Aku menarik nafas cukup panjang.
Wajahmu merah merona diterpa cahaya remang-remang dalam kafe dengan desain
interior ala-ala italia. Hampir tiga puluh menit kita saling diam satu sama
lain. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan, entah itu aku atau dirimu.
Seorang pelayan dengan kemeja
abu-abu dan celana hitam polos mendekat, meletakan menu pesanan kita kemudian
diam sejenak. Aku tahu pelayan itu sekarang sedang memandangi kebekuan diantara
kita. Hanya beberapa saat saja, kemudian pelayan itu berlalu menemui pelanggan
lainnya yang baru saja datang dan tampak kebingungan memilih tempat. Seorang
laki-laki dan dua orang perempuan.
()*()
Seandainya saja kamu
menceritakan semuanya sejak awal, mungkin aku tidak akan semarah ini. Bisa saja
aku mengendalikan semua yang kurasa. Aku yakin aku pasti bisa. Tapi apa yang
terjadi? Sekian bulan kau menyembunyikannya, membuatku baik-baik saja padahal
ada sesuatu yang tersembunyi. Sangat rapat dan rapi sehingga tampak tidak
terjadi apa-apa.
Ice lemon tea kesukaanmu bahkan sama sekali tak tersentuh oleh
tangan lembutmu. Aku yakin sekarang kau sedang menyiapkan seribu alasan untuk
memperbaiki semua ini. Percuma. Aku tidak bisa dibujuk dengan seribu alasan itu.
Basi!
()*()
“Rizki, boleh aku minta
tolong?”suara perempuan muda tiba-tiba terdengar pelan.
Aku yang saat itu sedang duduk
di sofa dalam kamar rawat ini sontak berdiri, mendekatinya.
“Ada apa?”
“Aku haus. Boleh ambilkan aku
air?”
“Kenapa harus minta tolong?
Tunggu sebentar ya?”aku mengusap pelan kepalanya sambil tersenyum.
“Bagaimana keadaanmu
sekarang?”Tanyaku setelah Ia meneguk air.
“Lumayan. Kamu? belum pulang?”
“Belum. Nggak mungkin aku
ninggalin kamu sendirian, Ca.”
Caca tersenyum manis.
“Kamu cepat sembuh ya? Ada
banyak hal yang ingin sekali aku tunjukan padamu. Tempat bermain kita dulu
sekarang sudah berubah. Pokoknya seru, kamu pasti suka.”
“Banyak? oh ya?”
“Iya. Kamu nggak sadar? Hampir
sepuluh tahun kamu menghilang tanpa kabar sama sekali.”
“Aku minta maaf. Aku nggak
mungkin menceritakan semua ini padamu.”
“Kenapa?”
“Aku takut kamu akan menjauh
karena penyakitku ini.”
“Aku tidak akan pernah
meninggalkanmu. Sedikitpun. Itu janjiku di dekat dermaga waktu kecil dulu. Kamu
pasti nggak lupa?”
()*()
“Say…”
Aku menepis tanganmu sesaat
sebelum jemari yang aku rindukan itu mendarat diatas tanganku. Jangan mencoba
untuk merayuku. Kamu tidak tahu apa yang
aku rasakan ketika mengetahui semua ini. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru
sekarang, disaat cintaku tumbuh semakin besar untukmu, kau malah mengkhianatiku.
“Aku minta maaf.”
“Semudah itu?”aku menatapnya
tajam. Meskipun aku harus mengakui, aku tidak sanggup bertatapan dengan bola mata
yang selalu meneduhkan hati.
“Seharusnya aku menceritakannya
dari dulu.”
“Ya. Tapi sayangnya kamu tidak
pernah melakukan itu.”
()*()
Aku mendorong kursi roda yang
diduduki Caca menuju taman kecil di tengah rumah sakit ini. Caca perlu cahaya
matahari pagi untuk kesembuhannya. Sepanjang koridor, Ia tidak pernah henti
memegangi punggung tanganku.
“Ki.”
“Ya?”
“Aku nggak menyangka kamu akan menungguku
selama ini.”
“Seorang sahabat nggak akan
pernah jenuh menanti kepulangan sahabatnya.”
Perlahan tangannya melepaskan
punggung tanganku. Lesu.
“Oh. Jadi hanya karena aku
sahabatmu?”
“Kenapa kamu bicara seperti
itu?”aku maju beberapa langkah lalu memutar menghadap kearahnya, dengan posisi
setengah membungkuk aku menyentuh dagunya.
“…”
“Kamu itu sahabat hatiku, Ca.”
()*()
Akhir-akhir ini kamu mulai
berubah. Setiap saat aku mengajak ketemu, kamu selalu saja menolaknya dengan
banyak alasan. Termasuk ketika kamu beralasan sibuk menemani sepupumu yang baru
pulang dari kuala lumpur. Aku merasakan itu. Kamu mulai berubah semenjak
kepulangan sepupumu itu.
Aku memutuskan untuk menemuimu
saat ini juga. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku takut
terjadi apa-apa denganmu, lalu kamu tidak mau aku mengetahui hal itu karena aku
akan sedih. Aku tidak boleh membiarkanmu sakit seorang diri. Aku tahu dimana
sekarang kamu berada.
()*()
Satu setengah jam berlalu.
Dingin masih mengudara diantara
kita. Pelanggan yang datang belakangan dibanding kita berdua, baru saja
meninggalkan kafe ini. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara
perempuan yang satunya masih terdiam di tempat duduknya. Sama sekali tidak
merespon kepergian dua temannya itu.
“Apa yang kamu perhatikan?”
“Tidak ada.”
“Berbohong lagi?”
Entah bagaimana caranya untuk
meyakinkanmu, bahwa aku masih mencintaimu.
()*()
“Jangan tinggalin aku lagi,
Ki.”Bisik Caca pelan.
Aku melingkarkan tanganku
kedepan, mendekapnya dari belakang.
“Aku janji, aku nggak akan
pernah ninggalin kamu Ca. Nggak akan pernah, asal kamu janji, nggak akan
menyembunyikan lagi apa-apa dariku.”
“Janji.”ucapnya. Membuatku
gemas, lalu mencubiti hidungnya pelan. Persis seperti yang sering aku lakukan
dulu, sepuluh tahun yang lalu. Ia membiarkannya bahkan sempat menahan jariku
agar tidak melepaskan hidungnya.
“Tahan ya. Aku rindu dicubitin
seperti ini.”
()*()
“Rizki????”
Ekspresimu terkejut bukan
kepalang ketika melihat aku sudah berdiri di depanmu. Hanya berjarak tiga meter
dari perempuan di kursi roda yang hidungnya sedang kau cubit itu. Nafasku naik
turun. Perempuan yang sedang duduk di kursi roda itu nampaknya tidak terlalu
terkejut. Ia bahkan melemparkan senyumnya, berbeda denganmu yang masih melotot
seolah tidak percaya pada apa yang sedang kau lihat sekarang.
Sementara aku? oh tuhan. Pantas
saja akhir-akhir aku merasakan ada yang aneh dengan perasaanku. Setiap kali
mengingatmu, jantungku selalu berdebar kencang. Sangat kuat. Jadi ini?
()*()
Sekali lagi kau menepis
tanganku. Membuatku tak berdaya bagai seorang anak kecil yang merayu ibunya
untuk dibelikan mainan. Kau pasti marah. Aku memang salah. Tidak seharusnya aku
menyembunyikan hal ini, tak sepantasnya aku membohongimu.
“Siapa perempuan tadi?”suaramu
bertanya dengan nada bergetar. Aku bisa merasakan cemburu dalam hembusan
nafasmu itu.
“Dia…”
“Dia pasti bukan sepupumu.”
Aku diam.
Hubungan kita baru berjalan
hampir enam bulan. Tentu saja aku tidak ingin merusak semua kenangan yang telah
kita lalui bersama. Bagiku, enam bulan bukanlah waktu yang singkat. Tidak
mungkin aku menceritakan siapa perempuan itu sebenarnya sebab aku tidak ingin
hubungan kita akan berakhir. Meskipun aku juga tidak bisa meninggalkan
perempuan itu.
“Dia teman kecilku dulu.”
“Yang sering kau ceritakan itu?
yang sering bersamamu duduk di dermaga saat sore hari, menjemput malam sambil
melambaikan tangan pada matahari yang perlahan tenggelam?”
Aku mengangguk singkat.
“Dia lebih dari sahabat.”
Seandainya waktu dapat ku putar
kembali, tentu saat itu aku tidak akan pernah mengatakan perasaanku padamu.
Sebab saat itu, ketika perasaanku menggebu-gebu padamu, saat itu juga aku masih
mengharapkan Ia kembali. Aku masih menginginkan Caca pulang. Meskipun aku tidak
sepenuhnya yakin.
“Hanya sahabat?”
“Dia cinta masa kecilku.”
“Kenapa tidak mengatakannya dari
awal?”
“Aku takut kehilanganmu.”
“Baiklah kalau kau benar-benar
takut kehilanganku, sekarang kau putuskan, memilih aku atau dirinya?”
Aku menggeleng.
“Kamu harus memilih, aku atau
dirinya??? RIZKI? Jangan membuatku menunggu?”Kau mulai sesenggukan.
“Maafkan aku. Aku memilih
Caca.”Ucapku terpaksa. Aku sudah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan
lagi perempuan itu.
“Kita putus.”Suaramu mengudara
begitu saja. Lalu kau pergi, meninggalkanku seorang diri. Persis dengan
perempuan yang masih duduk di kursi sebelah. Sendirian. Mengutuk kesalahanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar