Kata
siapa duduk sendiri menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di pinggiran
pantai itu membosankan? Kalian salah jika menganggap demikian. Aku
sudah terbiasa dengan kesendirian sehingga untuk senja yang kesekian
kalinya ini aku sangat menikmatinya.
Diatas
pasir putih yang halus aku duduk bersila sambil sesekali memejamkan
mata. Merasakan ketenangan dan nyanyian merdu ombak-ombak yang
menyapu pinggiran pantai. Mataku dimanjakan dengan pemandangan
tarian-tarian kecil diujung sana. Ombak-ombak kecil yang menari
indah. Juga pemandangan bebukitan yang tampak seperti mengurung bibir
pantai ini.
Aku
membuka mata berniat untuk berdiri mengambil minuman yang aku letakan
di gazebo kecil tepat dibelakangku. Saat itulah aku terhenti.
Pandanganku bertumbuk pada seorang pemuda yang sedang duduk tepat di
bibir pantai. Membiarkan tubuhnya yang kekar disapu
gelombang-gelombang kecil. Rambutnya yang acak-acakan menambah kesan
maskulin pada dirinya.
Entah
apa yang aku rasakan, pastinya jantungku terasa berdegub sangat
kencang saat ia tersenyum padaku. Senyuman itu membuat tubuhku
meleleh dalam diam. Aku bahkan lupa kalau saat ini aku sedang berada
di pinggiran pantai. Tak mungkin ada warna warni indah seperti yang
aku jumpai di taman bunga beberapa hari lalu.
Ia
tersenyum lagi. Membuat jemariku terasa basah juga dingin.
Aku
ingin tersenyum tapi ragu. Ya, ragu apakah senyum itu untukku atau
untuk seseorang yang berdiri dibelakangku. Perempuan dengan rambut
hitam lebat yang beterbangan ditiup angin sore itu.
***
Pantai
yang indah dan menyimpan segala ragam ke-eksotisannya. Menyelam
dibawah dasar laut yang cantik, aku sempat bertegur sapa dengan
beberapa ikan kecil yang lucu. Sudah lama sekali rasanya aku tidak
menikmati kebebasan seperti ini. Aku memunculkan lagi kepalaku untuk
sekedar mengambil nafas panjang lalu menyelam lagi. Kali ini lebih
dalam. Aku berkelana didalam sana, mencari sesuatu yang bisa kubawa
pulang. Mungkin saja ada botol tua yang isinya jin? Bisa jadi kan?
Aku
berenang kesana kemari. Tak peduli pada senja yang mulai menguning di
bagian barat sana. Aku lebih suka menikmati sisa hari ini sebelum
malam benar-benar menjemputnya. Badanku mulai terasa lelah. Melawan
deburan ombak kecil ternyata dapat melelahkan juga. Apalagi kegiatan
itu terjadi berulang-ulang.
Aku
memutuskan untuk menyudahi petualangan singkatku hari ini. Mungkin,
pekan depan aku bisa kembali lagi ke tempat ini. Saat itulah, saat
aku istirahat sejenak di bibir pantai sambil mengurut kakiku yang
tidak sengaja menendang karang kecil didalam sana tadi, aku
melihatnya. Aku melihatnya sedang duduk sambil memejamkan mata.
Perempuan
yang manis. Ia tampak sedang menikmati hembusan angin yang membelai
rambut pendeknya. Wajahnya yang lucu dengan satu tahi lalat di dahi
sebelah kiri menambah kesan tersendiri saat aku menemukan wajahnya
diantara beberapa wajah diseberang sana.
Ia
memang manis. Apalagi saat Ia membuka mata dan tepat bertatapan
denganku. Ia tidak tersenyum. Aku mengulaskan senyuman untuknya
berharap Ia membalasnya. Tapi tidak, Ia tidak tersenyum. Yang aku
lihat tersenyum ialah seorang perempuan yang berdiri dibelakangnya.
Padahal aku sangat ingin melihat Ia tersenyum meski hanya sekilas.
***
Aku baru
saja tiba lima belas menit yang lalu. Lumayan kesal karena
teman-temanku tak ada satupun yang mau kuajak ke pantai. Mereka
sepertinya lebih menyukai nongkrong di kafe favorit daripada
berkeliaran di pantai seperti yang aku lakukan saat ini. Biarlah,
sendiripun aku bisa menjalaninya.
Aku
memarkirkan mobil dan langsung turun. Melangkah cepat ke pinggiran
pantai. Matahari hampir terbenam. Kecantikan yang ia tunjukan
memanglah tiada dua. Monalisa? Lukisan fenomenal itu kalah cantik
dari lukisan tak berkuas dari sang maha pencipta ini. Warnanya yang
mulai memecah dibagian barat sana menambah unsur eksotisme sore ini.
Dari
kejauhan aku melihat siluet menarik. Sambil memegang kamera, Ia sibuk
memotret kesana kemari. Tangannya lihai memainkan tombol shut
pada kamera yang ada dalam genggamannya. Ia tidak takut berdiri
diujung perahu hanya untuk mengambil gambar yang indah menurutnya.
Aku
tidak yakin apakah Ia seorang profesional photographer
atau hanya sekedar seorang amatiran. Bukan itu yang aku perhatikan.
Tubuhnya yang berisi, beberapa orang mungkin menyebutnya gendut tapi
bagiku dia lucu. Beberapa kali aku melihatnya tertawa bersama seorang
lainnya yang ada di perahu itu.
Senyumnya
lucu. Tawanya menggemaskan.
Aku
menebarkan senyuman kearahnya tepat saat kamera yang ditangannya
perlahan menyorot kearahku. Aku tersenyum tertahan sampai yakin Ia
berhenti memainkan jarinya. Tunggu dulu...
kamera
itu perlahan jatuh. Iya, moncong kamera itu perlahan berpindah
kebagian bawah. Tidak lagi lurus dengan wajahku. Mungkinkah Ia
mengambil kakiku atau seorang perempuan berambut pendek yang sedang
duduk dihadapanku? Oh entahlah. Aku kecewa...
***
Perahu
ini bergoncang pelan saat aku berpindah dari bagian tengah ke bagian
depan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Memotret
senja yang masih perawan ini. Sang mentari, sudah sangat dekat dengan
tempat istirahatnya. Ia terlihat seperti bercermin pada gelombang
kecil yang menari indah diatas permukaan laut.
Cukup
puas dengan hasil tangkapan gambar yang pertama. Aku memutar tubuhku
untuk mengambil gambar beberapa bukit hijau yang tampak melingkari
bibir pantai. Kolaborasi yang tepat antara hijaunya bebukitan dengan
langit yang perlahan menjingga.
Saat
itulah, secara tidak sengaja kameraku menemukan dirinya. Berjalan
pelan dari mobil dan berhenti tepat beberapa meter sebelum bibir
pantai. Ia berdiri anggun disana dengan rambut hitam yang Ia biarkan
terbang.
Hasratku
menyatu, tak mau menyia-nyiakan keindahan alam yang satu ini. Lesung
pipinya, berpadu dengan hidungnya yang mancung. Ditambah bibirnya
yang kecil mungil membuatnya terlihat sangat menawan. Jika boleh
jujur tuhan, lukisanmu yang ini sangatlah indah dibandingkan senja
yang baru saja aku abadikan dalam kamera ini.
Dengan
perasaan takut-takut aku mengarahkan kamera kearahnya. Ia masih
berdiri, tidak sadar kalau aku disini sudah mengambil gambar yang
cukup banyak dengan berbagai pose darinya. Namun, untuk beberapa saat
aku terhenti. Dari lensa kamera aku menemukannya sedang menghadap
kearahku. Aku jadi salah tingkah tertangkap basah seperti ini.
Aku
menurunkan pelan kameraku. Berpindah pada pasir-pasir yang bertumpuk,
bekas istana pasir yang hancur diterpa ombak kecil beberapa saat yang
lalu. Meski Ia tersenyum, aku tidak yakin senyuman itu untukku.
Sebab, didepanku, dipinggiran pantai yang mulai menggelap, seorang
pemuda dengan tubuh yang lebih kekar dariku sedang duduk. Posisinya
tepat membelakangiku dan mengarah ke perempuan berlesung pipi itu.
Mungkin
senyuman itu untuk lelaki didepanku ini. Jika engkau berada pada
posisi perempuan tadi, melihat dua orang lelaki berbeda. Satunya
berbadan gendut sedang diatas perahu, tampak seperti kucing yang
takut basah malah sibuk memainkan kameranya, sementara yang satunya
lagi sedang berada di bibir pantai. Duduk dengan posisi bak seorang
binaragawan, tubuhnya kekar, mengkilat diterpa sinar matahari. Siapa
yang akan kau berikan senyuman? Si gendut atau cowok bertubuh kekar
ini? Tidak usah beri jawaban. Aku sudah tahu...
***
Sudah
gelap. Saatnya aku pulang. Lelaki tadi juga sudah hilang dari
pandanganku. Terakhir kali aku melihatnya sedang berjalan ke kamar
ganti. Mungkin sudah pulang. Ah biarlah, aku juga tak pantas untuk
membayangkannya. Ia terlalu sempurna untuk gadis kutu buku sepertiku.
Tapi aku pastikan, dia akan kujadikan tokoh utama dalam cerpenku
nanti.
“Hai?
Kok tadi merem di pinggiran pantai?”
suara
itu cukup mengejutkan. Aku berbalik dan melihatnya. Iya, aku
melihatmu...
***
Aku
harus berani. Percuma bertubuh kekar tapi menghampiri gadis tadi saja
nyaliku ciut minta ampun. Tak peduli ia tidak membalas senyumanku.
Aku menunggunya diparkiran mobil. Aku sudah berganti pakaian. Tubuhku
sudah dilapisi kaos tipis berwarna abu-abu dan jeans pendek selutut.
Cukup lama aku menunggunya hingga akhirnya Ia berjalan pelan
kearahku. Tepatnya kearah parkiran.
“Hai.?
Kok tadi merem dipinggiran pantai?”
Ia
tampak terkejut. Alisnya kompak terangkat. Lalu Ia tersenyum. Yah,
akhirnya aku mendapatkan senyum itu. Manis. Ia tambah manis saat
tersenyum.
***
Aku
menemukannya saat kesusahan membuka pintu mobilnya. Ia berusaha keras
tapi percuma, mungkin kuncinya macet. Aku beranikan diri untuk
menghampirinya. Meski tadi, aku sempat minder saat Ia menemukanku
sedang memotretnya.
“Ada
yang bisa dibantu?”
dia
menoleh lalu tersenyum. Persis dengan senyuman yang Ia tunjukan tadi.
Hatiku menghangat. Oh, tuhan... aku belum pernah segugup ini kalau
bertemu dengan perempuan.
***
Gara-gara
terlalu memikiran si “gendut” tadi, aku bahkan tidak sadar kalau
kunci mobilku macet. Pintu jadi susah dibuka, sementara gelap tak
pernah menunggu. Aku panik, bisa-bisa aku menginap di pantai ini.
Saat
itulah, saat aku mulai pasrah, memilih mencari rumah warga untuk
menginap, aku melihatnya datang menawarkan bantuan. Dalam satu
gerakan, pintu mobil terbuka.
“Terima
kasih”
“Sama-sama.
Oh iya, aku minta maaf tadi nggak sengaja motret kamu”
“Nggak
apa-apa”
***
Senjapun
berakhir.
Entah
siapa yang menyukai, atau siapa yang disukai.
Entah
siapa yang penuh rasa kagum, atau siapa yang merasa dikagumi...
entahlah,
ini rahasia senja...
antara
aku, dia dan senja hari itu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar