambut coklat.
            Tangisku meledak. Membuat mereka terperanjat. Terkejut. Lalu Topan dengan tubuhnya yang senantiasa membuatku mabuk, berlari mengejarku. Setiap jengkal langkahnya adalah rindu yang kupendam.
            Sekian lama, setelah kejadian itu, rumah ini menjelma bagai neraka. Satu permintaan maaf menjadi kesempatan baginya untuk tetap berulah. Beralasan lembur hanya untuk bisa bersama perempuan itu. Membuat rumah ini dipenuhi air mata. Aku kecewa. Pada lelakiku yang kini menutup rapat tiap jengkal dalam hatinya.
            Mungkin aku ialah perempuan paling baik di atas bumi yang keronta ini. Terus menyangkal fakta. Sigap menyimpan keraguan. Rajin menanam harap kalau semua ini hanya ilusi dan segera berakhir. Sebab aku masih menginginkannya disini. Disampingku. membawaku kembali tenggelam.
            “Siapa perempuan itu? Aku kecewa denganmu Mas.”
            “Dia hanya rekan bisnisku. Tidak lebih.”
            “Bohong. Dia pasti selingkuhanmu.”Pecah. Tangisku kembali meledak.
            “Apakah kau sudah gila? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
            “Yah. Aku memang gila. Aku tergila-gila padamu. Aku gila karena aku mencintaimu.”
            “Sayang? Aku serius. Kamu harus percaya.”
            Lalu dia menarikku. Tenggelam dalam pelukan yang aku rindukan. Meski pada kenyataanya pelukan itu tidak sehangat dulu. Aku tahu, aku bukanlah satu-satunya. Aku hanyalah dermaga kecil, tempatnya bersandar hanya pada sebuah waktu.
            Aku menyadari kalau petualangan ini tidak semenarik dulu. Kita memang sering berpetualang, tapi aku tetap merasakan sendiri. Dia mengajakku mengarungi samudera cinta meski pada kenyataannya tidak ada senandung di dalam dadanya. Dia sering menyimpanku dalam pelukan yang bidang meski cinta tak lagi bisa aku rasakan di sana. Manisan surgawi itu? menjelma bagai biji kopi yang dipetik dari hutan dalam neraka. Berlumuran jutaan kebohongan. Pahit!
            “Berhenti bersandiwara. Aku tahu semuanya!”
            “LALU KAMU MAU APA?”
            “TINGGALKAN PEREMPUAN GILA ITU!”Bentakku.
            “KAU YANG GILA!”Balasnya membentak.
Kemudian pergi tanpa menoleh sedetikpun. Lalu tidak pernah kembali lagi. Membuatku menangis. Menyadari sejuta dusta telah bersemayam dalam rumah ini. Membuatku tersadar kalau hatimu tak jua bisa aku miliki sepenuh jiwa.

            Aku terperanjat. Nafasku memburu.
            Dalam malam aku tersadar oleh peluh dibagian dahi. Hatiku meringis ketika tahu tempat ini tidak lagi sama. Aku benar-benar terjebak sendiri. Dalam gelap dan sepi. Aku terbangun dari petualangan mimpi yang mengerikan. Menyaksikan kilauan petir bermain-main diluar sana.Kenangan itu terus mengganggu.

            Aku ketakutan. Aku merindu. Aku tersakiti. Aku merindu. Seuntai dusta telah menghancurkan istana kita. Aku tidak lagi bisa memilikmu seutuhnya, Lelakiku.­

* Prekuel dari Cerita Pendek "Purnama Berdarah!"
Diikut sertakan pada tantangan oleh @KampusFiksi