Ini tidak mudah. Bahkan
kalau aku harus berkata jujur, ini sama sekali tidak kumengerti. Kapan pastinya
perasaan ini tumbuh aku tidak tahu pasti. Aku sadar, perasaan ini mungkin salah
bagi sebagian orang termasuk dirimu. Tapi aku bisa apa? Dulu aku sama sekali
tidak memiliki rasa apa-apa padamu. Aku menganggapmu teman biasa sama seperti
teman-teman lainnya. Namun akhir-akhir ini, ada rasa nyeri setiap saat aku
melihatmu berjalan dengannya. Iya, dengan dia (teman kita lainnya) yang selama
ini juga menyukaimu.
()()()
Kamu tampil sederhana dengan
kaos merah muda dan jeans biru. Dari tadi, hampir lima menit yang lalu kamu
sibuk membolak-balik menu book, membuatku
terpaksa menunggu sambil mengetuk-ngetuk meja dengan pelan.
“kamu mau pesan apa?”pertanyaanmu
memang tak cocok kujawab sekarang. Bagaimana mungkin aku memesan menu sementara
menu book dari tadi ada ditanganmu.
“sebentar, biar aku tebak. Strawberry
cheese cake?”kamu mengangkat wajah, menatapku.
“NO!”
“Bagaimana kalau chocobrownies?”
“Terlalu manis. Aku sudah cukup
manis kok.”
“Idiih. Yee…manis dari hongkong.”
Aku tertawa pelan. Sebenarnya bisa
untukku tertawa keras seperti yang selalu kamu lakukan kalau kita sering kumpul
dengan teman-teman lainnya. Tapi tidak aku lakukan, aku tidak mau tawaku menganggu
pengunjung lain di kafe ini.
“Coklat panas.”entah mengapa
kalimat itu mengular begitu saja tanpa sempat terpikirkan olehku terlebih dulu.
Anehnya, kalimat itu hanya berselisih sepersekian detik dengan ucapanmu
barusan.
“Coklat panas?”
Kau mengangkat alis, menatapku
heran.
“Kenapa menatapku seperti itu?”
“Tidak apa-apa. Hanya itu?”lanjutmu
bertanya.
“itu dulu. Nanti setelah menu book tidak kau pakai, baru aku akan
memesan yang lain.”
Kau terkekeh pelan. Memanggil pelayan
lalu memesan dua coklat panas dan sepiring choco cheese cake.
Setelah itu, hampir sepuluh
menit berlalu tanpa ada percakapan berarti antara kita berdua. Ini hal yang
paling tidak aku sukai kalau kita jalan berdua saja. Kurang lengkap rasanya
kalau dua kurcaci lainnya tidak ikut bersama. Seandainya ada, mungkin aku akan
menghabiskan jeda-jeda kosong ini berdebat dengan Hamzah, laki-laki yang sangat
menggilaimu itu.
“Kenapa kita tidak ajak Hamzah
dan Tyara malam ini?”
“Tyara lagi sibuk, lembur.”
“Hamzah?”
“Aku sengaja tidak mengajak dia
kesini.”Sahutmu datar.
Ekspresimu barusan membuatku
mengerti. Ya. Sepertinya usahaku dan Tyara untuk menjodohkanmu dengan Hamzah
tinggalah kenangan belaka. Kau sepertinya memang tidak mau untuk dijodohkan
dengan laki-laki itu.
Itu tidak masalah bagiku. Urusan
perasaan seseorang siapa yang tahu? Tidak satupun kecuali orang itu dan tuhan. Masalah
yang timbul sekarang jauh lebih rumit.
Aku bahkan tidak pernah tahu
kapan tepatnya masalah ini benar-benar mengudara dalam kepalaku. Aku menghela
nafas panjang, mengamati tiap lekuk wajahmu, dan… darahku kembali menghangat.
Ini konyol. Benar-benar konyol.
Entah mengapa, dimana dan sejak
kapan aku juga mulai menaruh rasa padamu. Sebenarnya aku tidak yakin tentang
perasaan ini. Beberapa kali aku berusaha menolak mengartikan bahwa jantung yang
berdebar kencang setiap kali bersamamu adalah tanda bahwa aku menyukaimu. Ini terlalu
cepat.
Tapi, akhir-akhir ini mulai
menyadari satu hal. Setiap kali melihatmu berboncengan dengan Hamzah, seperti
ada rasa nyeri tak tertahan didalam sini. Dalam dadaku. Padahal, berbulan-bulan
yang lalu aku sama sekali tidak berasa apa-apa bahkan ketika Hamzah bercerita
panjang lebar tentang rasa kagumnya padamu.
Seorang pelayan datang
menghampiri dan meletakan dua gelas coklat panas beserta choco cheese cake di atas meja. Aku hanya terpaku, belum berani
mengambil gelas punyaku. Karena jika aku mengangkat wajah, itu berarti aku akan
menatap wajahmu. Dan aku tidak sanggup melakukan itu.
“Kamu kenapa? Kok diam terus?”tanyamu
seraya menyeruput coklat panas dengan penuh hati-hati.
Aku menatapmu sekilas lalu
berusaha mengendalikan ledakan-ledakan tak bermakna didalam dada. Aku tidak
boleh menyukaimu.
“Aku baik-baik saja.”Jawabku
lalu mengambil gelas punyaku. Menyeruputnya pelan. Setidaknya, coklat panas ini
mampu melumpuhkan sejenak serangan bertubi-tubi yang membuat jantungku terasa
sakit.
“Kamu benar tidak punya perasaan
apa-apa pada Hamzah?”Suaraku bertanya. Pelan dan sedikit bergetar.
“Aku hanya menganggapnya teman,
tidak lebih.”
Aku menghela nafas panjang. Ada sedikit
rasa lega yang kurasakan. Sangat sedikit, karena sisanya masih ditumpuki
perasaan bersalah. Jika sampai terjadi rencanaku malam ini untuk mengatakan
perasaanku padamu, maka jelas sudah gelar yang akan disematkan hamzah untukku. “tukang
tikung”.
Aku sebenarnya tidak peduli jika
jawabanmu nanti ialah menolakku. Aku bisa pastikan, aku tidak apa-apa. Tapi yang
aku takutkan, bukan bermaksud Ge-Er, jika kau menerimaku, aku tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi dengan pertemanan kita. Antara aku dan
hamzah, antara kita berempat.
“Tadi ditelpon, katamu ada hal
yang ingin kamu katakan padaku. Ada apa?”
Aku baru ingat, aku memang sudah
merencanakan dari awal untuk mengatakan perasaan ini padamu. Aku harus berkata
jujur agar rasa nyeri ini tidak berkepanjangan. Rasa ini tidak ada obatnya sama
sekali kecuali berkata jujur.
Tidak boleh! Biarlah rasa ini
kupendam sendiri, biarkan ia ditelan waktu, disingkirkan begitu saja. Aku tidak
mau merusak hubungan kita. Hubunganku denganmu, hubunganku dengan hamzah rusak
karena kejujuran ini. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa lebih baik
jujur meski menyakitkan. Itu benar, tapi apa mereka mau merasa tersakiti oleh
kejujuran yang mereka lakukan sendiri? Kalau aku, aku belum sanggup.
Maka malam ini, aku biarkan rasa
itu menguap begitu saja. Diantara kita berdua yang duduk berhadapan, tidak
berani menatapmu atau menatapmu sekilas saja.
“kalau ada yang ingin kamu
bicarakan, katakan saja. Waktu tidak akan pernah menunggu apalagi berputar ke
belakang. Tidak pernah.”
Semua terasa hambar. Kalimatmu barusan
memang telah menyadarkanku, tapi aku tetap memilih untuk tidak sadar. Membiarkan
rasa ini menguap bersama kepulan asap yang menari-nari diatas gelas coklat
panas dihadapan kita berdua. Aku kembali terdiam, mengutuk perasaan tak pantas
ini.