Senin, 25 Agustus 2014

Aku, dia dan rahasia senja...



Kata siapa duduk sendiri menikmati hembusan angin sepoi-sepoi di pinggiran pantai itu membosankan? Kalian salah jika menganggap demikian. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian sehingga untuk senja yang kesekian kalinya ini aku sangat menikmatinya.
Diatas pasir putih yang halus aku duduk bersila sambil sesekali memejamkan mata. Merasakan ketenangan dan nyanyian merdu ombak-ombak yang menyapu pinggiran pantai. Mataku dimanjakan dengan pemandangan tarian-tarian kecil diujung sana. Ombak-ombak kecil yang menari indah. Juga pemandangan bebukitan yang tampak seperti mengurung bibir pantai ini.
Aku membuka mata berniat untuk berdiri mengambil minuman yang aku letakan di gazebo kecil tepat dibelakangku. Saat itulah aku terhenti. Pandanganku bertumbuk pada seorang pemuda yang sedang duduk tepat di bibir pantai. Membiarkan tubuhnya yang kekar disapu gelombang-gelombang kecil. Rambutnya yang acak-acakan menambah kesan maskulin pada dirinya.
Entah apa yang aku rasakan, pastinya jantungku terasa berdegub sangat kencang saat ia tersenyum padaku. Senyuman itu membuat tubuhku meleleh dalam diam. Aku bahkan lupa kalau saat ini aku sedang berada di pinggiran pantai. Tak mungkin ada warna warni indah seperti yang aku jumpai di taman bunga beberapa hari lalu.
Ia tersenyum lagi. Membuat jemariku terasa basah juga dingin.
Aku ingin tersenyum tapi ragu. Ya, ragu apakah senyum itu untukku atau untuk seseorang yang berdiri dibelakangku. Perempuan dengan rambut hitam lebat yang beterbangan ditiup angin sore itu.
***
Pantai yang indah dan menyimpan segala ragam ke-eksotisannya. Menyelam dibawah dasar laut yang cantik, aku sempat bertegur sapa dengan beberapa ikan kecil yang lucu. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menikmati kebebasan seperti ini. Aku memunculkan lagi kepalaku untuk sekedar mengambil nafas panjang lalu menyelam lagi. Kali ini lebih dalam. Aku berkelana didalam sana, mencari sesuatu yang bisa kubawa pulang. Mungkin saja ada botol tua yang isinya jin? Bisa jadi kan?
Aku berenang kesana kemari. Tak peduli pada senja yang mulai menguning di bagian barat sana. Aku lebih suka menikmati sisa hari ini sebelum malam benar-benar menjemputnya. Badanku mulai terasa lelah. Melawan deburan ombak kecil ternyata dapat melelahkan juga. Apalagi kegiatan itu terjadi berulang-ulang.
Aku memutuskan untuk menyudahi petualangan singkatku hari ini. Mungkin, pekan depan aku bisa kembali lagi ke tempat ini. Saat itulah, saat aku istirahat sejenak di bibir pantai sambil mengurut kakiku yang tidak sengaja menendang karang kecil didalam sana tadi, aku melihatnya. Aku melihatnya sedang duduk sambil memejamkan mata.
Perempuan yang manis. Ia tampak sedang menikmati hembusan angin yang membelai rambut pendeknya. Wajahnya yang lucu dengan satu tahi lalat di dahi sebelah kiri menambah kesan tersendiri saat aku menemukan wajahnya diantara beberapa wajah diseberang sana.
Ia memang manis. Apalagi saat Ia membuka mata dan tepat bertatapan denganku. Ia tidak tersenyum. Aku mengulaskan senyuman untuknya berharap Ia membalasnya. Tapi tidak, Ia tidak tersenyum. Yang aku lihat tersenyum ialah seorang perempuan yang berdiri dibelakangnya. Padahal aku sangat ingin melihat Ia tersenyum meski hanya sekilas.
***
Aku baru saja tiba lima belas menit yang lalu. Lumayan kesal karena teman-temanku tak ada satupun yang mau kuajak ke pantai. Mereka sepertinya lebih menyukai nongkrong di kafe favorit daripada berkeliaran di pantai seperti yang aku lakukan saat ini. Biarlah, sendiripun aku bisa menjalaninya.
Aku memarkirkan mobil dan langsung turun. Melangkah cepat ke pinggiran pantai. Matahari hampir terbenam. Kecantikan yang ia tunjukan memanglah tiada dua. Monalisa? Lukisan fenomenal itu kalah cantik dari lukisan tak berkuas dari sang maha pencipta ini. Warnanya yang mulai memecah dibagian barat sana menambah unsur eksotisme sore ini.
Dari kejauhan aku melihat siluet menarik. Sambil memegang kamera, Ia sibuk memotret kesana kemari. Tangannya lihai memainkan tombol shut pada kamera yang ada dalam genggamannya. Ia tidak takut berdiri diujung perahu hanya untuk mengambil gambar yang indah menurutnya.
Aku tidak yakin apakah Ia seorang profesional photographer atau hanya sekedar seorang amatiran. Bukan itu yang aku perhatikan. Tubuhnya yang berisi, beberapa orang mungkin menyebutnya gendut tapi bagiku dia lucu. Beberapa kali aku melihatnya tertawa bersama seorang lainnya yang ada di perahu itu.
Senyumnya lucu. Tawanya menggemaskan.
Aku menebarkan senyuman kearahnya tepat saat kamera yang ditangannya perlahan menyorot kearahku. Aku tersenyum tertahan sampai yakin Ia berhenti memainkan jarinya. Tunggu dulu...
kamera itu perlahan jatuh. Iya, moncong kamera itu perlahan berpindah kebagian bawah. Tidak lagi lurus dengan wajahku. Mungkinkah Ia mengambil kakiku atau seorang perempuan berambut pendek yang sedang duduk dihadapanku? Oh entahlah. Aku kecewa...
***
Perahu ini bergoncang pelan saat aku berpindah dari bagian tengah ke bagian depan. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Memotret senja yang masih perawan ini. Sang mentari, sudah sangat dekat dengan tempat istirahatnya. Ia terlihat seperti bercermin pada gelombang kecil yang menari indah diatas permukaan laut.
Cukup puas dengan hasil tangkapan gambar yang pertama. Aku memutar tubuhku untuk mengambil gambar beberapa bukit hijau yang tampak melingkari bibir pantai. Kolaborasi yang tepat antara hijaunya bebukitan dengan langit yang perlahan menjingga.
Saat itulah, secara tidak sengaja kameraku menemukan dirinya. Berjalan pelan dari mobil dan berhenti tepat beberapa meter sebelum bibir pantai. Ia berdiri anggun disana dengan rambut hitam yang Ia biarkan terbang.
Hasratku menyatu, tak mau menyia-nyiakan keindahan alam yang satu ini. Lesung pipinya, berpadu dengan hidungnya yang mancung. Ditambah bibirnya yang kecil mungil membuatnya terlihat sangat menawan. Jika boleh jujur tuhan, lukisanmu yang ini sangatlah indah dibandingkan senja yang baru saja aku abadikan dalam kamera ini.
Dengan perasaan takut-takut aku mengarahkan kamera kearahnya. Ia masih berdiri, tidak sadar kalau aku disini sudah mengambil gambar yang cukup banyak dengan berbagai pose darinya. Namun, untuk beberapa saat aku terhenti. Dari lensa kamera aku menemukannya sedang menghadap kearahku. Aku jadi salah tingkah tertangkap basah seperti ini.
Aku menurunkan pelan kameraku. Berpindah pada pasir-pasir yang bertumpuk, bekas istana pasir yang hancur diterpa ombak kecil beberapa saat yang lalu. Meski Ia tersenyum, aku tidak yakin senyuman itu untukku. Sebab, didepanku, dipinggiran pantai yang mulai menggelap, seorang pemuda dengan tubuh yang lebih kekar dariku sedang duduk. Posisinya tepat membelakangiku dan mengarah ke perempuan berlesung pipi itu.
Mungkin senyuman itu untuk lelaki didepanku ini. Jika engkau berada pada posisi perempuan tadi, melihat dua orang lelaki berbeda. Satunya berbadan gendut sedang diatas perahu, tampak seperti kucing yang takut basah malah sibuk memainkan kameranya, sementara yang satunya lagi sedang berada di bibir pantai. Duduk dengan posisi bak seorang binaragawan, tubuhnya kekar, mengkilat diterpa sinar matahari. Siapa yang akan kau berikan senyuman? Si gendut atau cowok bertubuh kekar ini? Tidak usah beri jawaban. Aku sudah tahu...
***
Sudah gelap. Saatnya aku pulang. Lelaki tadi juga sudah hilang dari pandanganku. Terakhir kali aku melihatnya sedang berjalan ke kamar ganti. Mungkin sudah pulang. Ah biarlah, aku juga tak pantas untuk membayangkannya. Ia terlalu sempurna untuk gadis kutu buku sepertiku. Tapi aku pastikan, dia akan kujadikan tokoh utama dalam cerpenku nanti.
“Hai? Kok tadi merem di pinggiran pantai?”
suara itu cukup mengejutkan. Aku berbalik dan melihatnya. Iya, aku melihatmu...
***
Aku harus berani. Percuma bertubuh kekar tapi menghampiri gadis tadi saja nyaliku ciut minta ampun. Tak peduli ia tidak membalas senyumanku. Aku menunggunya diparkiran mobil. Aku sudah berganti pakaian. Tubuhku sudah dilapisi kaos tipis berwarna abu-abu dan jeans pendek selutut. Cukup lama aku menunggunya hingga akhirnya Ia berjalan pelan kearahku. Tepatnya kearah parkiran.
“Hai.? Kok tadi merem dipinggiran pantai?”
Ia tampak terkejut. Alisnya kompak terangkat. Lalu Ia tersenyum. Yah, akhirnya aku mendapatkan senyum itu. Manis. Ia tambah manis saat tersenyum.
***
Aku menemukannya saat kesusahan membuka pintu mobilnya. Ia berusaha keras tapi percuma, mungkin kuncinya macet. Aku beranikan diri untuk menghampirinya. Meski tadi, aku sempat minder saat Ia menemukanku sedang memotretnya.
“Ada yang bisa dibantu?”
dia menoleh lalu tersenyum. Persis dengan senyuman yang Ia tunjukan tadi. Hatiku menghangat. Oh, tuhan... aku belum pernah segugup ini kalau bertemu dengan perempuan.
***
Gara-gara terlalu memikiran si “gendut” tadi, aku bahkan tidak sadar kalau kunci mobilku macet. Pintu jadi susah dibuka, sementara gelap tak pernah menunggu. Aku panik, bisa-bisa aku menginap di pantai ini.
Saat itulah, saat aku mulai pasrah, memilih mencari rumah warga untuk menginap, aku melihatnya datang menawarkan bantuan. Dalam satu gerakan, pintu mobil terbuka.
“Terima kasih”
“Sama-sama. Oh iya, aku minta maaf tadi nggak sengaja motret kamu”
“Nggak apa-apa”
***
Senjapun berakhir.
Entah siapa yang menyukai, atau siapa yang disukai.
Entah siapa yang penuh rasa kagum, atau siapa yang merasa dikagumi...
entahlah, ini rahasia senja...

antara aku, dia dan senja hari itu....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar