Kita bukan lagi sepasang kekasih!
Aku adalah apa yang dulu engkau harapkan. Irisan keju diatas
sepotong ubi jalar yang digoreng dengan api sedang. Aku adalah seikat bunga
mawar yang selalu ingin kau belai. Kau kecup setiap malam tidak peduli pada
kelopak yang mulai rapuh ditelan waktu.
Namamu tidak hanya terukir, namun tertanam begitu dalam di
rongga dada. Tidak ada kesempatan untuk mencabut namamu dari sana, sebab setiap
kali aku berusaha untuk mencabutnya, maka saat itu pula sekujur tubuhku
merasakan sakit yang amat dalam. Bagaikan paku berkarat yang dicabut dari
telapak kaki sang gajah.
Selama 363 hari, anak-anak tangga di
tempat ini menjadi saksi jejak langkah kita. Angin yang senantiasa merangkak,
lalu membisikan lagu-lagu cinta. Bahkan dua ekor kucing yang sering bermesraan
di atap rumah tetangga selalu cemburu mendengar desah nafasmu setiap malam hingga
beduk subuh di masjid menggema. Membangunkan setiap jiwa yang lelah, terlelap
dalam kenikmatan imajinasi.
Namun dunia bukan lagi milikku. Seperti
engkau, setumpuk mawar merah dengan pita kuning yang kini berada dalam
genggaman pria lain.
Semua seharusnya tidak dimulai
ketika aku - dengan cinta semu yang entah mengapa datang merasuki, menipuku
dengan sejuta kepalsuan - menghempaskanmu begitu saja. Meninggalkanmu berteman hujan
tangis.
Tidak pernah sedikitpun aku berbalik, lalu meraih tanganmu yang
biru keunguan, mencumbunya sambil minta maaf. Atau dengan sapu tangan turquoise menyeka titik air yang menguap
di pipimu yang bergaris-garis merah itu. Atau memeluk tubuhmu yang menggigil
dibalik daun jendela.
Aku malah menikmati kepalsuan imajinasi yang aku ciptakan
sendiri.
Dan kini aku menyadari satu hal.
Aku terbangun dalam heningnya malam. Kamar yang gelap ini
tanpa ada satu titik cahaya merasuk kedalamnya, sedang menggemakan desahanmu.
Memutar kembali setiap tawa candamu. Nikmat.
“Aku adalah wanita paling bahagia di atas bumi ini.”
“Kamu mau makan apa besok pagi? Ubi goreng dengan lelehan keju?”
“Sayang??? Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?”
Aku beranjak dengan langkah gontai. Bagai musafir kehausan di
tengah gurun pasir. Terik membakar relung hatiku. Tidak hanya perih, tapi
sakit.
Aku duduk di tepi ranjang tanpa sehelai benang melilit
bagian atas tubuhku. Biasanya, jika kau ada disini, kau akan memelukku dari
belakang. Bermain pada dadaku yang bidang ini. Mencubit pelan kotak-kotak
diperutku yang katamu mirip roti bantal di supermarket tempat kita bertemu
sekian tahun silam.
Tempat tidur ini masih sama, Rinai.
Namun kini aku merasa tempat ini lebih lega dari biasanya.
Aku bahkan bisa berguling kesana kemari, sendirian, tidak perlu takut untuk
terjatuh.
Dan tahukah kau Rinai? Lagu kita masih sering di putar di
radio. Lagu yang mengajak langkah kita masuk toko kaset depan supermarket itu.
Menghentikan kita tepat di jejeran kaset milik penyanyi jebolan ajang pencarian
bakat di tanah britania raya.
Ah, tapi sekarang lagu itu tidak lagi sama. Ada nada yang
hilang disana. Aku kehilangan not dalam
hidupku. Persis Do – Re – Mi – Fa tanpa Sol – La – Si – Do. Lagu ini tidak lagi
sama, sebab suaramu tidak pernah lagi mendengungkan sepotong lirik yang
menggairahkan itu di daun telingaku.
Rinai? Sebentar malam kau akan menikah. Dan aku, berusaha
ikhlas dengan keadaan ini.
“Sekarang Rinai akan menikah. Dia bertemu dengan laki-laki
itu di supermarket depan toko kaset.”Seorang teman berkata santai. Tidak peduli
pada jantungku yang mendesis kesal.
“Acaranya sebentar malam. Kita semua diundang. Kalian akan
datang kan?”
Aku memang lelaki bodoh yang tercipta dari kesucian cinta
namun tumbuh mekar dalam palsunya imajinasi. Malam ini, aku sengaja mengenakan
tuksedo yang engkau pilihkan tiga bulan setelah kita menikah. Aku ingin kau
tahu, sungguh, aku ingin kau mengingatnya bahwa tuksedo ini saksi cinta kita
saat malam mulai beranjak pergi.
Dan sekarang, kau berdiri tersenyum diantara ribuan tepuk
tangan. Bahagia dalam genggaman tangan seorang pria bermata kecoklatan. Kau
memeluk seikat mawar merah dengan pita kuning, kesukaanmu. Tersenyum.
Sementara aku? Keramaian ini hanya ilusi. Aku tidak berada
disini. Aku tersesat pada kebahagiaan yang tidak aku harapkan. Melihat
senyummu, matamu yang memuja lelakimu, aku rapuh. Sakit. Seandainya aku tahu
sejak dulu kalau yang engkau inginkan hanya sesederhana ini. Berdansa dengan
lelakimu, aku pasti melakukannya.
Tapi…
Ah…. Dirimu memang sedang berdansa.
Kadang diiringi nada canda khas itu.
Tapi dengan pria lain.
Harus aku akui, meskipun sakitnya bagai dihujam ribuan anak
panah yang baru menetas dari busurnya. Atau bagai semangka yang pasrah dibelah
samudera mengkilap yang selama ini bersembunyi dalam sarungnya. Aku akui
kesalahanku.
Semua telah terlambat. Semua tidak akan kembali semula.
Tidak mungkin kamu melangkah lagi ke supermarket itu. Lalu aku menunggumu di
antara rak kaset, tempat kita dijumpakan oleh takdir tuhan. Meski aku ingin semua
itu terjadi kembali hanya untuk agar aku bisa mengatakan satu hal,
“Aku minta maaf, perempuanku.”
Aku berharap, lelakimu itu membelikanmu bunga setiap waktu. Mawar
merah dengan pita kuning. Lalu mengengam erat tanganmu. Kuat namun tidak
menyakiti. Membelainya dengan hujan cinta.
Aku berharap dia bukan lelaki seperti aku. Aku berharap, dia
mencurahkan setiap detik yang tersisa hanya bersamamu. Bukan bersama imajinasi
semu. Bukan bersama cinta palsu. Lalu setiap waktu mengajakmu bermain di
lantai. Berdansa. Aku tahu itu, aku tahu kau senang berdansa. Aku tahu itu, aku
tahu kau ingin berdansa.
“Aku berharap satu hal. Aku ingin dia melakukan segala hal
yang seharusnya aku lakukan dahulu.”
Rinai, kau tidak perlu menatapku sendu seperti itu! Itu
hanya membuatku semakin tenggelam dalam samudera kebodohanku.
“I Hope He do all the things I should have done, when I was
your man!”[1]
Kau hanya tersenyum. menepuk pelan pipiku. Menahannya lama
disana. Mengijinkanku untuk menggenggamnya tapi tidak juga aku lakukan.
“Kau tidak usah khawatir. Laki-laki itu tidak sama denganmu.”
Lalu kau pergi. Begitu saja.
Sementara aku..?
Sudahlah. Kalian terlalu menikmati kerapuhanku.
Seperti menikmati purnama berdarah di langit malam ini.