Kau bukan lelaki!
Kau rapuh tak berdaya.
Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa
melihatmu tersenyum kembali?
()()*()()
Kau
bukan lelaki.
Lihat
dirimu sekarang. Sama sekali tak terurus.
Berapa
hari sudah kau seperti ini? oh iya aku ingat. Kata adikmu tadi, dua minggu
sudah kau tampak seperti ini. Wajah kusam tak terawat. Sorot matamu kosong
tanpa makna sama sekali. Mana senyum ceria yang selalu kau tunjukan padaku via skype itu? mana suara merdumu yang suka
menyapaku sebelum tidur?
“Fandi.”Aku
melangkah mendekatimu.
Tempat
ini terlalu ramai untuk kita bicara berdua. Bahkan dentang musik dan alunan
bass dalam gedung ini cukup membuat jantungku hampir copot.
Kamu
diam tak menjawab. Bukan hanya tidak menjawab bahkan kamu tidak menunjukan
respon apapun. Tidak biasanya. Lalu dimana pelukan hangat yang selalu kau
berikan padaku ketika kita berjumpa?
Apa
karena perempuan itu?
Aku
memutuskan untuk menyeretmu secara terpaksa, mencari sudut yang lebih sepi dan
lumayan nyaman untuk kita bisa bicara berdua. Aku kenal siapa kau sebenarnya.
Kita sudah terlalu lama berteman. Kita sudah lebih dari sahabat, lebih dari
sekedar saudara, aku merasakan itu. Aku menginginkannya.
Kau
berjalan terpaksa dengan gelas dan botol bir kokoh ditanganmu. Kau menjatuhkan
tubuhmu begitu saja. Sementara aku? Aku tak bisa berbuat apa selain meneteskan
air mataku. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarku. Lebih-lebih
aku datang dengan sebuah koper kecil.
“Aku
baru tiba dari Brisbane.”ucapku pelan. Suaraku terdengar jelas olehmu, aku
yakin. Tempat ini cukup nyaman untuk kita berdua. Gema musik tidak terlalu
terdengar disini, setidaknya suaranya lebih kecil dari tempat dimana aku
melihatmu terduduk lesu. Tak berdaya.
“Fandi?”
“Fandi
dengarkan aku. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padamu, aku tidak akan
peduli dengan masalahmu. Aku datang ke sini atas permintaan adikmu, dia tidak
sanggup mengadapimu akhir-akhir ini.”
“Adikku
tidak ada disini. Dia dirumah, lebih baik kau ke rumah saja.”
“Aku
pulang untuk bertemu denganmu, bukan adikmu.”suaraku lantang bergetar.
“Oh.”
“Apa
kabarmu?”
Aku
rasa kamu mulai menyadari kehadiranku. Posisi dudukmu jauh lebih baik meski
gelas berisi bir itu tidak kunjung kau lepaskan. Oh tunggu dulu, aku bahkan tidak tahu sejak kapan kau suka ke
tempat ini, kau berubah.
“Apa
yang terjadi denganmu?”Suaraku melemah.
Jujur
aku tidak sanggup melihat lelaki yang sangat aku banggakan, yang selalu aku
kagumi sejak dulu, sekarang duduk tak berdaya dihadapanku. Aku kembali
menangis. Pelan.
“Semuanya
telah selesai.”Jawabmu sekenanya sambil berusaha tersenyum.
Aku
menghela nafas panjang.
Aku
sudah tahu semuanya. Perempuan itu yang membuatmu seperti ini. Aku tidak tahu
bagaimana bisa kisahmu dengannya berakhir tiba-tiba, yang aku tahu aku
mendapatkan undangan pernikahannya dua minggu yang lalu, dan aku tidak berpikir
kau akan serapuh ini.
Dia…
Perempuan
yang membuat tergila-gila sejak SMU. Membuatmu rela bolos sehari hanya untuk
menemani perempuan itu dirumah sakit. Membuatku terpaksa berbohong kepada wali
kelas kalau kamu sedang ada urusan keluarga. Penting.
Usahamu
untuk mendekatinya memang tidak mudah. Kamu bahkan hampir tidak naik kelas,
karena terlalu jatuh cinta, terlalu sibuk mengurusi perasaanmu sampai lupa
bahwa kamu itu siswa berprestasi.
Semua
masih terekam erat di memori kepalaku. Saat itu dimana kamu menjemputku
malam-malam, mengajakku ke sebuah toko souvenir untuk mencari kado terbaik.
Kado untuk seorang perempuan. Yah meski saat itu aku merasa bahwa kado itu
untuk aku, namun nyatanya bukan. Kado itu untuk perempuan lain.
“Apa
salahku sampai dia berbuat tega seperti itu?”
“…”
Kamu
terlalu mencintainya. Mungkin itu salahmu. Jika kamu tidak terlalu
mencintainya, kamu akan tetap kokoh, tidak lemah seperti ini. Kamu harus sadar,
cinta itu menguatkan bukan melemahkanmu.
Terdengar
pelan suaramu yang mulai sesenggukan.
“Bodoh.
Tolol. Kenapa aku jadi seperti ini?”
Aku
bangkit lalu duduk di dekatmu. Ku tatap wajahmu erat-erat, kau masih menunduk.
“Berhenti
Fandi.”Aku menahan tanganmu. Gelas berisi bir itu akan kembali mendarat di
bibirmu, itu sudah kelewatan.
“Aku
sangat mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa dia membuatku seperti ini?”
“Mungkin
dia tidak mencintaimu lagi.”
“Mustahil.”
“Di
dunia ini tidak ada yang mustahil Fandi. Perasaan itu sangat tidak konsisten.
Kamu tahu, rasa suka yang menggebu-gebu hari ini, bisa jadi tidak terasa sama
sekali esoknya.”
“Aku
dan dia tidak hanya saling menyukai, kami saling mencintai. Kamu tahu itu kan?”
“Aku
tahu kamu mencintainya, tapi aku tidak yakin dia mencintaimu.”ucapku hati-hati.
Aku takut menyinggung perasaanmu.
Kamu
diam.
Aku
ikut diam.
Aku
mendekap erat jemarimu yang tampak lesu. Aku ingat, ingat betul kapan kita
terakhir kali sedekat ini. Saat dimana perempuan itu tidak ada dalam
hari-harimu. Itu terlalu lama. Tiga tahun yang lalu kita duduk sedekat ini tapi
bukan di tempat ini. Namun setelah itu, tidak ada lagi waktu untuk kita berdua
walau hanya sekedar nongkrong, membicarakan banyak hal, termasuk masa kecil
kita. Berdua.
Seiring
waktu..
Aku
terus berusaha membunuh sendiri perasaanku. Meskipun berat dan sulit, aku tetap
akan mencobanya. Kau tahu kenapa aku selalu menghindar ketika kau mengajakku
jalan, nonton, atau makan ketika kau sedang bersamanya? Itu karena aku tidak
sanggup menahan gejolak cemburu yang bergemuruh di dada. Kau tahu kenapa sampai
sekarang belum ada satupun lelaki yang benar-benar menghuni relungku selain
dirimu, itu karena kamu masih ada disana.
Aku
selalu percaya bahwa waktu dapat merubah segala rasa, meskipun sampai detik ini
rasaku padamu masih kokoh tak terkikis oleh waktu dan jarak.
“Apakah
semua perempuan seperti itu?”Kamu menatapku. Sorot matamu sontak membuatku
terdiam.
“Kenapa
kamu diam?”
“Perempuan
tidak seperti itu.”
“Tapi
sekarang apa yang terjadi? Aku begini karena perempuan itu.”
“Tapi
bukan berarti semua perempuan sama.”
“Kamu?
Apakah kamu akan melakukan hal itu kepada laki-laki yang tulus mencintaimu?”
“Aku
tidak setega itu.”
Apalagi
jika laki-laki itu adalah dirimu. Mustahil bagiku membuat kau tersakiti. Karena
menyakitimu, membuat kau rapuh seperti ini, sama saja dengan membunuhku secara
perlahan. Menjatuhkan meski satu tetes air matamu ialah cara tercepat untuk membuatku
remuk.
“Aku
sangat mencintainya. Aku tidak bisa melupakannya.”
Aku
diam.
Mungkin
dengan diamku ini kau akan mengerti bahwa ada hati yang terbuka, menanti untuk
kau masuki, berharap kau sentuh dengan kehangatan. Kau terlalu sibuk pada
seseorang yang kau sayangi sehingga kau tidak menyadari ada hati yang tulus
menyayangimu, menanti untuk kau sayangi, sekian tahun menunggu.
Suasana
hening.
Gelasmu
masih terisi penuh. Bir dalam gelas itu masih utuh tak tersentuh. Seperti
itulah perasaanmu pada perempuan itu, juga perasaanku padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar