Senin, 28 September 2015

Purnama Berdarah!


Kita bukan lagi sepasang kekasih!
Aku adalah apa yang dulu engkau harapkan. Irisan keju diatas sepotong ubi jalar yang digoreng dengan api sedang. Aku adalah seikat bunga mawar yang selalu ingin kau belai. Kau kecup setiap malam tidak peduli pada kelopak yang mulai rapuh ditelan waktu.
Namamu tidak hanya terukir, namun tertanam begitu dalam di rongga dada. Tidak ada kesempatan untuk mencabut namamu dari sana, sebab setiap kali aku berusaha untuk mencabutnya, maka saat itu pula sekujur tubuhku merasakan sakit yang amat dalam. Bagaikan paku berkarat yang dicabut dari telapak kaki sang gajah.
            Selama 363 hari, anak-anak tangga di tempat ini menjadi saksi jejak langkah kita. Angin yang senantiasa merangkak, lalu membisikan lagu-lagu cinta. Bahkan dua ekor kucing yang sering bermesraan di atap rumah tetangga selalu cemburu mendengar desah nafasmu setiap malam hingga beduk subuh di masjid menggema. Membangunkan setiap jiwa yang lelah, terlelap dalam kenikmatan imajinasi.
            Namun dunia bukan lagi milikku. Seperti engkau, setumpuk mawar merah dengan pita kuning yang kini berada dalam genggaman pria lain.

            Semua seharusnya tidak dimulai ketika aku - dengan cinta semu yang entah mengapa datang merasuki, menipuku dengan sejuta kepalsuan - menghempaskanmu begitu saja. Meninggalkanmu berteman hujan tangis.
Tidak pernah sedikitpun aku berbalik, lalu meraih tanganmu yang biru keunguan, mencumbunya sambil minta maaf. Atau dengan sapu tangan turquoise menyeka titik air yang menguap di pipimu yang bergaris-garis merah itu. Atau memeluk tubuhmu yang menggigil dibalik daun jendela.
Aku malah menikmati kepalsuan imajinasi yang aku ciptakan sendiri.
Dan kini aku menyadari satu hal.
Aku terbangun dalam heningnya malam. Kamar yang gelap ini tanpa ada satu titik cahaya merasuk kedalamnya, sedang menggemakan desahanmu. Memutar kembali setiap tawa candamu. Nikmat.
“Aku adalah wanita paling bahagia di atas bumi ini.”
“Kamu mau makan apa besok pagi? Ubi goreng dengan lelehan keju?”
“Sayang??? Kamu mau anak perempuan atau laki-laki?”
Aku beranjak dengan langkah gontai. Bagai musafir kehausan di tengah gurun pasir. Terik membakar relung hatiku. Tidak hanya perih, tapi sakit.
Aku duduk di tepi ranjang tanpa sehelai benang melilit bagian atas tubuhku. Biasanya, jika kau ada disini, kau akan memelukku dari belakang. Bermain pada dadaku yang bidang ini. Mencubit pelan kotak-kotak diperutku yang katamu mirip roti bantal di supermarket tempat kita bertemu sekian tahun silam.
Tempat tidur ini masih sama, Rinai.
Namun kini aku merasa tempat ini lebih lega dari biasanya. Aku bahkan bisa berguling kesana kemari, sendirian, tidak perlu takut untuk terjatuh.
Dan tahukah kau Rinai? Lagu kita masih sering di putar di radio. Lagu yang mengajak langkah kita masuk toko kaset depan supermarket itu. Menghentikan kita tepat di jejeran kaset milik penyanyi jebolan ajang pencarian bakat di tanah britania raya.
Ah, tapi sekarang lagu itu tidak lagi sama. Ada nada yang hilang disana. Aku kehilangan not dalam hidupku. Persis Do – Re – Mi – Fa tanpa Sol – La – Si – Do. Lagu ini tidak lagi sama, sebab suaramu tidak pernah lagi mendengungkan sepotong lirik yang menggairahkan itu di daun telingaku.

Rinai? Sebentar malam kau akan menikah. Dan aku, berusaha ikhlas dengan keadaan ini.
“Sekarang Rinai akan menikah. Dia bertemu dengan laki-laki itu di supermarket depan toko kaset.”Seorang teman berkata santai. Tidak peduli pada jantungku yang mendesis kesal.
“Acaranya sebentar malam. Kita semua diundang. Kalian akan datang kan?”
Aku memang lelaki bodoh yang tercipta dari kesucian cinta namun tumbuh mekar dalam palsunya imajinasi. Malam ini, aku sengaja mengenakan tuksedo yang engkau pilihkan tiga bulan setelah kita menikah. Aku ingin kau tahu, sungguh, aku ingin kau mengingatnya bahwa tuksedo ini saksi cinta kita saat malam mulai beranjak pergi.
Dan sekarang, kau berdiri tersenyum diantara ribuan tepuk tangan. Bahagia dalam genggaman tangan seorang pria bermata kecoklatan. Kau memeluk seikat mawar merah dengan pita kuning, kesukaanmu. Tersenyum.
Sementara aku? Keramaian ini hanya ilusi. Aku tidak berada disini. Aku tersesat pada kebahagiaan yang tidak aku harapkan. Melihat senyummu, matamu yang memuja lelakimu, aku rapuh. Sakit. Seandainya aku tahu sejak dulu kalau yang engkau inginkan hanya sesederhana ini. Berdansa dengan lelakimu, aku pasti melakukannya.
Tapi…
Ah…. Dirimu memang sedang berdansa.
Kadang diiringi nada canda khas itu.
Tapi dengan pria lain.

Harus aku akui, meskipun sakitnya bagai dihujam ribuan anak panah yang baru menetas dari busurnya. Atau bagai semangka yang pasrah dibelah samudera mengkilap yang selama ini bersembunyi dalam sarungnya. Aku akui kesalahanku.
Semua telah terlambat. Semua tidak akan kembali semula. Tidak mungkin kamu melangkah lagi ke supermarket itu. Lalu aku menunggumu di antara rak kaset, tempat kita dijumpakan oleh takdir tuhan. Meski aku ingin semua itu terjadi kembali hanya untuk agar aku bisa mengatakan satu hal,
“Aku minta maaf, perempuanku.”
Aku berharap, lelakimu itu membelikanmu bunga setiap waktu. Mawar merah dengan pita kuning. Lalu mengengam erat tanganmu. Kuat namun tidak menyakiti. Membelainya dengan hujan cinta.
Aku berharap dia bukan lelaki seperti aku. Aku berharap, dia mencurahkan setiap detik yang tersisa hanya bersamamu. Bukan bersama imajinasi semu. Bukan bersama cinta palsu. Lalu setiap waktu mengajakmu bermain di lantai. Berdansa. Aku tahu itu, aku tahu kau senang berdansa. Aku tahu itu, aku tahu kau ingin berdansa.
“Aku berharap satu hal. Aku ingin dia melakukan segala hal yang seharusnya aku lakukan dahulu.”
Rinai, kau tidak perlu menatapku sendu seperti itu! Itu hanya membuatku semakin tenggelam dalam samudera kebodohanku.
“I Hope He do all the things I should have done, when I was your man!”[1]
Kau hanya tersenyum. menepuk pelan pipiku. Menahannya lama disana. Mengijinkanku untuk menggenggamnya tapi tidak juga aku lakukan.
“Kau tidak usah khawatir. Laki-laki itu tidak sama denganmu.”
Lalu kau pergi. Begitu saja.
Sementara aku..?
Sudahlah. Kalian terlalu menikmati kerapuhanku.
Seperti menikmati purnama berdarah di langit malam ini.


[1] When I was Your Man by Bruno Mars