“Kapan kawin?”
Itulah pertanyaan
yang akhir-akhir ini selalu menyerangku hampir setiap saat. Biasalah, mereka
yang bertanya seperti itu ialah teman-teman yang masih nganggur, tetangga ribet
dan keluarga yang tidak tahu diri.
Memangnya mau
kawin sama siapa? Kambing? Kan nggak mungkin? Walaupun kegantengan aku menurun
0,1% setiap hari karena jomblo, bukan berarti aku harus kawin sama kambing kan?
Tidak ada yang
aneh memang dari pertanyaan itu mengingat sampai sekarang, tinggalah aku
seorang anak muda (cowok) di kompleks yang tidak pernah terlihat membonceng
cewek atau membawa teman perempuan datang ke rumah. Sebenarnya banyak
teman-teman perempuanku datang ke rumah, tapi tidak sendirian melainkan
bergerombolan dan hasilnya para tetangga ribet mengira dirumahku lagi ada
arisan girlband. Nggak banget!
Bicara soal
perempuan, aku punya criteria yang tidak susah buat dijadikan calon istri.
Minimal dia
perempuan, baik hati, sayang, asyik diajak ngobrol (terutama masalah politik,
ekonomi, agama, fashion sampai masalah ABG yang kalau selfie bibirnya
dilipat-lipat kayak nenek-nenek kena stroke).
Dan aku tahu
siapa perempuan yang memenuhi criteria itu. aku sebut namanya mawar.
Eh, ganti…ganti…
Rasanya mawar kok malah mirip korban kekerasan yang sering muncul di TIVI ya?
Aku ganti jadi Tiwi. Hmm… tak apalah.
Kapan terakhir
kalinya aku malam mingguan? Entahlah, aku tidak pernah mengingat hal itu sebab
memang belum pernah terjadi sama sekali. Malam mingguan disini yang dimaksud
ialah jalan sama pacar di sabtu malam. Kalau malam mingguan biasa sih aku
sering banget. Misalnya malam mingguan sama teman, keluarga, tetangga bahkan
sama lepy (nama laptop tercintaku).
Namun satu hal
yang tidak pernah aku duga sebelumnya, meski setiap saat aku mengharapkan hal
itu terjadi, aku diajak jalan berdua sama TIWI. Woah, aku loncat kegirangan, sedikit
bergoyang caisar, lalu tanpa sengaja jatuh kepeleset. Bunyi gedubrak itu mengundang tanteku sampai
di depan pintu kamar.
“Kamu tidak
apa-apa?”
“Aku baik-baik
saja.”jawabku sambil mengurut pelan pantatku.
Maka dengan
sedikit latihan di depan cermin, aku siap untuk jalan berdua dengan seorang
perempuan cantik yang tiap malam bikin aku insomnia sampai harus menghabiskan
dua bungkus roti besar plus dua gelas susu coklat. (Bengkak deh, bengkak).
Aku memeriksa
lemari, mencari kaos terbaik meski ujung-ujungnya pilihanku jatuh pada jersey
timnas favoritku yang baru saja memenangkan pagelaran sepakbola akbar, JERMAN. Dipadu
skinny jeans warna hitam aku jadi
mirip… Indra bekti. PEMAPAMU, perut maju, pantat mundur. Sorry ya bro Ndra!
Sabtu malam alias
malam minggu kali ini pasti akan menjadi malam minggu terhebat.
Aku sudah siap di
depan cermin tepat pukul tujuh malam. Berdiri sambil senyum-senyum sendiri
(Dimohon jangan jijik pada bagian ini), aku berputar sesaat, dan semakin yakin
kalau ternyata aku ini lumayan ganteng. Gigi ginsul plus dua gigi kelinci
membuat senyumku mirip nabila JKT48, aittakatta.. aittakatta…
Tapi sepertinya
malam itu cuaca tidak seirama dengan suasana hatiku. Sejak sore hujan sudah
dengan manjanya mengguyur kota ini. Hanya berhenti beberapa menit, kemudian
jatuh lagi dengan sangat deras. Aku melamun diteras rumah sambil menopang dagu ditemani
segelas capucino hangat. TIWI juga baru saja SMS, katanya kalau hujan terus
mending dibatalin saja. Jelas aku menolak. Aku sudah berdandan rapi terus
dibatalin begitu saja? Memangnya aku laki-laki APA???
“Jangan suka
menopang dagu, jodohmu bakalan jauh.”
Suara tanteku
yang tiba-tiba muncul itu mirip sekali dengan nenek gayung yang habis mandi
tapi lupa mengembalikan gayungnya ke bak mandi. Benar-benar menghantui
perasaanku. Miris sekali nasibku ini, oh hayati…
Sudah jomblo,
hujan, eh malah ditakut-takuti lagi dengan jodoh
bakan jauh.
Coba saja kalau
aku lagi ditengah hutan, dalam gubuk kecil, terus hujan deras, petir menggelegar,
angin kencang, listrik mati, belum bayar hutang, jomblo pula? Sepertinya aku
akan memilih keluar dari gubuk lalu basah-basahan di jalanan. Mirip adegan film
india.
“Kamu nggak jalan
ya?...”
Baru saja berniat
menjawab, tiba-tiba kalimatnya meluncur kembali.
“Oh iya tante
lupa. Mau jalan sama siapa ya? Kan jomblo. Kasihan… percuma ya punya otak tapi
nggak punya hati.”
Malam mingguku
tambah ngenes. Dasar tante-tante tidak berperikemanusiaan.
Tiga puluh menit
kemudian hujan mulai mereda dengan sedikit doa dari orang yang baru saja dianiaya
oleh tantenya sendiri. Aku bergegas menyalakan sepeda motor, memanasi mesinnya,
lalu melunjur menembus rintik hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Ah.. ah… ah…
Memang benar ya
ternyata pacar orang itu lebih cantik daripada orang yang nggak punya pacar? Whatever. Tapi TIWI malam ini memang
kelihatan cantik dan dia memang pacarnya orang. Biarin. Aku kan tidak punya
niat buruk buat merusak hubungan mereka. Aku sadar aku lelaki, dan lelaki
sejati tidak pernah merebut wanita dari lelaki lain secara paksa. Dan itu eyke
bingggo cyin..
“Kita mau kemana?”
“Kemana saja. Terserah
kamu.”jawaban yang sebenarnya tidak aku butuhkan.
Terserah? Terserah
aku? Laki-laki yang hampir tidak pernah malam mingguan?
Aku berdecak
pelan. Mana aku tahu spot menarik buat dijadiin tempat nongkrong berdua? Kalau nongkrong
sendirian di malam minggu sih aku tahu. Toilet.
“Atau kita makan
saja dulu, habis itu baru kita keliling kota. Bagaimana?”
Ide yang menarik.
Aku mengiyakan. Setuju.
Motor yang kami
kendarai melaju tenang dijalanan yang basah. Aku tidak perlu menunjukan skill
aku sebagai adik sepupunya valentine rossi untuk meliuk-liuk dijalan berlubang.
TIWI berpegang erat di belakang.
“Pacarmu kemana
wi?”
“Hilang.”
“oooh. Kok nggak
diajak malam mingguan?”
“ish. Bisa nggak
sih kalau lagi jalan nggak usah ngebahas cowok lain?”suaranya barusan terdengar
sangat BETE Maksimal. Sepertinya aku salah.
“iya deh iya,
sorri.”
Kami sepakat
singgah disalah satu warung makan ayam lalapan. Tepat ketika kami turun dan
masuk ke warung makan itu, hujan kembali jatuh dengan tiba-tiba dan sangat
deras. Aku menghela nafas lega, berbalik sesaat, lalu..
“Weee.. yang
penting aku sudah sampai.”Kataku mengejek hujan sambil menjulurkan lidah.
“Kamu kenapa?”Tanya
TIWI dengan ekspresi terkejut, mirip ketika aku melihat anjing kencing dengan
satu kakinya melayang diudara.
“Eh. Nggak apa-apa.
Lidahku sariawan.”
“Sariawan? Nggak bisa
makan pedes dong? Kita cari makan di tempat lain saja.”
“eeh nggak
usah,.. di sini saja. Bukannya kalau lagi sariawan malah bagus makan yang pedes?”
“Okey.”
Kami memilih meja
di dekat wastafel. Dua ayam lalapan sementara dalam proses penggorengan. Suasana
seperti ini yang sama sekali aku tidak sukai. Banyak sekali jeda kosong yang
diisi dengan kegiatan masing-masing. Dia sibuk BBM-an, aku sibuk main game online.
Laki-laki yang
benar-benar payah. Tapi aku bisa apa coba? Inilah aku apa adanya. Aku selalu
kehilangan kata setiap kali berdua dengannya. Rasanya, untaian kalimat puitis
nan estetis yang sering jadi cirri khas aku menghilang entah kemana. Ini sama
sekali tidak mirip adegan dalam drama korea-korea. Apalagi dalam film Hollywood?
Tidak sama sekali. Mungkin jika ini sinetron indosiar, aku pasti sudah
bernyanyi dalam hati, berlari keluar, basah-basahan dijalanan lalu ditabrak
mas-mas tukang bakso. Beruntung ini kisah nyata.
“Pinjem hapemu
dong.”katanya sambil tersenyum.
“Nih.”
Kurang dari satu
menit hapeku dikembalikan.
“Rencanamu kamu
mau nikah umur berapa?”
“Hah? Nikah??”
Duar…. Di luar petir menggelegar
dahsyat, membelah langit.
“Iya. Memangnya kenapa?
Kamu nggak ada niat buat nikah?”
Sumpah! Kenapa
orang-orang suka sekali membahas pernikahan ketika bersamaku? Memangnya mukaku
ini sudah tua banget ya? Pernikahan itu bukan sebuah perlombaan, siapa cepat
dia yang dapat. Pernikahan itu komitmen. Kalau masih suka keluyuran sama
teman-teman, tidak mau diatur sama orangtua apalagi sama pacarnya, mending
jangan dulu membahas pernikahan. Apalagi membahasnya sama orang jomblo? Tahu tidak?
Itu level aniayanya sudah dua kali lipat.
“Nikah sama
siapa?”
“Pacarmu. Memangnya
kamu belum punya pacar? Kasihan sekali ya?”
“hehe.”Tawaku
sebisa mungkin.
Sama sekali tidak
sesuai dengan apa yang aku harapkan. Malam minggu yang indah ternyata hanya
ilusi untuk seorang jomblo. Malam minggu tetaplah derita.
“Aku masih pengen
bebas.”Tambahku.
“Bebas? Kamu yakin?”
“Iya.”
Aku percaya om
Nietsche, seorang filsuf jerman yang punya kumis keren mirip rambutnya candil,
tidak main-main dengan istilah Nihilisme yang dibuatnya. Berkat dorongannya
untuk “membebaskan diri” dari segala ikatan nilai bagi setiap manusia itulah
yang sekarang membuatku terus merasa nyaman. Katanya ini salah satu jalan untuk
menjadi “manusia super”. Bukan superman ya, apalagi om Mario teguh. Bukan…
Aku merasa
terbebas dari dunia yang sama sekali belum pernah aku masuki. Dengan keadaanku
sekarang, yang terkadang menjadi bahan candaan dan olok-olokan para tetangga
yang sok prihatin, aku selalu bahagia. Aku bebas dari yang namanya wajib lapor
24 jam. Aku bebas dari bangun pagi hanya untuk ngucapin selamat pagi buat
kekasih, yang terus tidur lagi. Aku bebas dari ngucapin selamat malam, selamat
tidur, padahal mata lagi melek merhatiin layar ponsel yang miring 90 drajat.
(Ssst… lagi main game online, jangan mikir macam-macam.)
Aku bebas dari
kemunafikan yang selalu membayang-bayangi. Termasuk pula aku terbebas dari sms
menyesatkan seperti :
Hallo tayank koew. Kamu sudah makan tiank
belom?
Atau
bisa saja aku balas :
Hallo juja tayank. Map ya kalau kompleks
rumahmu sebentar mati lampu, soalnya tianknya sudah aku makan. Dibikin saos
tiram sama perkedel..
Habis makan rencananya
kita masih mau jalan keliling kota, melihat-lihat pemandangan yang ada tapi
tidak pakai becak. Masih pakai motorku yang berlumuran hujan.
“Aku antar kamu
pulang ya?”
“Huh. Padahal aku
lagi kepengen jalan.”
“Hujan makin
deras. Aku takut kamu sakit…”
DIa mendesis
pelan. Pertanda tidak setuju tapi kali ini aku tidak boleh kalah dengan
sikapnya yang keras kepala. Dia berbonceng dibelakang, berlindung dibalik
tubuhku sambil menyandarkan kepalanya. Aku rasa ia kedinginan.
“Kamu nggak
dingin?”Tanya tiwi ketika motor memasuki kompleks perumahannya dia.
“Nggak.”
“pakai jaketku
saja. Kecil sih..”
“Udah nggak usah.
Kamu pakai saja.”
Hujan malam
minggu? Oh sungguh tidak sesuai rencana. Aku tahu ditiap tetes hujan pasti ada
doa yang sedang tersembunyi. Apalagi doa dari kaum jomblo sepertiku. Aku juga
baru ingat, hujan deras malam ini adalah hasil dari doaku sendiri jumat
kemarin. Aku pasrah. Tuhan memang selalu mengabulkan doa orang-orang teraniaya,
termasuk ketika orang teraniaya itu dalam keadaan hampir totally happy.