Selasa, 20 Januari 2015

Hati yang terlalu penuh



Kau bukan lelaki!
Kau rapuh tak berdaya.
Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa melihatmu tersenyum kembali?
()()*()()
            Kau bukan lelaki.
            Lihat dirimu sekarang. Sama sekali tak terurus.
            Berapa hari sudah kau seperti ini? oh iya aku ingat. Kata adikmu tadi, dua minggu sudah kau tampak seperti ini. Wajah kusam tak terawat. Sorot matamu kosong tanpa makna sama sekali. Mana senyum ceria yang selalu kau tunjukan padaku via skype itu? mana suara merdumu yang suka menyapaku sebelum tidur?
            “Fandi.”Aku melangkah mendekatimu.
            Tempat ini terlalu ramai untuk kita bicara berdua. Bahkan dentang musik dan alunan bass dalam gedung ini cukup membuat jantungku hampir copot.
            Kamu diam tak menjawab. Bukan hanya tidak menjawab bahkan kamu tidak menunjukan respon apapun. Tidak biasanya. Lalu dimana pelukan hangat yang selalu kau berikan padaku ketika kita berjumpa?
            Apa karena perempuan itu?
            Aku memutuskan untuk menyeretmu secara terpaksa, mencari sudut yang lebih sepi dan lumayan nyaman untuk kita bisa bicara berdua. Aku kenal siapa kau sebenarnya. Kita sudah terlalu lama berteman. Kita sudah lebih dari sahabat, lebih dari sekedar saudara, aku merasakan itu. Aku menginginkannya.
            Kau berjalan terpaksa dengan gelas dan botol bir kokoh ditanganmu. Kau menjatuhkan tubuhmu begitu saja. Sementara aku? Aku tak bisa berbuat apa selain meneteskan air mataku. Aku tak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarku. Lebih-lebih aku datang dengan sebuah koper kecil.
            “Aku baru tiba dari Brisbane.”ucapku pelan. Suaraku terdengar jelas olehmu, aku yakin. Tempat ini cukup nyaman untuk kita berdua. Gema musik tidak terlalu terdengar disini, setidaknya suaranya lebih kecil dari tempat dimana aku melihatmu terduduk lesu. Tak berdaya.
            “Fandi?”
            “Fandi dengarkan aku. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi padamu, aku tidak akan peduli dengan masalahmu. Aku datang ke sini atas permintaan adikmu, dia tidak sanggup mengadapimu akhir-akhir ini.”
            “Adikku tidak ada disini. Dia dirumah, lebih baik kau ke rumah saja.”
            “Aku pulang untuk bertemu denganmu, bukan adikmu.”suaraku lantang bergetar.
            “Oh.”
            “Apa kabarmu?”
            Aku rasa kamu mulai menyadari kehadiranku. Posisi dudukmu jauh lebih baik meski gelas berisi bir itu tidak kunjung kau lepaskan. Oh tunggu dulu, aku  bahkan tidak tahu sejak kapan kau suka ke tempat ini, kau berubah.
            “Apa yang terjadi denganmu?”Suaraku melemah.
            Jujur aku tidak sanggup melihat lelaki yang sangat aku banggakan, yang selalu aku kagumi sejak dulu, sekarang duduk tak berdaya dihadapanku. Aku kembali menangis. Pelan.
            “Semuanya telah selesai.”Jawabmu sekenanya sambil berusaha tersenyum.
            Aku menghela nafas panjang.
            Aku sudah tahu semuanya. Perempuan itu yang membuatmu seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana bisa kisahmu dengannya berakhir tiba-tiba, yang aku tahu aku mendapatkan undangan pernikahannya dua minggu yang lalu, dan aku tidak berpikir kau akan serapuh ini.
            Dia…
            Perempuan yang membuat tergila-gila sejak SMU. Membuatmu rela bolos sehari hanya untuk menemani perempuan itu dirumah sakit. Membuatku terpaksa berbohong kepada wali kelas kalau kamu sedang ada urusan keluarga. Penting.
            Usahamu untuk mendekatinya memang tidak mudah. Kamu bahkan hampir tidak naik kelas, karena terlalu jatuh cinta, terlalu sibuk mengurusi perasaanmu sampai lupa bahwa kamu itu siswa berprestasi.
            Semua masih terekam erat di memori kepalaku. Saat itu dimana kamu menjemputku malam-malam, mengajakku ke sebuah toko souvenir untuk mencari kado terbaik. Kado untuk seorang perempuan. Yah meski saat itu aku merasa bahwa kado itu untuk aku, namun nyatanya bukan. Kado itu untuk perempuan lain.
            “Apa salahku sampai dia berbuat tega seperti itu?”
            “…”
            Kamu terlalu mencintainya. Mungkin itu salahmu. Jika kamu tidak terlalu mencintainya, kamu akan tetap kokoh, tidak lemah seperti ini. Kamu harus sadar, cinta itu menguatkan bukan melemahkanmu.
            Terdengar pelan suaramu yang mulai sesenggukan.
            “Bodoh. Tolol. Kenapa aku jadi seperti ini?”
            Aku bangkit lalu duduk di dekatmu. Ku tatap wajahmu erat-erat, kau masih menunduk.
            “Berhenti Fandi.”Aku menahan tanganmu. Gelas berisi bir itu akan kembali mendarat di bibirmu, itu sudah kelewatan.
            “Aku sangat mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa dia membuatku seperti ini?”
            “Mungkin dia tidak mencintaimu lagi.”
            “Mustahil.”
            “Di dunia ini tidak ada yang mustahil Fandi. Perasaan itu sangat tidak konsisten. Kamu tahu, rasa suka yang menggebu-gebu hari ini, bisa jadi tidak terasa sama sekali esoknya.”
            “Aku dan dia tidak hanya saling menyukai, kami saling mencintai. Kamu tahu itu kan?”
            “Aku tahu kamu mencintainya, tapi aku tidak yakin dia mencintaimu.”ucapku hati-hati. Aku takut menyinggung perasaanmu.
            Kamu diam.
            Aku ikut diam.
            Aku mendekap erat jemarimu yang tampak lesu. Aku ingat, ingat betul kapan kita terakhir kali sedekat ini. Saat dimana perempuan itu tidak ada dalam hari-harimu. Itu terlalu lama. Tiga tahun yang lalu kita duduk sedekat ini tapi bukan di tempat ini. Namun setelah itu, tidak ada lagi waktu untuk kita berdua walau hanya sekedar nongkrong, membicarakan banyak hal, termasuk masa kecil kita. Berdua.
            Seiring waktu..
            Aku terus berusaha membunuh sendiri perasaanku. Meskipun berat dan sulit, aku tetap akan mencobanya. Kau tahu kenapa aku selalu menghindar ketika kau mengajakku jalan, nonton, atau makan ketika kau sedang bersamanya? Itu karena aku tidak sanggup menahan gejolak cemburu yang bergemuruh di dada. Kau tahu kenapa sampai sekarang belum ada satupun lelaki yang benar-benar menghuni relungku selain dirimu, itu karena kamu masih ada disana.
            Aku selalu percaya bahwa waktu dapat merubah segala rasa, meskipun sampai detik ini rasaku padamu masih kokoh tak terkikis oleh waktu dan jarak.
            “Apakah semua perempuan seperti itu?”Kamu menatapku. Sorot matamu sontak membuatku terdiam.
            “Kenapa kamu diam?”
            “Perempuan tidak seperti itu.”
            “Tapi sekarang apa yang terjadi? Aku begini karena perempuan itu.”
            “Tapi bukan berarti semua perempuan sama.”
            “Kamu? Apakah kamu akan melakukan hal itu kepada laki-laki yang tulus mencintaimu?”
            “Aku tidak setega itu.”
            Apalagi jika laki-laki itu adalah dirimu. Mustahil bagiku membuat kau tersakiti. Karena menyakitimu, membuat kau rapuh seperti ini, sama saja dengan membunuhku secara perlahan. Menjatuhkan meski satu tetes air matamu ialah cara tercepat untuk membuatku remuk.
            “Aku sangat mencintainya. Aku tidak bisa melupakannya.”
            Aku diam.
            Mungkin dengan diamku ini kau akan mengerti bahwa ada hati yang terbuka, menanti untuk kau masuki, berharap kau sentuh dengan kehangatan. Kau terlalu sibuk pada seseorang yang kau sayangi sehingga kau tidak menyadari ada hati yang tulus menyayangimu, menanti untuk kau sayangi, sekian tahun menunggu.
            Suasana hening.
            Gelasmu masih terisi penuh. Bir dalam gelas itu masih utuh tak tersentuh. Seperti itulah perasaanmu pada perempuan itu, juga perasaanku padamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar