Aku
harus mengatakannya malam ini juga. Aku tidak mau terus-terusan disiksa oleh
perasaan ini. Mungkin, setelah aku katakan nanti, entah jawabannya aku tidak
tahu, semuanya akan baik-baik saja. Aku bersiap dengan segala konsekwensi nanti
yang akan aku terima, termasuk jika aku harus kehilangan sahabat-sahabatku
dalam waktu dekat.
Perjumpaan malam ini kurang satu
personil. Itu memang sesuai rencana awal bahwa Hamzah tidak perlu ada saat ini.
Bukan hanya saat ini, bahkan Hamzah tidak perlu tahu apa yang akan kubicarakan
denganmu dan Tyara.
Seperti biasa. Di kafe biasa. Serta
penampilan biasa. Kamu datang dengan jeans biru yang warnanya agak memudar,
terdapat sobekan kecil dibagian lutut. Aku ingat betul jeans itu yang pernah
kau pakai kuliah dulu dan sempat dapat teguran dari dosen waktu itu. Sementara Tyara,
dia hanya menggunakan kaos putih polos, dilapisi blazer abu-abu dan jeans ¾.
“kok tumben bertiga saja?”tanyamu
membuka percakapan diantara kita. Caramu cukup tepat sebab hampir lima belas
menit kita disini, menanti pesanan tanpa ada satu patah katapun yang meluncur dari
bibirku.
“Hmm. Hamzah tidak boleh tahu
apa yang akan aku ceritakan sekarang.”
“Memangnya kenapa?”Tyara
mengangkat alisnya. Menatapku penuh heran.
Aku yang jadi focus mereka
berdua hanya bisa terdiam. Memandangi alas meja berwarna coklat muda dengan
aksen garis-garis hitam sambil terus mengendalikan ledakan-ledakan di dalam
dada. Aku gemetaran. Aku belum berani mengangkat wajahku.
“Hei. Indra? Kamu tidak apa-apa
kan?”
Aku menggeleng pelan, mencoba
tersenyum tapi mungkin bagimu dan Tyara malah terlihat seperti seseorang yang
sedang menahan sakit perut.
“apa yang ingin kamu bicarakan? Jangan
buat aku bosan ya?”Tyara menyandarkan punggungnya. Sementara kamu? Menopang dagu
sambil menatapku serius.
“ini tentang aku.”
Jeda beberapa detik terjadi
diantara kita bertiga. Sepi. Suasana hening pecah ketika pelayan datang
mengantarkan pesanan untuk kita. Dua gelas capucino hangat, satu vanilla milkshake,
sepiring pisang tumbuk.
“Ada apa denganmu?”
“ini tentang perasaanku.”
“apa yang terjadi dengan
perasaanmu? Galau?”Timpalmu begitu saja sambil memasukan potongan pertama
pisang tumbuk ke dalam mulutmu.
“ahahahahah. Akhirnya seorang
Indra merasakan galau juga.”Tyara menambahnya dengan tawa khasnya.
“ini serius. Aku tidak bercanda.”
“Okey. Okey, silahkan cerita.”
Aku menghela nafas panjang. Menelan
dalam-dalam rasa perih yang semakin menyiksa.
“Menurut kalian, salahkah aku
menyukai sahabatku sendiri?”
“SALAH. Salah besar!”
Aku tersentak kaget. Itu? Kamu yang
barusan berkata seperti itu. Aku bagai kehilangan arah. Blank. Aku lupa apa yang harus aku katakan setelah kamu mengatakan
bahwa menyukai sahabat sendiri itu salah besar. Aku menghela nafas panjang.
Kali ini cukup panjang dan membuatku terdiam beberapa detik.
“Salah?”suaraku bertanya
ragu-ragu. Sangat pelan.
Tyara hanya diam mematung
memandangi gelagatku yang mulai berubah. Wajahku mulai pucat. Keringat dingin
perlahan turun membasahi dahiku. Aku kedingingan dalam ruangan yang
rasa-rasanya aku ingin buka baju karena gerah.
“Iya. Itu jelas SALAH besar!”
“Its okay. Aku sebenarnya tidak
terlalu peduli dengan tanggapan orang lain atas perasaanku ini. jujur, Semakin
lama aku memendamnya maka semakin lama pula aku tersiksa seperti ini. Seperti
orang gila.”Kalimatku mengucur deras. Mantap. Tegas tapi penuh getaran.
Aku menatap matamu. Kau diam.
Tyara juga diam. Kalian seperti menunggu kelanjutan kalimatku yang mengambang
tidak jelas.
Mataku kesana kemari. Telapak tanganku
mulai berkeringat. Dingin.
Dan kamu..?
Masih diam menungguku.
“Aku tidak tahu sejak kapan aku
bisa merasakan hal ini. Aku bahkan belum yakin apa yang aku rasakan ini ialah
wujud rasa suka atau apalah itu namanya. Aku hanya tidak ingin
menyembunyikannya terlalu lama. Kalau aku…”
Hening seketika.
Sayup-sayup terdengar nyanyian
seorang lelaki berkaos hitam dari balik kaca tebal didekat kami. Kami memang
memilih tempat yang lumayan tersembunyi dalam kafe ini. berbatasan tepat dengan
kaca tebal yang membatasi ruang penyanyi kafe dengan ruang pengunjung.
Satu kata yang sulit terucap
Hingga
batinku tersiksa
Tuhan
tolong aku jelaskanlah
Perasaanku
berubah jadi cinta
Tak
bisa hatiku merapikan cinta
Karena
cinta tersirat bukan tersurat
Meski
bibirku terus berkata tidak
Mataku
terus pancarkan sinarnya
Laki-laki itu seolah tahu
suasana hatiku sekarang. Pilihan lagu yang pas dengan keadaan malam ini. aku
masih terdiam, mencoba meresapi tiap bait yang keluar dari mulut penyanyi itu
bersamaan dengan petikan gitar dipangkuannya.
“kalau kamu kenapa?”Tyara ingat kalimatku
barusan menggantung begitu saja.
“Aku… aku…”ragu-ragu aku mengatakannya.
“aku suka padamu, Tere.”
Woah…!!!!
Aku seperti meleleh. Perasaanku lega.
Tubuhku seolah ambruk menimpa tanah. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak
pernah. Aku mengatakan rasa suka langsung berhadapan dengan orangnya? Ini sejarah
baru dalam kehidupanku.
Tanganku semakin berkeringat. Kali
ini aku tidak berani memandangi wajah dua perempuan dihadapanku. Tiba-tiba saja…
Terdengar suara kursi yang
ditarik secara kasar lalu langkah cepat oleh beberapa orang. Aku memberanikan diri
mengangkat kepala dan mendapati dua orang itu tidak lagi berada dihadapanku. Mereka
pergi. Sebenarnya mereka tidak pergi berdua, Tere yang pergi tapi Tyara berusaha
mengejarnya.
Disaat seperti itu tiba-tiba
satu panggilan masuk di ponselku. Hamzah? Oh tidak!
Aku mengacuhkan panggilan masuk
darinya. Aku berlari keluar, mengejar Tere dan Tyara. Mereka masih di parkiran
mobil.
“Tunggu. Aku bisa jelasin semua.”
Mereka seolah tidak peduli dengan
kehadiranku. Tere berlari ke jalan. Menghentikan taksi dan langsung lenyap.
Aku masih berusaha mengejar
taksi itu. Mengetuk-ngetuk pelan kaca mobil yang berjalan pelan.
“Indra. Berhenti...”Tyara
menahan lenganku. Aku terdiam, menyaksikan mobil yang ditumpangi Tere perlahan
menjauh dan hilang.
BODOH. TOLOL!!!!
Seharusnya aku tidak
mengatakannya malam ini. Aku memaki kebodohanku barusan.
Tyara berdiri disampingku. Aku tahu
saat ini Ia sedang mengamatiku. Memandangi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Kamu serius? Apa yang kamu
bicarakan tadi?”
Aku kehilangan semangat malam
ini. Dengan langkah gontai dan sedikit diseret, aku melangkah kembali ke kafe. Aku
sadar, kejadian barusan mengundang perhatian pengunjung lainnya. Aku tidak
peduli.
“Apa aku salah Ra?”Aku
memandangi Tyara. Lesu.
“Tidak ada yang salah dengan
rasamu. Tapi waktu dan saatnya yang tidak tepat.”
“Kenapa?”
“Aku minta maaf jika selama ini
telah menyembunyikan satu hal darimu. Tere dan Hamzah, sekarang mereka lagi
proses Pedekate.”
Nafasku tertahan sejenak. Apa yang
barusan kudengar? Tidak bisa dipercaya. Bukankah Tere tidak punya perasaan
apa-apa pada Hamzah? Aku dengannya baru saja membahas hal itu dua minggu yang
lalu. Tidak mungkin sebuah rasa tumbuh secepat itu.
“Kamu marah?”Tyara bertanya.
“Tidak. Untuk apa aku marah? Bukankah
dari awal kita sudah berencana untuk menjodohkan mereka berdua?”
“Tapi… sekarang beda. Kamu juga
suka padanya.”
“Jangan memikirkan aku. Aku bisa
baik-baik saja. Aku yakin, mungkin besok atau lusa semuanya akan kembali
semula. Aku akan menghilangkan rasa yang salah ini.”
Tyara tidak lagi menyahut. Semuanya sudah terjadi,
untuk apa mengutuk kejadian barusan? Tidak ada gunanya. Aku diam. Vanilla milkshake
didepanku sudah tidak menggoda lagi seperti seharusnya. Aku memang salah. Bodoh.
Menaruh rasa suka pada teman sendiri? Itu salah besar. Rasa suka yang sejatinya
tumbuh tanpa perlu diminta ini telah membuatku lupa diri. Aku dan dia
berteman. Aku tak boleh jatuh cinta pada
temanku sendiri, kecuali… kecuali mereka. Hanya mereka yang boleh jatuh cinta
pada teman mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar