Siapa aku?
Hanya perempuan muda tak berdaya yang lahir
beserta jutaan rintik hujan menghujam bumi. Malam hari, dalam sebuah rumah
sakit yang sepi. Untuk itu, aku disebut Rinai.
Lalu, siapa kamu?
Kamu adalah samudera yang luas. Tempat perahu
kertas kecil ini pasrah untuk tenggelam jika sewaktu-waktu gelombang datang
menerpa. Hujan badai menyerang pelan. Kamu adalah lelehan keju menggiurkan
diatas sepotong ubi dari perkebunan nan jauh di pedalaman daerah.
Aku masih
mengingatnya. Hari dimana langit menjadi saksi, janji suci itu dia ucapkan. Menit
dimana dua ekor merpati terbang melintas sambil mendoakan. Detik dimana hati
ini ikut menyenandungkan nada yang sama. Janji suci, sehidup semati. Selamanya.
Angin mendesau pelan.
Berbulan-bulan sebelum jemari ini bertahtahkan cincin emas berkilauan. Sebelum selembar
daun yang berguguran ini menemui tempat untuk mengakhiri penerbangannya.
“Ingat, Rinai! Terigu
dua kilo, Mentega satu kaleng, susu bubuk 1 kotak, coklat batang 2 bungkus. Hanya
itu. Bahan-bahan lain sudah siap sedia. Jangan lupa!”
Kakiku terus berayun.
Tidak berhenti. Sambil terus mendendangkan daftar belanjaan. Mama cerewet. Mana
mungkin anak gadisnya ini lupa? tenang saja.
Benar.
Mama hanya perlu tenang karena semua pesanan telah selesai dibeli. Derap
langkahku berhenti di depan supermarket ketika sepotong musik mengalun pelan.
Bergelantungan dengan irama yang indah pada dinding-dinding kaca supermarket.
Lagu
itu?
Aku
terbius oleh merdu suara penyanyinya. Bergerak pasrah, meski sepenuhnya sadar,
menuju sebuah toko kaset kecil tidak jauh dari supermarket. Masuk. Seorang
pemuda dengan rambut dipotong rapi menyambutku. Aku membagi senyum.
Tempat
yang mudah untuk dikelilingi. Aku berhenti dihadapan jejeran album karya
seorang penyanyi british. Membuatku
terpesona pada cover kaset DVD. Namun, pesona itu benar-benar memudar ketika
tanpa sengaja kakiku tergelincir saat mengambil kaset DVD favoritku.
Oh tuhan,
Telah kau ciptakan keindahan tak
bernilai,
Pesona Cleopatra pada sepotong
lelaki,
Aku
terperanjat. Hatiku berdesir pelan.
Lelaki
dengan tatapan tajam dan senyum yang melengkung
ramah itu menyambutku. Dengan gesit, menahanku bagai ranting lemah tak berdaya
yang putus begitu saja dari dahan. Aku hanyut dalam pelukannya. Samudera luas
yang menjebak. Aku tenggelam.
Kami
berkenalan.
“Namaku
Topan!”
Lelaki
dengan jutaan badai cinta bersarang ditubuhnya. Aku ragu menyambut uluran
tangannya. Bukan takut pada lekuk tubuhnya yang membuatku tak mampu bernafas.
Tapi ragu jika saja aku menjabat uluran tangan itu maka aku akan semakin
tenggelam. Atau tersesat pada labirin ini.
Pertemuan
yang singkat namun berkesan. Kami bertukar nomor ponsel. Untuk bisa saling
telepon atau janjian untuk bertemu. Dua minggu setelahnya.
“Jadi
kamu tinggal tidak jauh dari sini?”
Jam
dua belas siang ketika Topan datang menjemputku. Mengajakku makan siang bersama
pada salah satu tempat makan terbaik di kota ini.
“Rumahku
hanya beberapa meter dari tempat ini. Kantorku yang letaknya cukup jauh. Aku harus
dua kali berpindah bus.”
“Bagaimana
kalau mulai besok kita barengan saja? Kebetulan tempat kerjaku searah dengan
tempat kerjamu.”
Tentu
aku menyetujuinya.
Aroma
maskulin dari Topan membuatku tak sanggup menolak tawaran itu. Dan mulai saat
itu, jarak diantara kami mulai mengecil. Kami sering tertawa bersama dalam
mobil. Tawa itu. Senyum itu. Pesona yang terpancar dari sorot mata itu.
Membuatku semakin tersesat. Hingga dengan berani, pada suatu hari Ia mengatakan
keinginan terbesarnya. Menikahiku.
Hari-hari
berlalu begitu cepat.
Kami
memilih satu rumah minimalis di tengah kota. Hanya kami berdua. Hanya aku dan
dia. Hanya seorang Rinai dan seorang Topan. Berdua saja menjelajahi cinta bagai
samudera yang tak memiliki ujungnya.
Setiap
malam aku berkelana. Berpetualang pada cinta yang menggelora. Membakar asmara. Seolah
peluh yang menetes pada dadanya yang bidang adalah manisan surgawi. Aku senang
mengarungi samudera ini. Meski aku tahu, aku hanya perahu kertas nan kecil di
tengah samudera luas. Aku menikmatinya.
“Aku
mencintaimu, Rinai.”Bisiknya. Membuat sekujur tubuhku menegang. Cinta ini
terlalu dalam. Cinta ini terlalu kuat.
“Aku
juga mencintaimu, Topan!”Bisikku dalam dinginnya malam.
Dua
ekor kucing yang sedang jatuh cinta diatas atap rumah tetangga mengeluh ketika
mendengar desah nafasku. Setiap kalimat yang keluar dari bibirku adalah cinta.
Kami
saling mencintai.
Aku
dan dia saling memiliki, setidaknya sampai beberapa bulan ke depan.
Sebab,
waktu terus berkelana tanpa arah. Membawaku semakin tersesat. Juga terperanjat
pada kenyataan. Topan mulai berbeda.
Ia semakin
rajin bekerja. Jauh lebih rajin dari hari-hari awal pernikahan kami. Tak ada
lagi perjalanan cinta setiap malam. Tidak ada lagi petualangan yang nikmat
tanpa ujung. Aku tak bisa lagi menjelejahi samudera itu. Tidak pernah lagi.
Bukan
dosa jika aku mulai merasa curiga. Aku berhak mengetahui kejadian sebenarnya.
Aku memutuskan mencarinya sampai ke kantor. Menjumpai setiap rekan kerjanya. Lalu,
bagai dihantam gelombang besar, tubuhku terhempas dalam kesedihan. Aku
melihatnya, berdiri di parkiran bersama seorang perempuan berambut coklat.
Tangisku
meledak. Membuat mereka terperanjat. Terkejut. Lalu Topan dengan tubuhnya yang
senantiasa membuatku mabuk, berlari mengejarku. Setiap jengkal langkahnya
adalah rindu yang kupendam.
Sekian
lama, setelah kejadian itu, rumah ini menjelma bagai neraka. Satu permintaan
maaf menjadi kesempatan baginya untuk tetap berulah. Beralasan lembur hanya
untuk bisa bersama perempuan itu. Membuat rumah ini dipenuhi air mata. Aku
kecewa. Pada lelakiku yang kini
menutup rapat tiap jengkal dalam
hatinya.
Mungkin
aku ialah perempuan paling baik di atas bumi yang keronta ini. Terus menyangkal
fakta. Sigap menyimpan keraguan. Rajin menanam harap kalau semua ini hanya
ilusi dan segera berakhir. Sebab aku masih menginginkannya disini. Disampingku.
membawaku kembali tenggelam.
“Siapa
perempuan itu? Aku kecewa denganmu Mas.”
“Dia
hanya rekan bisnisku. Tidak lebih.”
“Bohong.
Dia pasti selingkuhanmu.”Pecah. Tangisku kembali meledak.
“Apakah
kau sudah gila? Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“Yah.
Aku memang gila. Aku tergila-gila padamu. Aku gila karena aku mencintaimu.”
“Sayang?
Aku serius. Kamu harus percaya.”
Lalu
dia menarikku. Tenggelam dalam pelukan yang aku rindukan. Meski pada
kenyataanya pelukan itu tidak sehangat dulu. Aku tahu, aku bukanlah
satu-satunya. Aku hanyalah dermaga kecil, tempatnya bersandar hanya pada sebuah
waktu.
Aku
menyadari kalau petualangan ini tidak semenarik dulu. Kita memang sering berpetualang,
tapi aku tetap merasakan sendiri. Dia mengajakku mengarungi samudera cinta
meski pada kenyataannya tidak ada senandung di dalam dadanya. Dia sering menyimpanku
dalam pelukan yang bidang meski cinta tak lagi bisa aku rasakan di sana.
Manisan surgawi itu? menjelma bagai biji kopi yang dipetik dari hutan dalam
neraka. Berlumuran jutaan kebohongan.
Pahit!
“Berhenti
bersandiwara. Aku tahu semuanya!”
“LALU
KAMU MAU APA?”
“TINGGALKAN
PEREMPUAN GILA ITU!”Bentakku.
“KAU
YANG GILA!”Balasnya membentak.
Kemudian pergi tanpa
menoleh sedetikpun. Lalu tidak pernah kembali lagi. Membuatku menangis.
Menyadari sejuta dusta telah bersemayam dalam rumah ini. Membuatku tersadar
kalau hatimu tak jua bisa aku miliki sepenuh jiwa.
Aku
terperanjat. Nafasku memburu.
Dalam
malam aku tersadar oleh peluh dibagian dahi. Hatiku meringis ketika tahu tempat
ini tidak lagi sama. Aku benar-benar terjebak
sendiri. Dalam gelap dan sepi. Aku terbangun dari petualangan mimpi yang
mengerikan. Menyaksikan kilauan petir bermain-main diluar sana.Kenangan itu terus mengganggu.
Aku
ketakutan. Aku merindu. Aku tersakiti. Aku merindu. Seuntai dusta telah
menghancurkan istana kita. Aku tidak lagi
bisa memilikmu seutuhnya, Lelakiku.
* Prekuel dari Cerita Pendek "Purnama Berdarah!"
Diikut sertakan pada tantangan oleh @KampusFiksi