Selasa, 24 Februari 2015

Cinta itu logika berperasaan

     
  Mungkin jika teman-temanku tahu apa yang aku lakukan malam ini, mereka pasti akan mengomel sepanjang malam. Kalau memang mereka belum puas mereka akan melanjutkan ocehan itu besok hari, esoknya lagi dan esoknya lagi sampai akhirnya aku meminta maaf.
            Yups!
            Jadi bisa dipastikan apa yang aku lakukan sekarang tanpa pengetahuan mereka. Aku tidak berbohong ketika Denada mengajakku keluar malam ini, menemaninya ke mall, tapi aku menolaknya dengan alasan aku ada urusan penting mendadak. Memang, pertemuan malam ini mendadak dan lumayan penting.
            Di sini, suasana terasa cukup canggung. Sudah lama sekali suasana seperti ini tidak pernah terjadi lagi. Mungkin sekitar dua tahun lebih atau bisa juga tiga tahun. Aku sudah lupa sebab Denada memaksaku untuk melupakannya.
            “Aku hampa tanpa dirimu.”Bisiknya coba merayuku. Basi.
            Aku tersenyum jijik. Entah sudah berapa banyak laki-laki ini mengatakan kalimat barusan pada puluhan wanita di luar sana. Entah sudah berapa kali Ia mencoba merayuku dengan kalimat itu.
            “Kamu tidak rindu padaku?”
            Untuk apa? untuk apa aku merindukan seseorang yang sudah aku coba mencintainya setulus hati, mengorbankan semua yang aku miliki, aku hampir kehilangan teman-temanku karena dia, tapi dia malah berselingkuh. Memilih perempuan lain yang menurutku, Ah sudahlah, aku tidak ingin membahas perempuan tidak penting itu.
            “Bagaimana kabarmu?”
            Akhirnya setelah hampir tiga puluh menit aku dan dia di tempat ini, tempat favorit kita dulu, aku memberanikan diri bertanya kabar. Aku bisa dengan jelas melihat senyum bahagia di wajahnya.
            “Aku tidak baik. Setelah kamu pergi, aku rapuh.”
            “Kamu yakin?”
            “Iya.”
            “Bukannya ada banyak sekali caramu untuk tidak merasakan rapuh? Bahkan sebelum aku pergi.”
            “Aku menyesal telah melakukan itu.”
            “Aku lebih menyesal telah mempercayaimu dengan begitu polos.”
            Dia diam. Sepertinya kalimatku barusan hampir menyadarkannya bahwa masa lalu diantara kami terjadi karena kepolosanku. Aku tahu keputusanku menemuinya malam ini sangat fatal. Aku tidak bisa memastikan apakah setelah perjumpaan sekarang aku akan kembali menyanyanginya atau tetap berusaha untuk melupakannya.
            Angin berhembus pelan.
**O**
            Angin berhembus pelan.
            Air mataku yang jatuh langsung mongering di pipi. Terlambat.
            Denada, Tiara, dan Sri berdiri beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.
            Seandainya dulu aku bisa lebih peka pada keadaan. Seandainya dulu aku lebih percaya pada teman-temanku, manusia yang menghabiskan waktu delapan tahun denganku, dibandingkan harus percaya padanya, lelaki yang baru aku kenal dua tahun terakhir ini.
            Lalu aku bisa apa sekarang? Menyesali yang telah terjadi? Mungkin.
            Aku menghela nafas panjang.
            “Aku melihatnya jalan sama perempuan lain.”Kesal Denada waktu itu.
            “Iya. Kamu harus percaya.”
            Aku mengangguk singkat.
            Mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang jalan dengan Hilman itu. mereka kenal dengan perempuan itu? Tidak. itu pasti sepupunya Hilman atau teman kampusnya atau bisa jadi orang yang menumpang saja.
            Aku sudah jenuh mendengar komentar buruk mereka tentang Hilman. Laki-laki yang rela datang tengah malam, hujan-hujanan hanya karena aku berkata aku kangen, lalu mereka bilang selingkuh. Memang tidak ada yang mustahil di muka bumi ini, tapi coba deh kalian masukin logika.
            Aku mengenal Hilman dua tahun yang lalu lewat sebuah konser artis. Laki-laki yang murah senyum dan baik. Dan selama ini Ia menunjukan sikap yang baik-baik saja. Ia selalu datang ke rumah, kadang membantu ibu belanja ke pasar atau supermarket. Mengangkat barang belanjaan ibu tanpa dimintai tolong sama sekali. Ia juga sering menemani ayah begadang sampai larut malam hanya untuk bermain catur. Bahkan Ia lebih sering menemani ayah dibandingkan menemaniku, kalau sedang di rumah.
            “Kamu itu pacaran sama aku atau sama ayahku sih?”
            Kesal aku bertanya padanya namun hanya dijawab dengan senyuman manisnya.
            “Kan kalau pacaran sama anaknya, harus bisa juga pacaran sama ayahnya. Bukan begitu?”
            “Bukan!”Aku menjawab ketus.
            Kalau sudah begitu, dengan wajahnya yang rupawan itu, hidung mancung, alis mata yang tebal dan teratur, mata bulat mempesona dan dua gigi kelincinya, Ia akan menatapku dan berkata,
            “Kamu tetap satu-satunya. Tidak ada dan tidak akan ada yang lain.”
            Memang, beberapa bulan yang lalu aku memergokinya sedang jalan berdua dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal. Mereka bergandeng mesra seolah tidak menyadari aku berdiri hanya beberapa meter dari tempat mereka bermesraan. Padahal, dua hari yang lalu aku dengannya baru saja bertengkar hebat. Aku marah karena ada perempuan lain yang suka sekali mengiriminya SMS mesra.
            “Hilman? Jadi begini kelakukanmu sebenarnya?”
            Teriakku tidak peduli pada tatapan orang sekitar. Denada yang saat itu sedang berada denganku, segera menarikku dari kerumunan orang. Memasukkan aku ke dalam mobil lalu memutar musik sekencang mungkin. Denada mungkin lagi stress, dia menyetel lagu DJ. Tapi bukan itu tujuannya, Ia sengaja memutar lagu itu karena aku sedang menangis terisak dalam mobil.
            “Sudahlah. Kau sudah lihat kan sekarang bagaimana dia sebenarnya? aku sudah capek, aku lelah memberitahu yang sebenarnya tapi kamu tetap tidak percaya.”
            Hari itu juga aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Hilman. Apa yang terjadi? Bisa dipastikan aku menangis seminggu lebih. Hubunganku yang telah jalan setahun lebih berakhir dengan kehadiran perempuan itu? aku bahkan tidak percaya hubungan kami telah berakhir.
            Tapi Hilman bukan laki-laki biasa. Ia berani mendatangi rumahku pada saat aku berada di puncak amarah yang melemahkanku. Ayah dan Ibu, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi, menyuruhku keluar dari kamar hanya untuk menemani Hilman di teras rumah.
            “Aku minta maaf.”
            “…”
            “Aku melakukan itu karena aku stress. Aku bingung, aku tidak tahu kenapa aku sampai menerima ajakannya untuk jalan malam itu. Aku mengaku salah. Karena kamu marah padaku waktu itu, itu yang membuat aku stress. Dan sekarang, kamu mau memutuskan hubungan kita? Kamu bercanda kan? Aku tidak sanggup hidup tanpamu.”
            Hilman. Benarkah itu? aku tidak sanggup melihat wajahnya yang memelas permohonan maaf dariku. Memang benar sejak kejadian waktu itu, Ia sempat mengejar mobilku dan Denada tapi memang dasar Denada yang niat sekali memisahkan kami berdua, Ia menarik gas mobil sekencang mungkin. Hilman tidak bisa mengejar.
            “Kamu mau kan maafkan aku? aku janji.”
            “Janji???”Aku mengangkat kelingking tangan kananku.
            “Janji.”Jawab Hilman sambil meraih tanganku dan menciumnya. Lembut.

**O**
            “Perempuan itu yang kegatelan.”Kataku pada Denada dan teman-teman lainnya ketika kami saat itu sedang berada di rumah Tiara untuk mengerjakan tugas kampus.
            Mereka sudah tahu aku dan Hilman baikan lagi kemarin. Bahkan Hilman yang mengantarkanku tadi ke rumah Tiara. Aku sudah menceritakan pada mereka panjang lebar. Aku sudah menceritakan awal kejadian ini yang sebenarnya. semua berawal dari aku, yang tidak melakukan check and recheck.
            Denada, Tiara dan Sri hanya bisa mengusap dada mereka. Sudahlah, tidak usah pikirkan mereka. Mereka hanya terlalu phobia pada laki-laki yang sangat ramah dengan siapapun. Mereka mungkin tidak pernah memiliki pacar atau gebetan yang seramah Hilman. Lihat pacarnya Tiara? Dengan kami saja dia jarang senyum. Kadang kalau kami jalan ramai-ramai, berdelapan dengan pasangan masing-masing, pasangannya Tiara yang terlihat paling beku. Tiara betah banget pacaran sama patung.
            Aku sangat sayang pada Hilman. Aku rela menguras tabunganku untuk membantunya membayar biaya rumah sakitnya beberapa waktu lalu. Aku dan dia itu satu, apa yang aku miliki sudah miliknya juga. Seperti hatiku, hatinya. Waktu itu Hilman sakit. Sebagai anak rantau dari pulau seberang, Ia tidak ingin memberatkan orang tuanya. Ia bahkan tidak mau meminta tolong padaku. Nanti setelah aku paksa, sedikit keras, barulah Ia mengiyakan menerima bantuanku.
            “Kita ini sudah lama, Man. Apa yang aku miliki, itu juga milik kamu.”
            “Nanti aku ganti.”
            “Sudahlah. Kamu tidak usah memikirkan biaya itu. Kamu pikirin dulu kondisi kesehatan kamu.”
            Beberapa hari setelah Hilman keluar dari rumah sakit, giliran Sri yang dengan gemasnya bercerita tentang penglihatannya tadi malam. Ia melihat Hilman jalan dengan perempuan lain. Tidak tanggung-tanggung, Sri melihat mereka masuk ke restaurant mahal. Hilman dapat uang dari mana?
            Sorry, bukannya aku berpikiran lain tentang Hilman, tapi aku tahu keadaan Hilman saat ini. Ia baru saja kehabisan simpanan untuk biaya rumah sakitnya lalu tiba-tiba setelah sembuh ia makan di restaurant mahal bersama perempuan lain. Logikaku tidak bisa menerima ini. Sri, kamu kelewatan!
            “Aku nggak bohong!”Sri balas membentakku. Suaranya meninggi, pipi sebelah kanannya bergoyang-goyang.
            “Terserah. Kamu mau bicara apapun tentang Hilman, aku nggak peduli. Aku nggak akan biarin otakku didoktrin omongan kalian. Aku bosan. Aku capek dengerin kalian ngomongin hal negative tentang Hilman.”
            “Kamu harus dengerin Sri dulu.”Tiara masuk dalam pembicaraan kami.
            “Dengerin dia ngejatuhin Hilman terus? Tiara? Selama ini aku nggak pernah ngurusin hubungan Sri dengan pacarnya. Aku nggak pernah sok-sok ngasih pendapat tentang hubungan mereka.”
            “Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama kamu.”Sri, nada suaranya mereda.
            “Terserah.”
            Aku pulang dengan perasaan kesal. Film yang akan kami nonton baru saja akan dimulai dan aku kehilangan mood untuk menonton film itu. Padahal diantara kami, aku yang paling menggebu-gebu untuk menonton.
            Sampai di rumah, aku menelepon Hilman, memastikan apa yang dibicarakan Sri tadi benar atau salah.
            “Aku di kontrakan sayang. Kamu di mana?”
            “Aku di rumah. Kamu sudah makan? sudah minum obat?”
            “Sudah sayang. Kamu sendiri bagaimana?”
            “Sudah.”
            “Sayang, aku kangen. Aku pengen ketemu, tapi sorry yah, badan aku lagi lemes banget. Tadi saja aku harus minta tolong Dodit untuk mengambilkan makanan sama minum.”
            Aku diam sejenak. Niatku untuk bertanya kejadian beberapa hari lalu tiba-tiba sirna. Lihat? Kalau Sri ada denganku sekarang, aku ingin memberikan telepon itu padanya. Mana mungkin Hilman, yang mau makan dan minum saja minta tolong pada Dodit, jalan berdua kemarin dulu? Sri memang keterlaluan.

**O**
            “Assalamu’alaikum.”
            Aku kenal suara siapa itu. Apalagi yang mau mereka katakan padaku? Mau memfitnah apalagi tentang Hilman? Aku keluar dari kamar dan menyambut mereka di ruang tamu.
            “Aku punya kabar buruk.”
            “Nggak usah datang kesini kalau bawa kabar buruk.”
            “ini penting.”Sri menatapku serius.
            “Semua yang kalian omongin kemarin juga begitu. Selalu bilang, ini penting!
            “Tentang Hilman.”
            Aku sudah menduga. Benar kan dugaanku?
            “Kami melihatnya di bioskop tadi malam. Coba saja kamu tidak merajuk dan pulang lebih dulu, kamu pasti akan melihatnya sendiri.”
            “Apalagi? Hilman jalan sama perempuan lain? bergandengan tangan? Suap-suapan popcorn? Atau pangkuan di dalam studio? Basi.”
            “…”Sri tidak jadi bicara ketika Denada mengeluarkan ponsel dan menyerahkan padaku.
            Astagah!
            Awalnya aku tidak tertarik menerima ponselnya, tapi setelah melihat gambar-gambar yang ada dalam ponsel itu, aku malah terdiam. Dadaku tiba-tiba sakit. Nyeri tak tertahankan. Aku tidak bisa bernafas. Mataku berair. Aku menggelengkan kepala.
            “Nggak mungkin.”
            “Harus dengan cara apalagi sih untuk membuat kamu itu sadar. Hilman itu LAKI-LAKI BAJINGAN!”Tiara yang biasanya paling pendiam diantara kami bersuara cukup keras.
            Hilman bersama perempuan itu lagi, bergandengan tangan. Perempuan itu bersandar pada pundak Hilman. Hilman menyuapkan popcorn. Hilman mengusap kepala perempuan itu. Perempuan itu melingkarkan tangannya ke tubuh Hilman. Ah, aku hampir pingsan melihat semua foto ini.
            “Bukan itu saja. Tadi aku sengaja lewat di depan kontrakan Hilman. Perempuan itu ada disana. Mereka sedang duduk berdua di teras rumah.”Sri melanjutkan kalimatnya.
            “Tunggu apa lagi? ayo kita ke sana.”Denada bangkit lebih dulu lalu diikuti teman-teman yang lain.
            Aku masih duduk tidak percaya. Ini tidak mungkin. Laki-laki yang sangat aku banggakan, berbuat seperti ini padaku. Aku tidak mau. Aku tidak mau pergi kesana, hatiku terlanjur sakit.
            “Ayo. Kamu mau nangis disini? percuma. Ayo berdiri!”Sri menarik lenganku.
            Entah apa yang terjadi setelahnya, yang aku tahu sekarang aku sedang menangis di jok belakang mobil Denada bersama Tiara. Sri sepanjang jalan mengomel, memberikan ide, masukan dan cara untuk membalas perbuatan Hilman. Sri… Sri… kamu memang cerewet bahkan dalam situasi seperti ini.
            Kontrakan Hillman tutup. Biasanya kalau tutup begini semua penghuninya sudah pergi kuliah dan kerja. Tapi tunggu dulu, di parkiran ada motornya Hilman dan satu motor lagi yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
            “Ayo. Apa sih lama-lama dalam mobil?”
            Sri tampak sangat gemas.
            Aku menyeka air mataku. Doktrin yang diberikan Sri sepanjang jalan tadi cukup memberikan aku kekuatan, setidaknya untuk beberapa menit kedepan. Kamu keterlaluan Hilman.
            Aku mengetuk pintu kontrakannya sangat keras. Nafasku naik turun. Laki-laki tidak tahu terima kasih, aku sudah memberikannya lebih dari sekedar cinta  dan lihat apa yang Ia lakukan padaku? Dasar!
            “Hilman. HILMAN, BUKA PINTUNYA!”
            “Maaf siapa ya?”
            Sesosok perempuan yang keluar membukakan pintu. Aku mengamatinya dari ujung rambut yang keriting sampai kakinya yang mirip kaki lionel messi.
            “Kamu yang siapa? DI MANA HILMAN?”
            “Maaf, kamu siapa ya?”
            “Aku nggak ada urusan sama kamu.”
            Saat itulah Hilman muncul dengan rambut dan tubuh yang basah. Sepertinya dia baru habis mandi. Dia tampak kaget melihat kedatanganku.
            “Eh… Say… Kam.. Kamu sudah dari tadi? kamu..”
            “Kamu sudah sembuh?”Aku bertanya sambil berjalan pelan mendekatinya.
            “Eh.. I..iya.. syukur.”
            Hilman menjawab gelagapan.
            “Cepat banget ya? Padahal semalam makannya minta tolong sama Dodit.”
            “Eh… Anu… itu… obat.. o…obat yang diberikan dokter. Obatnya ampuh.”
            “Atau.. kamu memang sudah sembuh?”
            “Tidak mungkin aku sudah sembuh.”
            “Lah, semalam kan nonton di bioskop sama perempuan tidak tahu diri ini.”
            “Kata siapa?”
            Praakk!!!
            For the first time in my life, aku mendaratkan tamparan keras pada pipi manusia.
            Hilman terkejut bukan kepalang. Ia memegangi pipinya yang sepertinya sangat sakit.
            “Aku bisa jelasin…”
            Praakkk…
            Ekstra double, baby…
            “Aku… kamu dengerin penjelasan aku dulu.”
            Duar!!!! Goall…
            Aku sepertinya berbakat jadi pemain bola menggantikan Christiano Ronaldo. Tendanganku tepat mengenai alat vitalnya. Hanya dengan memakai handuk seperti itu membuat tendanganku goal tanpa penjaga gawangnya.
            Hilman mengeram kesakitan, matanya memelotot, nafasnya tertahan untuk beberapa detik dan langsung disusul dengan teriakan super keras. Ia jatuh tersungkur. Dasar, ini belum cukup laki-laki tidak tahu diri! Ia memegangi alat vitalnya. Sakit? kasihan…

**O**
            Jujur saja, setelah kejadian itu aku menangis hampir setiap hari. Bukan karena melihatnya tersakiti seperti itu, tapi menangisi kebodohanku. Menangisi aku yang tidak terlalu peduli pada komentar teman-temanku. Seandainya dari dulu aku tahu, mungkin aku tidak akan merasakannya sesakit ini.
            Angin berhembus pelan.
            Air mataku yang jatuh langsung mongering di pipi. Terlambat.
            Denada, Tiara, dan Sri berdiri beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.

**O**
            “Kamu mau kan maafkan aku?”
            “Aku sudah memaafkan sebulan sejak kejadian itu. aku juga minta maaf, tendanganku sakit ya?”
            “Iya. Lumayan keras. Ternyata kamu ahli juga yah?”Dia tersenyum, menggoda.
            “Itu belum apa-apa. Sebenarnya aku bisa memberikan yang lebih, tapi sayang, aku rasa perempuanmu itu masih membutuhkan itumu.”
            “Dia sudah pergi.”Nada suara Hilman melemah.
            Terus? Aku harus bilang WOW? Begitu? Atau harus ditambah ekstra, multi platinum WOW?
            “Kamu mau kan balikan denganku lagi?”
            Hah? Balikan dengan laki-laki tidak tahu diri sepertimu? Beruntung aku tidak pernah mengungkit biaya rumah sakit yang sekarang sudah lama sekali kamu tidak kembalikan. Aku memang ikhlas memberikannya untukmu, tapi karena kamu sendiri yang dengan sombongnya bilang itu hanya pinjaman maka aku mencatatnya sebagai piutang yang kemungkinan besar tidak akan tertagih.
            “Kamu mau kan, sayang?”
            “Sayang….sekali aku sudah tidak bodoh.”jawabku sambil tersenyum.
            “Aku sudah wisuda sarjana. Aku sekarang sudah bekerja disalah satu Bank. Aku juga sudah pandai mengelola butik dan distro milikku. Aku sudah bisa bawa mobil sendiri. itu semua menunjukan aku tidak bodoh lagi, sayang.”Lanjutku.
            “Kamu tidak cinta lagi padaku?”
            Deg!
            Dua tahun lebih atau mungkin tiga tahun sudah aku mencoba melupakanmu, tapi tidak bisa Hilman. Seandainya aku sudah tidak cinta, tidak mungkin aku datang menemuimu saat ini. Tapi, bagi aku cinta itu logika berperasaan.
            Logikaku harus peka apalagi terhadap rayuanmu yang bisa menghanyutkan. Logikaku sekarang sudah bisa merasa, mana yang tulus dan mana yang modus. Mana yang jujur dan mana yang hancur.
            Sayang sekali Hilman, aku memang mencintaimu tapi bukan berarti aku harus mengulangi kebodohanku tiga tahun lalu. Jika kamu memang mencintaiku, seharusnya kamu tahu bahwa cinta memang tidak selamanya bisa memiliki. Hilman, silahkan cari perempuan lain yang bisa kau jadikan Bank dalam hidupmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar