Selasa, 30 Desember 2014

Aku, kamu dan secangkir coklat panas



Ini tidak mudah. Bahkan kalau aku harus berkata jujur, ini sama sekali tidak kumengerti. Kapan pastinya perasaan ini tumbuh aku tidak tahu pasti. Aku sadar, perasaan ini mungkin salah bagi sebagian orang termasuk dirimu. Tapi aku bisa apa? Dulu aku sama sekali tidak memiliki rasa apa-apa padamu. Aku menganggapmu teman biasa sama seperti teman-teman lainnya. Namun akhir-akhir ini, ada rasa nyeri setiap saat aku melihatmu berjalan dengannya. Iya, dengan dia (teman kita lainnya) yang selama ini juga menyukaimu.
()()()
                Kamu tampil sederhana dengan kaos merah muda dan jeans biru. Dari tadi, hampir lima menit yang lalu kamu sibuk membolak-balik menu book, membuatku terpaksa menunggu sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pelan.
                “kamu mau pesan apa?”pertanyaanmu memang tak cocok kujawab sekarang. Bagaimana mungkin aku memesan menu sementara menu book dari tadi ada ditanganmu.
                “sebentar, biar aku tebak. Strawberry cheese cake?”kamu mengangkat wajah, menatapku.
                “NO!”
                “Bagaimana kalau chocobrownies?”
                “Terlalu manis. Aku sudah cukup manis kok.”
                “Idiih. Yee…manis dari hongkong.”
                Aku tertawa pelan. Sebenarnya bisa untukku tertawa keras seperti yang selalu kamu lakukan kalau kita sering kumpul dengan teman-teman lainnya. Tapi tidak aku lakukan, aku tidak mau tawaku menganggu pengunjung lain di kafe ini.
                “Coklat panas.”entah mengapa kalimat itu mengular begitu saja tanpa sempat terpikirkan olehku terlebih dulu. Anehnya, kalimat itu hanya berselisih sepersekian detik dengan ucapanmu barusan.
                “Coklat panas?”
                Kau mengangkat alis, menatapku heran.
                “Kenapa menatapku seperti itu?”
                “Tidak apa-apa. Hanya itu?”lanjutmu bertanya.
                “itu dulu. Nanti setelah menu book tidak kau pakai, baru aku akan memesan yang lain.”
                Kau terkekeh pelan. Memanggil pelayan lalu memesan dua coklat panas dan sepiring choco cheese cake.
                Setelah itu, hampir sepuluh menit berlalu tanpa ada percakapan berarti antara kita berdua. Ini hal yang paling tidak aku sukai kalau kita jalan berdua saja. Kurang lengkap rasanya kalau dua kurcaci lainnya tidak ikut bersama. Seandainya ada, mungkin aku akan menghabiskan jeda-jeda kosong ini berdebat dengan Hamzah, laki-laki yang sangat menggilaimu itu.
                “Kenapa kita tidak ajak Hamzah dan Tyara malam ini?”
                “Tyara lagi sibuk, lembur.”
                “Hamzah?”
                “Aku sengaja tidak mengajak dia kesini.”Sahutmu datar.
                Ekspresimu barusan membuatku mengerti. Ya. Sepertinya usahaku dan Tyara untuk menjodohkanmu dengan Hamzah tinggalah kenangan belaka. Kau sepertinya memang tidak mau untuk dijodohkan dengan laki-laki itu.
                Itu tidak masalah bagiku. Urusan perasaan seseorang siapa yang tahu? Tidak satupun kecuali orang itu dan tuhan. Masalah yang timbul sekarang jauh lebih rumit.
                Aku bahkan tidak pernah tahu kapan tepatnya masalah ini benar-benar mengudara dalam kepalaku. Aku menghela nafas panjang, mengamati tiap lekuk wajahmu, dan… darahku kembali menghangat.
                Ini konyol. Benar-benar konyol.
                Entah mengapa, dimana dan sejak kapan aku juga mulai menaruh rasa padamu. Sebenarnya aku tidak yakin tentang perasaan ini. Beberapa kali aku berusaha menolak mengartikan bahwa jantung yang berdebar kencang setiap kali bersamamu adalah tanda bahwa aku menyukaimu. Ini terlalu cepat.
                Tapi, akhir-akhir ini mulai menyadari satu hal. Setiap kali melihatmu berboncengan dengan Hamzah, seperti ada rasa nyeri tak tertahan didalam sini. Dalam dadaku. Padahal, berbulan-bulan yang lalu aku sama sekali tidak berasa apa-apa bahkan ketika Hamzah bercerita panjang lebar tentang rasa kagumnya padamu.
                Seorang pelayan datang menghampiri dan meletakan dua gelas coklat panas beserta choco cheese cake di atas meja. Aku hanya terpaku, belum berani mengambil gelas punyaku. Karena jika aku mengangkat wajah, itu berarti aku akan menatap wajahmu. Dan aku tidak sanggup melakukan itu.
                “Kamu kenapa? Kok diam terus?”tanyamu seraya menyeruput coklat panas dengan penuh hati-hati.
                Aku menatapmu sekilas lalu berusaha mengendalikan ledakan-ledakan tak bermakna didalam dada. Aku tidak boleh menyukaimu.
                “Aku baik-baik saja.”Jawabku lalu mengambil gelas punyaku. Menyeruputnya pelan. Setidaknya, coklat panas ini mampu melumpuhkan sejenak serangan bertubi-tubi yang membuat jantungku terasa sakit.
                “Kamu benar tidak punya perasaan apa-apa pada Hamzah?”Suaraku bertanya. Pelan dan sedikit bergetar.
                “Aku hanya menganggapnya teman, tidak lebih.”
                Aku menghela nafas panjang. Ada sedikit rasa lega yang kurasakan. Sangat sedikit, karena sisanya masih ditumpuki perasaan bersalah. Jika sampai terjadi rencanaku malam ini untuk mengatakan perasaanku padamu, maka jelas sudah gelar yang akan disematkan hamzah untukku. “tukang tikung”.
                Aku sebenarnya tidak peduli jika jawabanmu nanti ialah menolakku. Aku bisa pastikan, aku tidak apa-apa. Tapi yang aku takutkan, bukan bermaksud Ge-Er, jika kau menerimaku, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan pertemanan kita. Antara aku dan hamzah, antara kita berempat.
                “Tadi ditelpon, katamu ada hal yang ingin kamu katakan padaku. Ada apa?”
                Aku baru ingat, aku memang sudah merencanakan dari awal untuk mengatakan perasaan ini padamu. Aku harus berkata jujur agar rasa nyeri ini tidak berkepanjangan. Rasa ini tidak ada obatnya sama sekali kecuali berkata jujur.
                Tidak boleh! Biarlah rasa ini kupendam sendiri, biarkan ia ditelan waktu, disingkirkan begitu saja. Aku tidak mau merusak hubungan kita. Hubunganku denganmu, hubunganku dengan hamzah rusak karena kejujuran ini. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa lebih baik jujur meski menyakitkan. Itu benar, tapi apa mereka mau merasa tersakiti oleh kejujuran yang mereka lakukan sendiri? Kalau aku, aku belum sanggup.
                Maka malam ini, aku biarkan rasa itu menguap begitu saja. Diantara kita berdua yang duduk berhadapan, tidak berani menatapmu atau menatapmu sekilas saja.
                “kalau ada yang ingin kamu bicarakan, katakan saja. Waktu tidak akan pernah menunggu apalagi berputar ke belakang. Tidak pernah.”
                Semua terasa hambar. Kalimatmu barusan memang telah menyadarkanku, tapi aku tetap memilih untuk tidak sadar. Membiarkan rasa ini menguap bersama kepulan asap yang menari-nari diatas gelas coklat panas dihadapan kita berdua. Aku kembali terdiam, mengutuk perasaan tak pantas ini.

Jumat, 24 Oktober 2014

Enam tahun, dan aku masih merindukanmu...




            Sempurna sudah alam bergurau dengan kota ini. Sebentar hujan, sebentar panas. Sebentar lagi hujan, eh sebentar lagi panas. Jujur saja, seandainya aku tidak diajar kesabaran oleh orang itu mungkin saja aku sudah memaki habis-habisan alam hari ini seperti yang dilakukan kebanyakan orang di social media.
            Lah, tapi apa gunanya memaki alam di social media? Toh alam tidak pernah menggunakan social media jenis apapun. Entah itu friendster, facebook, twitter, path sampai instagram.
            Dan sore ini, hujan dengan manjanya bermain-main di kebun depan rumah. Mencumbui dedaunan satu persatu. Tidak bergantian tapi serentak. Setelah itu berhenti pada rerumputan yang mulai tenggelam oleh banjir kecil.
            Seperti biasa, dari teras rumah sambil menikmati udara dingin sore ini aku duduk bertemankan secangkir coklat hangat. Sambil membiarkan jemariku menari indah diatas keyboard laptop, aku kembali mengenangmu.
*-*-*
            “Riz? Rizal… bangun dek.”
            Remaja berusia hampir enam belas tahun membuka mata.
            Ah, ternyata dia ketiduran di sofa merah yang ada di ruang tamu. Beginilah rumah kalau sedang kedatangan banyak saudara. Harus rela berbagi kamar untuk keluarga yang datang dari jauh.
            Rizal. Ia tidak sepenuhnya bangun. Meskipun sudah duduk bersandar tapi matanya masih terpejam. Baru saja berniat untuk berbaring kembali tiba-tiba Ia mendengar suara aneh. Alisnya berkerut samar.
            Itu seperti isak tangis. Ia memasang telinga baik-baik. Benar, itu isak tangis tertahan. Tapi siapa yang menangis? Rasa penasan itu yang akhirnya membuat Rizal bangkit dan berjalan mengendap-endap ke ruang tengah.
            Lampu ruang tengah menyala terang. Beberapa anggota keluarga duduk terisak di sudut ruangan. Ini ada apa? Belum terjawab pertanyaannya, kini Ia melihat sendiri gerombolan tubuh manusia berdesakan di depan pintu kamar. Kamar Mama?
            Ia berjalan lambat. Hati-hati.
            “Kamu yang sabar ya Riz. Kuatkanlah hatimu.”
            Rizal masih tidak sepenuhnya mengerti. Kalimat kakak ipar barusan semakin membuatnya kebingungan. Daripada bertanya-tanya sendiri lebih baik Ia mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            Seperti seorang pangeran, Rizal diberikan jalan sampai ke dalam kamar mama. Keluarga yang bergerombolan membuka jalan untuknya. Tepat di depan pintu kamar Rizal akhirnya mengerti. Jadi ini alasan anggota keluarga menangis serentak pagi ini? Ini bahkan masih gelap untuk disebut pagi. Baru pukul empat.
            Rizal hanya bisa mematung di depan pintu kamar saat melihat kakak dan papa berurai air mata. Cengeng. Laki-laki kok menangis? Lihat dirinya. Bahkan menitikan airmatapun tidak Ia lakukan. Apa yang akan dibicarakan teman-teman di sekolah?
            Mama meninggal. Tubuh itu terbaring sendirian di atas tempat tidur. Tidak benar-benar sendirian karena papa juga ada disitu. Ia tidak suka menangis meski sebenarnya hatinya sedang teriris. Pilu.
            Ia memutuskan untuk keluar rumah.
            Mama meninggal? Ini tidak bisa dipercaya. Rizal masih disergap rasa penasaran. Mungkinkah ini mimpi? Tapi ini terlihat sangat nyata. Ia meringis sakit saat mencubit lengannya. Ini bukan mimpi. Nyata. Mama telah meninggal. Hatinya tiba-tiba sesak. Ingin menangis tapi tidak mau melakukannya.
            Aku anak lelaki…
            Sampai pagi benar-benar menjelang, Rizal masih sibuk kesana kemari tidak tentu arah. Ia terlihat seperti remaja berkebutuhan khusus. Dan itu memang benar, Ia butuh mamanya. Dengan langkah gontai tanpa semangat Rizal meninggalkan pesisir pantai tempat Ia merenung hampir dua jam lamanya.
            “Kamu dari mana nak? Masuk sana ke rumahmu.”sapa salah satu tetangga, teman karib mama.
            Rizal hanya mengulaskan senyum simpul. Tipis sekali. Maknanya? Entahlah. Mungkin itu senyum pertama yang ia bagikan pada orang lain tanpa makna sama sekali.
            Ia lupa membagi kabar ke sekolah kalau hari ini Ia tidak bisa masuk. Segera saja Ia masuk rumah, mengambil ponsel di kamar, berhenti sejenak di depan kamar mama. Papa masih menangis. Dilihatnya air mata pria itu bercucuran deras.
            “Hallo?”seseorang menyapa dari kejauhan sepuluh kilometer.
            “Aku izin ya hari ini, tidak masuk sekolah.”Jawab Rizal datar.
            “kenapa Riz? Sakit?”
            “Mamaku…”Suaranya tiba-tiba tertahan. Dadanya langsung terasa sesak dan tanpa dipaksa satu tetes air mata jatuh menimpa pipinya. Buru-buru Ia menyeka.
            “Halo Rizal? Ada apa?”
            “Mamaku… aku izin ya. Mamaku mening…gal.”
            Potongan terakhir kalimat itu. “Gal.” nadanya melemah. Volume suaranya merendah. Ia benar-benar tidak sanggup mengakui hal itu. Mama sudah meninggal.
            Tut…
            Tanpa perlu menanti jawaban dari temannya itu Rizal langsung mematikan telepon.
            Pukul 10:00 wita.
            Rumah mulai ramai dikunjungi pelayat. Satu per satu dengan lemah lembut mendekati Rizal. Memberikan petuah-petuah singkat. Mengusap kepalanya bahkan tak jarang memeluknya. Bagi rizal ini jelas sebuah bentuk perhatian. Ia dicintai banyak orang. Tapi bukan ini yang ia harapkan. Ia ingin diperlakukan layaknya anak laki-laki lainnya. Cukup dielus punggungnya atau minimal dirangkul saja. Tak usah dipeluk seperti itu. Itu yang membuatnya merasa semakin sedih. Ah orang dewasa susah mengerti kemauan anak remaja.
            Seperti pamannya yang baru saja tiba dari kota kabupaten tetangga. Dengan langkah cepat, masuk ke kamar, menangis disamping jenazah mama, lalu mencarinya. Mencari rizal lalu memeluknya sambil bercucuran air mata. Dan Rizal, tentu saja tanpa dipaksa akhirnya memecahkan tangisnya.
            Tidak lama. Hanya kurang dari lima menit tapi sudah cukup mengurangi sedikit beban yang mencengkram erat jantungnya.
*-*-*
            Semua sudah siap.
            Ini jumat pertama Ia absen untuk ikutan sholat berjamaah di masjid. Keluarga sibuk. Dan Rizal semakin tak sanggup menahan tangisnya ketika melihat wanita yang paling Ia cintai perlahan mulai dimandikan. Dengan air mata bercucuran Rizal mengambil satu gayung lalu mengguyurkannya pada si mayit.
            Ooh…
            Ini semakin berat.
            Rizal tidak sanggup lagi saat melihat mama, yang matanya terpejam itu mulai dibungkus kain putih. Dadanya sakit tiada dua. Air mata tak bisa terbendung lagi. Ini puncaknya. Ini benar-benar hasil dari memendam rasa sedih sejak pagi tadi.
            Air mata ini ialah gabungan dari air mata yang seharusnya sudah pecah sejak pukul empat dini hari tadi.
            Ah mama?
            Ini terlalu cepat. Rizal bahkan belum berbuat apa-apa untuk mamanya. Kado terakhir yang Ia ingat ialah kecupan manja beberapa minggu lalu saat lebaran idul fitri. Setelah itu? Belum ada.
            Lalu setelah ini siapa yang akan membangunkannya setiap pagi? Mengurusi segala keperluannya? Bahkan siapa lagi yang akan memarahinya kalau semalamanya hanya bermain tidak belajar? Siapa yang akan mencubitnya saat sedang bandel tak patuh? Oh semua itu terkenang lagi olehnya.
            Mama?
            Jangan pergi…
            Tubuh dibalut kain putih itu sudah selesai disholatkan. Rizalpun ikut menyolatkan meskipun dengan pikiran kacau tak menentu. Ini konyol. Tak pernah terbayang sebelumnya, bacaan doa menyolatkan mayit yang beberapa bulan lalu dipelajari sekarang harus dipraktikan untuk mamanya sendiri.
            Perlahan namun pasti, tubuh itu mulai dibawa ke lubang kecil. Tempat itu gelap, hanya ada gumpalan tanah, pasir dan kerikil. Disana juga pasti ada cacing dan binatang kecil mengerikan lainnya. Rizal tidak sanggup. Ia hanya berdiri beberapa meter di belakang pelayat lainnya.
            Matanya mulai sembab. Air sudah penuh di kelopak mata. Tinggal menunggu aba-aba, air itu akan jatuh berderai deras.
            Dan…
            Setelah prosesi pemakaman selesai. Para pelayat mulai beranjak pulang, saat itulah Rizal merasakan satu hal. Kakinya tak mampu lagi berpijak. Tubuhnya jatuh tersungkur. Lututnya menghantam batu besar di dekat makam Mama. Tapi apa perdulinya dengan rasa sakit itu? Rasa sakit di dalam dada itu yang tiada duanya.
            Ia menangis. Menumpahkan segala rasa bersalahnya. Air mata tak sanggup dibendungnya. Nafasnya naik turun. Kokoh putihnya mulai bercampur debu. Air mata jatuh langsung merembes ke permukaan tanah.
            “Rizal. Ayo pulang, biarkan mamamu tenang di alam sana.”
            Apa? Membiarkan mama sendirian? Di tempat ini? Ini gelap.
            Dengan sekuat tenaga Rizal mencoba untuk bangkit namun tidak bisa. Ia tidak merasakan lagi tungkai kakinya. Ia lemah. Beberapa orang terpaksa menggandengnya, memaksa kakinya untuk bergerak tapi tidak sanggup.
            Oh, semua mulai tidak tampak. Kabur. Buram. Dan… gelap.
            Rizal tidak melihat apa-apa lagi.
            Dunia menggelap tanpa cahaya satu titikpun.
            Tapi ada mama. Bayangan mama tampak jelas olehnya. Tersenyum dibalut kerudung hitam yang sering mama kenakan. Ah cantiknya mama saat itu. Rizal tak sanggup menahan rindu di dadanya. Ia berlari mendekati mama namun mama seperti berusaha menghindar. Semakin dekat, raga mama semakin jauh. Jauh.. lalu hilang…
            “Mama…?”Rizal terbangun.
            Hujan.
            Sore itu sudah hujan. Ia terbaring di sofa merah tadi. Ia lemah tak berdaya. Tubuhnya tak bersemangat untuk bangkit dari tempat itu. Remuk jantungnya tak tertahankan lagi. Ah, mama kau sungguh berharga.
            Selamat tinggal mah, Aku merindukanmu…
*-*-*
            Mataku sembab.    
            Ah, setiap kali mengingat kejadian itu aku selalu menangis. Mama memang berharga dimataku. Bahkan sampai detik ini belum ada satupun wanita yang mampu menggeser posisi mama di hatiku. Ia sangat istimewa.
            Semua sudah berlalu, enam tahun lamanya.
            Coklat hangat sudah tidak hangat lagi. Dingin sempurna gara-gara hujan sore ini. Hujan yang sama persis dengan hujan enam tahun lalu. Langit mendung, hujan rintik dan angin berhembus lembut.
            Disini.. aku bisa merasakan kehadiranmu. Berdiri di belakangku, melingkarkan tangan kedepan lalu mendekapku. Membiarkan rasa hangat menyergap tubuhku. Mama?
Enam tahun berlalu, aku masih merindukanmu…

Selasa, 09 September 2014

NOTHING

Pagi yang selalu cerah.
Dari apartemen yang berada di lantai empat gedung tua ini aku bisa menyaksikan semburat fajar nan hangat menyapa danau kecil di seberang sana. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa mobil yang melintas dari tadi. Di dekat danau itu, ada sebuah bangku panjang yang memang disediakan khusus untuk mereka yang melintasi jalan setapak di pinggiran danau.
Hari yang membahagiakan.
Hari ini, Fiona - seorang wanita cantik dan baik hati yang sudah menjalin hubungan dekat denganku sejak tiga tahun yang lalu berulang tahun. Tidak seperti tahun lalu aku memberikannya kejutan tepat di pergantian tanggal memasuki tanggal kelahirannya. Kali ini aku sengaja tidak menghubunginya sama sekali sejak tadi pagi, berpura-pura lupa.
Ia juga tampaknya lupa dengan hari bersejarahnya itu. Tadi pagi Ia menelepon, menyuruhku bangun pagi seperti biasanya tanpa sekalipun menyinggung hari ulang tahunnya. Itu bagus. Setidaknya rencanaku memberikan dia kejutan di siang hari nanti akan berjalan lancar.
Aku sudah berdandan rapi. Kemeja putih, disusul jas dan celana berwarna serasi abu-abu dipadu sepatu hitam. Tinggal menghabiskan segelas coklat hangat aku siap berangkat kerja. Saat itulah aku menengok keluar jendela lalu melihat dua orang turun dari mobil dan mendekati bangku panjang ditepian danau. Satunya seorang pria bertubuh besar dan satunya lagi wanita tua berjilbab kuning. Ia pasti sudah sangat renta, jalannya saja harus pelan-pelan dan penuh hati-hati.
Aku memperhatikan mereka sambil menyeruput isi dalam cangkir yang aku pegang. Beberapa saat kemudian pria yang ada disana kembali ke mobil kemudian pergi meninggalkan wanita itu sendirian. Wanita itu tampak menikmati pemandangan indah dipinggiran danau yang cantik.
Aku bergegas turun ketika melihat arloji yang melingkar ditangan kiriku. Sampai dibawah aku melihat wanita itu masih dengan posisinya yang tadi. Duduk dibangku paling kiri dan tidak bergerak sama sekali. Aku tertarik untuk menghampirinya tapi karena jam kerja yang tidak pernah menunggu membuatku menarik gas mobil lalu melaju tenang di jalanan yang mulai tampak ramai.


Ia tampak kebingungan saat anaknya membawa Ia keluar dari rumah pagi-pagi sekali. Ia baru saja usai sholat subuh dan menemui anaknya sedang berdiri di depan pintu kamar.
"Ibu, hari ini kita jalan-jalan ya?"
"sekarang? masih pagi sekali nak."
"pagi seperti ini lebih bagus Bu. Baik untuk kesehatan Ibu."
"tapi mau kemana?"
"Ada tempat yang tampaknya cocok untuk Ibu bersantai. Ibu pasti suka"
"Ada danaunya?"
"tentu Bu."
Wanita itu buru-buru mengiyakan. Ia sudah lama sekali tidak melihat danau. Terakhir kali pergi ke danau yaitu bersama suaminya. itu sudah lama sekali, tiga puluh tahun yang lalu. sehari setelah hari pernikahannya.
Anaknya benar.
Tempat ini sangat cantik. Ia duduk di bangku panjang yang ada di tepian danau bersama anaknya.
"Iya ada apa?... aku lagi bersama ibuku... sekarang?... tidak bisa ditunda sampai besok??? baiklah"anak itu mematikan telepon lalu mendekati wanita itu.
"Bu. Aku harus pergi sekarang, ada urusan penting. aku janji akan kembali setelah urusan itu selesai. Kalau ibu sudah ingin pulang ke rumah, ini ada alamat rumah. mintalah tolong pada siapapun untuk mengantar ibu. nanti ongkosnya minta ke Istri. maaf aku harus buru-buru"kata anak itu sambil menyerahkan sepotong kertas kecil.
wanita itu menerimanya lalu bertanya,
"kamu yakin tidak akan lama?"
"iya. hanya sebentar kok"
"baiklah. ibu akan menunggumu pulang saja"


Berhasil!
Sureprice ulang tahun Fiona berjalan mulus. Ia tampak berkaca-kaca ketika aku muncul dari bawah meja sambil memegangi kue ulang tahunnya. Ia kena jebakan. Aku dan teman-teman mengatur rencana yang cukup baik. Aku dikabarkan mengalami kecelakaan tepat ketika Ia sudah berada di ruang kerjaku. Ia memang suka mampir ke tempat kerjaku menjelang makan siang. Ia syok dan menangis ketika bertanya tempat aku dirawat tapi tidak ada satupun yang tahu.
"Kamu jahat."Katanya ngambek lalu memelukku erat.
"Selamat ulang tahun ya."bisikku kemudian membelai rambutnya.
Malam nanti kami berencana untuk candle light dinner di restoran biasa di pusat kota. Aku dan Fiona belum sempat berkunjung kesana semenjak restoran itu resmi dibuka dua bulan yang lalu. Kesibukanku sebagai seorang arsitek sementara dia yang kelabakan dengan rancangan gaun permintaan pelanggan membuat kami sulit mencari waktu luang.


Sudah pukul satu siang. Beruntung bangku panjang itu tepat berada disamping pohon yang daunnya rindang sehingga Ia tidak kepanasan. Ia memutar tubuhnya lalu melihat seorang remaja laki-laki sedang melahap habis roti tidak jauh darinya. Ia jadi ingat kalau dari tadi pagi Ia belum makan. Perutnya tiba-tiba keroncongan.
"Permisi bu. Ibu lagi nungguin siapa?"Seorang petugas pengamanan menghampirinya.
"Saya lagi menunggu anak saya."
"anak ibu kemana? saya perhatikan dari tadi ibu sendirian saja."
"anak saya lagi ada urusan penting. Sebentar lagi dia akan pulang."
Sebentar lagi? yah, dua jam berlalu ternyata bukan waktu yang sebentar.
Orang itu menghampiri wanita tadi.
"Sudah pukul tiga sore bu. Rumah ibu dimana? biar nanti saya antarkan."
Wanita itu ragu-ragu menjawab. Ia merogoh dompetnya, mencari kertas yang diberikan anaknya tadi kemudian membatalkan.Ia tidak mau pulang diantarkan oleh siapapun. Bukan bermaksud berpikir negatif tapi Ia tetap harus hati-hati pada orang tidak dikenal.


Langit sudah berubah jingga. Aku membawa santai mobilku menuju apartemen. Tiga jam lagi aku ada makan malam dengan Fiona. Ini pasti akan jadi makan malam spesial karena nanti saat itu juga aku akan melamarnya. Aku sudah menyiapkan rentetatan kata pujangga meskipun itu bukan keahlianku.
Aku memarkirkan mobil lalu turun. Baru saja berniat untuk buru-buru naik ke atas, tiba-tiba langkahku terhenti melihat wanita tadi masih bersandar di sana. Seorang diri. Aku penasaran, sedang apa wanita itu disana? aku memutusan untuk mendekatinya.
"Sore Bu."Aku menyapa wanita itu.
Ia menoleh dengan pelan, wajahnya tampak kelelahan.
"sore nak."
"ibu lagi nungguin siapa?"
"saya lagi menunggu anak saya. Sebentar lagi dia akan menjemput dan membawa saya pulang."
sejujurnya, saat melihat gurat diwajahnya aku teringat almarhumah ibu. Mungkin kalau masih hidup, Ibu pasti seusia wanita ini pikirku.
"Memangnya anak ibu kemana?"
"dia lagi ada urusan penting."jawabnya.
Penting??
"saya boleh duduk disini?"
"oh boleh nak. silahkan..."
"Pemandangannya indah ya bu?"
"Iya. sudah lama sekali saya tidak duduk dipinggir danau seperti ini."
"oh iya, kalau ibu mau. ibu boleh menunggu anak ibu di apartemen saya saja. Apartemen saya hanya di belakang sana. Sebentar lagi mau gelap loh bu. sekalian kita makan malam dulu. ibu pasti belum makan."
"tidak usah nak. terima kasih, oh iya. kalau boleh saya minta airnya. saya haus"
"oh boleh bu. silahkan"Aku menyerahkan sebotol air mineral yang masih tersegel padanya. Lalu aku mengeluarkan dua bungkus roti daging dan membagikannya pada wanita itu.
"terima kasih nak. Jarang sekali ada anak muda yang baik dan tampan sepertimu."
Aku tersenyum sungkan lalu berkata, "biasa saja bu."
"kamu sudah menikah?"
"belum bu. nanti malam saya baru akan melamar pacar saya"entah kenapa aku begitu yakin untuk menceritakan rencana lamaran itu yang sama sekali tidak diketahui oleh siapapun.
"Pacarmu pasti cantik. anak kalian juga pasti tampan dan cantik. Oh iya, aku punya foto anakku. siapa tahu kamu melihatnya"wanita itu mengeluarkan selembar foto dan menunjukannya padaku.
Foto yang bagus. Ada seorang pria, satu wanita muda dan seorang balita mungil tersenyum menggemaskan.
"yang ini pasti cucu ibu, bukan?"
"iya benar."
"mirip sekali wajahnya dengan wajah ibu."
wanita itu hanya tersenyum.
"sudah gelap bu. Rumah ibu dimana, biar nanti saya antar pulang saja."
"Tidak usah. saya menunggu anak saya saja."
"tidak apa-apa bu. ayo saya antar, tapi tunggu sebentar saya harus ganti pakaian dulu. Ibu bisa menunggu di ruang tamu apartemen saya."
wanita itu sepertinya meragukanku. tatapannya penuh tanya.
"baiklah."
"rumah ibu dimana?"
"Rumah saya? saya tidak tahu alamatnya."
"Lah,? terus bagaimana?"
"oh iya, saya baru ingat anak saya tadi memberikan ini. sepertinya ini alamat rumah."
Aku menerima potongan kertas kecil lalu membukanya.
Nafasku seolah tercekat. Mataku tidak berkedip membaca apa yang baru saja kulihat. Jantungku memompa lebih cepat. tiba-tiba saja mataku sembab dan tak kuasa menahan tangis. aku menatap wajah ibu itu. hatiku sesak, sakit. Ia tersenyum menunggu reaksiku. senyuman itu membuatku tambah sedih dan tak bisa menyembunyikan lagi air mataku yang jatuh membasahi pipi.
aku meremas kertas kecil itu yang bertuliskan,

mohon kepada siapapun anda yang berjumpa dengan wanita tua ini, tolong antarkan ia ke panti asuhan terdekat. terima kasih...

wanita itu kembali tersenyum. dan aku... menangis...
entah siapa anak yang berani menelantarkan ibunya disaat orang lain malah merindukan kasih saya seorang ibu.


*inspired by :
sebuah film pendek yang beredar di akun jejaring social FACEBOOK.
Lokasinya sepertinya berada di daerah timur tengah, sebab bahasa yang digunakan terdengar sedikit arabic.


Mari mulai belajar mencintai ibu kita...