Minggu, 04 Januari 2015

Menyukai sahabat sendiri itu salah besar (untukku). Tapi untuk mereka, semua boleh-boleh saja…

Aku harus mengatakannya malam ini juga. Aku tidak mau terus-terusan disiksa oleh perasaan ini. Mungkin, setelah aku katakan nanti, entah jawabannya aku tidak tahu, semuanya akan baik-baik saja. Aku bersiap dengan segala konsekwensi nanti yang akan aku terima, termasuk jika aku harus kehilangan sahabat-sahabatku dalam waktu dekat.
                Perjumpaan malam ini kurang satu personil. Itu memang sesuai rencana awal bahwa Hamzah tidak perlu ada saat ini. Bukan hanya saat ini, bahkan Hamzah tidak perlu tahu apa yang akan kubicarakan denganmu dan Tyara.
                Seperti biasa. Di kafe biasa. Serta penampilan biasa. Kamu datang dengan jeans biru yang warnanya agak memudar, terdapat sobekan kecil dibagian lutut. Aku ingat betul jeans itu yang pernah kau pakai kuliah dulu dan sempat dapat teguran dari dosen waktu itu. Sementara Tyara, dia hanya menggunakan kaos putih polos, dilapisi blazer abu-abu dan jeans ¾.
                “kok tumben bertiga saja?”tanyamu membuka percakapan diantara kita. Caramu cukup tepat sebab hampir lima belas menit kita disini, menanti pesanan tanpa ada satu patah katapun yang meluncur dari bibirku.
                “Hmm. Hamzah tidak boleh tahu apa yang akan aku ceritakan sekarang.”
                “Memangnya kenapa?”Tyara mengangkat alisnya. Menatapku penuh heran.
                Aku yang jadi focus mereka berdua hanya bisa terdiam. Memandangi alas meja berwarna coklat muda dengan aksen garis-garis hitam sambil terus mengendalikan ledakan-ledakan di dalam dada. Aku gemetaran. Aku belum berani mengangkat wajahku.
                “Hei. Indra? Kamu tidak apa-apa kan?”
                Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum tapi mungkin bagimu dan Tyara malah terlihat seperti seseorang yang sedang menahan sakit perut.
                “apa yang ingin kamu bicarakan? Jangan buat aku bosan ya?”Tyara menyandarkan punggungnya. Sementara kamu? Menopang dagu sambil menatapku serius.
                “ini tentang aku.”
                Jeda beberapa detik terjadi diantara kita bertiga. Sepi. Suasana hening pecah ketika pelayan datang mengantarkan pesanan untuk kita. Dua gelas capucino hangat, satu vanilla milkshake, sepiring pisang tumbuk.
                “Ada apa denganmu?”
                “ini tentang perasaanku.”
                “apa yang terjadi dengan perasaanmu? Galau?”Timpalmu begitu saja sambil memasukan potongan pertama pisang tumbuk ke dalam mulutmu.
                “ahahahahah. Akhirnya seorang Indra merasakan galau juga.”Tyara menambahnya dengan tawa khasnya.
                “ini serius. Aku tidak bercanda.”
                “Okey. Okey, silahkan cerita.”
                Aku menghela nafas panjang. Menelan dalam-dalam rasa perih yang semakin menyiksa.
                “Menurut kalian, salahkah aku menyukai sahabatku sendiri?”
                “SALAH. Salah besar!”
                Aku tersentak kaget. Itu? Kamu yang barusan berkata seperti itu. Aku bagai kehilangan arah. Blank. Aku lupa apa yang harus aku katakan setelah kamu mengatakan bahwa menyukai sahabat sendiri itu salah besar. Aku menghela nafas panjang. Kali ini cukup panjang dan membuatku terdiam beberapa detik.
                “Salah?”suaraku bertanya ragu-ragu. Sangat pelan.
                Tyara hanya diam mematung memandangi gelagatku yang mulai berubah. Wajahku mulai pucat. Keringat dingin perlahan turun membasahi dahiku. Aku kedingingan dalam ruangan yang rasa-rasanya aku ingin buka baju karena gerah.
                “Iya. Itu jelas SALAH besar!”
                “Its okay. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan tanggapan orang lain atas perasaanku ini. jujur, Semakin lama aku memendamnya maka semakin lama pula aku tersiksa seperti ini. Seperti orang gila.”Kalimatku mengucur deras. Mantap. Tegas tapi penuh getaran.
                Aku menatap matamu. Kau diam. Tyara juga diam. Kalian seperti menunggu kelanjutan kalimatku yang mengambang tidak jelas.
                Mataku kesana kemari. Telapak tanganku mulai berkeringat. Dingin.
                Dan kamu..?
                Masih diam menungguku.
                “Aku tidak tahu sejak kapan aku bisa merasakan hal ini. Aku bahkan belum yakin apa yang aku rasakan ini ialah wujud rasa suka atau apalah itu namanya. Aku hanya tidak ingin menyembunyikannya terlalu lama. Kalau aku…”
                Hening seketika.
                Sayup-sayup terdengar nyanyian seorang lelaki berkaos hitam dari balik kaca tebal didekat kami. Kami memang memilih tempat yang lumayan tersembunyi dalam kafe ini. berbatasan tepat dengan kaca tebal yang membatasi ruang penyanyi kafe dengan ruang pengunjung.
                Satu kata yang sulit terucap
Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku jelaskanlah
Perasaanku berubah jadi cinta
Tak bisa hatiku merapikan cinta
Karena cinta tersirat bukan tersurat
Meski bibirku terus berkata tidak
Mataku terus pancarkan sinarnya
                Laki-laki itu seolah tahu suasana hatiku sekarang. Pilihan lagu yang pas dengan keadaan malam ini. aku masih terdiam, mencoba meresapi tiap bait yang keluar dari mulut penyanyi itu bersamaan dengan petikan gitar dipangkuannya.
                “kalau kamu kenapa?”Tyara ingat kalimatku barusan menggantung begitu saja.
                “Aku… aku…”ragu-ragu aku mengatakannya. “aku suka padamu, Tere.”
                Woah…!!!!
                Aku seperti meleleh. Perasaanku lega. Tubuhku seolah ambruk menimpa tanah. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak pernah. Aku mengatakan rasa suka langsung berhadapan dengan orangnya? Ini sejarah baru dalam kehidupanku.
                Tanganku semakin berkeringat. Kali ini aku tidak berani memandangi wajah dua perempuan dihadapanku. Tiba-tiba saja…
                Terdengar suara kursi yang ditarik secara kasar lalu langkah cepat oleh beberapa orang. Aku memberanikan diri mengangkat kepala dan mendapati dua orang itu tidak lagi berada dihadapanku. Mereka pergi. Sebenarnya mereka tidak pergi berdua, Tere yang pergi tapi Tyara berusaha mengejarnya.
                Disaat seperti itu tiba-tiba satu panggilan masuk di ponselku. Hamzah? Oh tidak!
                Aku mengacuhkan panggilan masuk darinya. Aku berlari keluar, mengejar Tere dan Tyara. Mereka masih di parkiran mobil.
                “Tunggu. Aku bisa jelasin semua.”
                Mereka seolah tidak peduli dengan kehadiranku. Tere berlari ke jalan. Menghentikan taksi dan langsung lenyap.
                Aku masih berusaha mengejar taksi itu. Mengetuk-ngetuk pelan kaca mobil yang berjalan pelan.
                “Indra. Berhenti...”Tyara menahan lenganku. Aku terdiam, menyaksikan mobil yang ditumpangi Tere perlahan menjauh dan hilang.
                BODOH. TOLOL!!!!
                Seharusnya aku tidak mengatakannya malam ini. Aku memaki kebodohanku barusan.
                Tyara berdiri disampingku. Aku tahu saat ini Ia sedang mengamatiku. Memandangi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
                “Kamu serius? Apa yang kamu bicarakan tadi?”
                Aku kehilangan semangat malam ini. Dengan langkah gontai dan sedikit diseret, aku melangkah kembali ke kafe. Aku sadar, kejadian barusan mengundang perhatian pengunjung lainnya. Aku tidak peduli.
                “Apa aku salah Ra?”Aku memandangi Tyara. Lesu.
                “Tidak ada yang salah dengan rasamu. Tapi waktu dan saatnya yang tidak tepat.”
                “Kenapa?”
                “Aku minta maaf jika selama ini telah menyembunyikan satu hal darimu. Tere dan Hamzah, sekarang mereka lagi proses Pedekate.”
                Nafasku tertahan sejenak. Apa yang barusan kudengar? Tidak bisa dipercaya. Bukankah Tere tidak punya perasaan apa-apa pada Hamzah? Aku dengannya baru saja membahas hal itu dua minggu yang lalu. Tidak mungkin sebuah rasa tumbuh secepat itu.
                “Kamu marah?”Tyara bertanya.
                “Tidak. Untuk apa aku marah? Bukankah dari awal kita sudah berencana untuk menjodohkan mereka berdua?”
                “Tapi… sekarang beda. Kamu juga suka padanya.”
                “Jangan memikirkan aku. Aku bisa baik-baik saja. Aku yakin, mungkin besok atau lusa semuanya akan kembali semula. Aku akan menghilangkan rasa yang salah ini.”
                Tyara tidak lagi menyahut. Semuanya sudah terjadi, untuk apa mengutuk kejadian barusan? Tidak ada gunanya. Aku diam. Vanilla milkshake didepanku sudah tidak menggoda lagi seperti seharusnya. Aku memang salah. Bodoh. Menaruh rasa suka pada teman sendiri? Itu salah besar. Rasa suka yang sejatinya tumbuh tanpa perlu diminta ini telah membuatku lupa diri. Aku dan dia berteman.  Aku tak boleh jatuh cinta pada temanku sendiri, kecuali… kecuali mereka. Hanya mereka yang boleh jatuh cinta pada teman mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar