Yups!
Jadi
bisa dipastikan apa yang aku lakukan sekarang tanpa pengetahuan mereka. Aku
tidak berbohong ketika Denada mengajakku keluar malam ini, menemaninya ke mall,
tapi aku menolaknya dengan alasan aku ada urusan penting mendadak. Memang,
pertemuan malam ini mendadak dan lumayan penting.
Di sini, suasana terasa cukup
canggung. Sudah lama sekali suasana seperti ini tidak pernah terjadi lagi.
Mungkin sekitar dua tahun lebih atau bisa juga tiga tahun. Aku sudah lupa sebab
Denada memaksaku untuk melupakannya.
“Aku hampa tanpa dirimu.”Bisiknya
coba merayuku. Basi.
Aku tersenyum jijik. Entah sudah
berapa banyak laki-laki ini mengatakan kalimat barusan pada puluhan wanita di
luar sana. Entah sudah berapa kali Ia mencoba merayuku dengan kalimat itu.
“Kamu tidak rindu padaku?”
Untuk apa? untuk apa aku merindukan
seseorang yang sudah aku coba mencintainya setulus hati, mengorbankan semua
yang aku miliki, aku hampir kehilangan teman-temanku karena dia, tapi dia malah
berselingkuh. Memilih perempuan lain yang menurutku, Ah sudahlah, aku tidak
ingin membahas perempuan tidak penting itu.
“Bagaimana kabarmu?”
Akhirnya setelah hampir tiga puluh
menit aku dan dia di tempat ini, tempat favorit kita dulu, aku memberanikan diri bertanya kabar. Aku bisa dengan
jelas melihat senyum bahagia di wajahnya.
“Aku tidak baik. Setelah kamu pergi,
aku rapuh.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
“Bukannya ada banyak sekali caramu
untuk tidak merasakan rapuh? Bahkan sebelum aku pergi.”
“Aku menyesal telah melakukan itu.”
“Aku lebih menyesal telah
mempercayaimu dengan begitu polos.”
Dia diam. Sepertinya kalimatku
barusan hampir menyadarkannya bahwa masa lalu diantara kami terjadi karena
kepolosanku. Aku tahu keputusanku menemuinya malam ini sangat fatal. Aku tidak
bisa memastikan apakah setelah perjumpaan sekarang aku akan kembali
menyanyanginya atau tetap berusaha untuk melupakannya.
Angin berhembus pelan.
**O**
Angin berhembus pelan.
Air mataku yang jatuh langsung
mongering di pipi. Terlambat.
Denada, Tiara, dan Sri berdiri
beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku
sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang
merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang
salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.
Seandainya
dulu aku bisa lebih peka pada keadaan. Seandainya dulu aku lebih percaya pada teman-temanku,
manusia yang menghabiskan waktu delapan tahun denganku, dibandingkan harus
percaya padanya, lelaki yang baru aku kenal dua tahun terakhir ini.
Lalu aku bisa apa sekarang?
Menyesali yang telah terjadi? Mungkin.
Aku menghela nafas panjang.
“Aku melihatnya jalan sama perempuan
lain.”Kesal Denada waktu itu.
“Iya. Kamu harus percaya.”
Aku mengangguk singkat.
Mereka tidak tahu siapa sebenarnya
yang jalan dengan Hilman itu. mereka kenal dengan perempuan itu? Tidak. itu
pasti sepupunya Hilman atau teman kampusnya atau bisa jadi orang yang menumpang
saja.
Aku sudah jenuh mendengar komentar
buruk mereka tentang Hilman. Laki-laki yang rela datang tengah malam,
hujan-hujanan hanya karena aku berkata aku kangen, lalu mereka bilang
selingkuh. Memang tidak ada yang mustahil di muka bumi ini, tapi coba deh
kalian masukin logika.
Aku mengenal Hilman dua tahun yang
lalu lewat sebuah konser artis. Laki-laki yang murah senyum dan baik. Dan
selama ini Ia menunjukan sikap yang baik-baik saja. Ia selalu datang ke rumah,
kadang membantu ibu belanja ke pasar atau supermarket. Mengangkat barang
belanjaan ibu tanpa dimintai tolong sama sekali. Ia juga sering menemani ayah
begadang sampai larut malam hanya untuk bermain catur. Bahkan Ia lebih sering
menemani ayah dibandingkan menemaniku, kalau sedang di rumah.
“Kamu itu pacaran sama aku atau sama
ayahku sih?”
Kesal aku bertanya padanya namun
hanya dijawab dengan senyuman manisnya.
“Kan kalau pacaran sama anaknya,
harus bisa juga pacaran sama ayahnya. Bukan begitu?”
“Bukan!”Aku menjawab ketus.
Kalau sudah begitu, dengan wajahnya
yang rupawan itu, hidung mancung, alis mata yang tebal dan teratur, mata bulat
mempesona dan dua gigi kelincinya, Ia akan menatapku dan berkata,
“Kamu tetap satu-satunya. Tidak ada
dan tidak akan ada yang lain.”
Memang, beberapa bulan yang lalu aku
memergokinya sedang jalan berdua dengan seorang perempuan yang tidak aku kenal.
Mereka bergandeng mesra seolah tidak menyadari aku berdiri hanya beberapa meter
dari tempat mereka bermesraan. Padahal, dua hari yang lalu aku dengannya baru
saja bertengkar hebat. Aku marah karena ada perempuan lain yang suka sekali
mengiriminya SMS mesra.
“Hilman? Jadi begini kelakukanmu
sebenarnya?”
Teriakku tidak peduli pada tatapan
orang sekitar. Denada yang saat itu sedang berada denganku, segera menarikku
dari kerumunan orang. Memasukkan aku ke dalam mobil lalu memutar musik
sekencang mungkin. Denada mungkin lagi stress, dia menyetel lagu DJ. Tapi bukan
itu tujuannya, Ia sengaja memutar lagu itu karena aku sedang menangis terisak
dalam mobil.
“Sudahlah. Kau sudah lihat kan
sekarang bagaimana dia sebenarnya? aku sudah capek, aku lelah memberitahu yang
sebenarnya tapi kamu tetap tidak percaya.”
Hari itu juga aku putuskan untuk
mengakhiri hubunganku dengan Hilman. Apa yang terjadi? Bisa dipastikan aku
menangis seminggu lebih. Hubunganku yang telah jalan setahun lebih berakhir
dengan kehadiran perempuan itu? aku bahkan tidak percaya hubungan kami telah
berakhir.
Tapi Hilman bukan laki-laki biasa.
Ia berani mendatangi rumahku pada saat aku berada di puncak amarah yang
melemahkanku. Ayah dan Ibu, mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi,
menyuruhku keluar dari kamar hanya untuk menemani Hilman di teras rumah.
“Aku minta maaf.”
“…”
“Aku melakukan itu karena aku
stress. Aku bingung, aku tidak tahu kenapa aku sampai menerima ajakannya untuk
jalan malam itu. Aku mengaku salah. Karena kamu marah padaku waktu itu, itu
yang membuat aku stress. Dan sekarang, kamu mau memutuskan hubungan kita? Kamu
bercanda kan? Aku tidak sanggup hidup tanpamu.”
Hilman. Benarkah itu? aku tidak
sanggup melihat wajahnya yang memelas permohonan maaf dariku. Memang benar
sejak kejadian waktu itu, Ia sempat mengejar mobilku dan Denada tapi memang
dasar Denada yang niat sekali memisahkan kami berdua, Ia menarik gas mobil
sekencang mungkin. Hilman tidak bisa mengejar.
“Kamu mau kan maafkan aku? aku
janji.”
“Janji???”Aku mengangkat kelingking
tangan kananku.
“Janji.”Jawab Hilman sambil meraih
tanganku dan menciumnya. Lembut.
**O**
“Perempuan itu yang
kegatelan.”Kataku pada Denada dan teman-teman lainnya ketika kami saat itu
sedang berada di rumah Tiara untuk mengerjakan tugas kampus.
Mereka sudah tahu aku dan Hilman
baikan lagi kemarin. Bahkan Hilman yang mengantarkanku tadi ke rumah Tiara. Aku
sudah menceritakan pada mereka panjang lebar. Aku sudah menceritakan awal
kejadian ini yang sebenarnya. semua berawal dari aku, yang tidak melakukan check and recheck.
Denada, Tiara dan Sri hanya bisa
mengusap dada mereka. Sudahlah, tidak usah pikirkan mereka. Mereka hanya
terlalu phobia pada laki-laki yang
sangat ramah dengan siapapun. Mereka mungkin tidak pernah memiliki pacar atau
gebetan yang seramah Hilman. Lihat pacarnya Tiara? Dengan kami saja dia jarang
senyum. Kadang kalau kami jalan ramai-ramai, berdelapan dengan pasangan
masing-masing, pasangannya Tiara yang terlihat paling beku. Tiara betah banget
pacaran sama patung.
Aku sangat sayang pada Hilman. Aku
rela menguras tabunganku untuk membantunya membayar biaya rumah sakitnya beberapa
waktu lalu. Aku dan dia itu satu, apa yang aku miliki sudah miliknya juga.
Seperti hatiku, hatinya. Waktu itu Hilman sakit. Sebagai anak rantau dari pulau
seberang, Ia tidak ingin memberatkan orang tuanya. Ia bahkan tidak mau meminta
tolong padaku. Nanti setelah aku paksa, sedikit keras, barulah Ia mengiyakan
menerima bantuanku.
“Kita ini sudah lama, Man. Apa yang
aku miliki, itu juga milik kamu.”
“Nanti aku ganti.”
“Sudahlah. Kamu tidak usah
memikirkan biaya itu. Kamu pikirin dulu kondisi kesehatan kamu.”
Beberapa hari setelah Hilman keluar
dari rumah sakit, giliran Sri yang dengan gemasnya bercerita tentang penglihatannya tadi malam. Ia melihat
Hilman jalan dengan perempuan lain. Tidak tanggung-tanggung, Sri melihat mereka
masuk ke restaurant mahal. Hilman
dapat uang dari mana?
Sorry, bukannya aku berpikiran lain
tentang Hilman, tapi aku tahu keadaan Hilman saat ini. Ia baru saja kehabisan
simpanan untuk biaya rumah sakitnya lalu tiba-tiba setelah sembuh ia makan di restaurant mahal bersama perempuan lain.
Logikaku tidak bisa menerima ini. Sri, kamu kelewatan!
“Aku nggak bohong!”Sri balas
membentakku. Suaranya meninggi, pipi sebelah kanannya bergoyang-goyang.
“Terserah. Kamu mau bicara apapun
tentang Hilman, aku nggak peduli. Aku nggak akan biarin otakku didoktrin
omongan kalian. Aku bosan. Aku capek dengerin kalian ngomongin hal negative
tentang Hilman.”
“Kamu harus dengerin Sri dulu.”Tiara
masuk dalam pembicaraan kami.
“Dengerin dia ngejatuhin Hilman
terus? Tiara? Selama ini aku nggak pernah ngurusin hubungan Sri dengan
pacarnya. Aku nggak pernah sok-sok ngasih pendapat tentang hubungan mereka.”
“Aku ngelakuin ini karena aku sayang
sama kamu.”Sri, nada suaranya mereda.
“Terserah.”
Aku pulang dengan perasaan kesal.
Film yang akan kami nonton baru saja akan dimulai dan aku kehilangan mood untuk menonton film itu. Padahal
diantara kami, aku yang paling menggebu-gebu untuk menonton.
Sampai di rumah, aku menelepon
Hilman, memastikan apa yang dibicarakan Sri tadi benar atau salah.
“Aku di kontrakan sayang. Kamu di
mana?”
“Aku di rumah. Kamu sudah makan?
sudah minum obat?”
“Sudah sayang. Kamu sendiri
bagaimana?”
“Sudah.”
“Sayang, aku kangen. Aku pengen
ketemu, tapi sorry yah, badan aku lagi lemes banget. Tadi saja aku harus minta
tolong Dodit untuk mengambilkan makanan sama minum.”
Aku diam sejenak. Niatku untuk
bertanya kejadian beberapa hari lalu tiba-tiba sirna. Lihat? Kalau Sri ada
denganku sekarang, aku ingin memberikan telepon itu padanya. Mana mungkin
Hilman, yang mau makan dan minum saja minta tolong pada Dodit, jalan berdua
kemarin dulu? Sri memang keterlaluan.
**O**
“Assalamu’alaikum.”
Aku kenal suara siapa itu. Apalagi
yang mau mereka katakan padaku? Mau memfitnah apalagi tentang Hilman? Aku
keluar dari kamar dan menyambut mereka di ruang tamu.
“Aku punya kabar buruk.”
“Nggak usah datang kesini kalau bawa
kabar buruk.”
“ini penting.”Sri menatapku serius.
“Semua yang kalian omongin kemarin
juga begitu. Selalu bilang, ini penting!”
“Tentang Hilman.”
Aku sudah menduga. Benar kan
dugaanku?
“Kami melihatnya di bioskop tadi
malam. Coba saja kamu tidak merajuk dan pulang lebih dulu, kamu pasti akan
melihatnya sendiri.”
“Apalagi? Hilman jalan sama
perempuan lain? bergandengan tangan? Suap-suapan popcorn? Atau pangkuan di dalam studio? Basi.”
“…”Sri tidak jadi bicara ketika
Denada mengeluarkan ponsel dan menyerahkan padaku.
Astagah!
Awalnya aku tidak tertarik menerima
ponselnya, tapi setelah melihat gambar-gambar yang ada dalam ponsel itu, aku
malah terdiam. Dadaku tiba-tiba sakit. Nyeri tak tertahankan. Aku tidak bisa
bernafas. Mataku berair. Aku menggelengkan kepala.
“Nggak mungkin.”
“Harus dengan cara apalagi sih untuk
membuat kamu itu sadar. Hilman itu LAKI-LAKI BAJINGAN!”Tiara yang biasanya
paling pendiam diantara kami bersuara cukup keras.
Hilman bersama perempuan itu lagi,
bergandengan tangan. Perempuan itu bersandar pada pundak Hilman. Hilman
menyuapkan popcorn. Hilman mengusap
kepala perempuan itu. Perempuan itu melingkarkan tangannya ke tubuh Hilman. Ah,
aku hampir pingsan melihat semua foto ini.
“Bukan itu saja. Tadi aku sengaja
lewat di depan kontrakan Hilman. Perempuan itu ada disana. Mereka sedang duduk
berdua di teras rumah.”Sri melanjutkan kalimatnya.
“Tunggu apa lagi? ayo kita ke
sana.”Denada bangkit lebih dulu lalu diikuti teman-teman yang lain.
Aku masih duduk tidak percaya. Ini
tidak mungkin. Laki-laki yang sangat aku banggakan, berbuat seperti ini padaku.
Aku tidak mau. Aku tidak mau pergi kesana, hatiku terlanjur sakit.
“Ayo. Kamu mau nangis disini? percuma.
Ayo berdiri!”Sri menarik lenganku.
Entah apa yang terjadi setelahnya,
yang aku tahu sekarang aku sedang menangis di jok belakang mobil Denada bersama
Tiara. Sri sepanjang jalan mengomel, memberikan ide, masukan dan cara untuk
membalas perbuatan Hilman. Sri… Sri… kamu memang cerewet bahkan dalam situasi
seperti ini.
Kontrakan Hillman tutup. Biasanya
kalau tutup begini semua penghuninya sudah pergi kuliah dan kerja. Tapi tunggu
dulu, di parkiran ada motornya Hilman dan satu motor lagi yang belum pernah aku
lihat sebelumnya.
“Ayo. Apa sih lama-lama dalam
mobil?”
Sri tampak sangat gemas.
Aku menyeka air mataku. Doktrin yang
diberikan Sri sepanjang jalan tadi cukup memberikan aku kekuatan, setidaknya
untuk beberapa menit kedepan. Kamu keterlaluan Hilman.
Aku mengetuk pintu kontrakannya
sangat keras. Nafasku naik turun. Laki-laki tidak tahu terima kasih, aku sudah
memberikannya lebih dari sekedar cinta
dan lihat apa yang Ia lakukan padaku? Dasar!
“Hilman. HILMAN, BUKA PINTUNYA!”
“Maaf siapa ya?”
Sesosok perempuan yang keluar
membukakan pintu. Aku mengamatinya dari ujung rambut yang keriting sampai
kakinya yang mirip kaki lionel messi.
“Kamu yang siapa? DI MANA HILMAN?”
“Maaf, kamu siapa ya?”
“Aku nggak ada urusan sama kamu.”
Saat itulah Hilman muncul dengan
rambut dan tubuh yang basah. Sepertinya dia baru habis mandi. Dia tampak kaget
melihat kedatanganku.
“Eh… Say… Kam.. Kamu sudah dari
tadi? kamu..”
“Kamu sudah sembuh?”Aku bertanya
sambil berjalan pelan mendekatinya.
“Eh.. I..iya.. syukur.”
Hilman menjawab gelagapan.
“Cepat banget ya? Padahal semalam
makannya minta tolong sama Dodit.”
“Eh… Anu… itu… obat.. o…obat yang
diberikan dokter. Obatnya ampuh.”
“Atau.. kamu memang sudah sembuh?”
“Tidak mungkin aku sudah sembuh.”
“Lah, semalam kan nonton di bioskop
sama perempuan tidak tahu diri ini.”
“Kata siapa?”
Praakk!!!
For the first time in my life, aku mendaratkan tamparan
keras pada pipi manusia.
Hilman terkejut bukan kepalang. Ia
memegangi pipinya yang sepertinya sangat sakit.
“Aku bisa jelasin…”
Praakkk…
Ekstra double, baby…
“Aku…
kamu dengerin penjelasan aku dulu.”
Duar!!!!
Goall…
Aku
sepertinya berbakat jadi pemain bola menggantikan Christiano Ronaldo. Tendanganku tepat mengenai alat vitalnya. Hanya
dengan memakai handuk seperti itu membuat tendanganku goal tanpa penjaga gawangnya.
Hilman mengeram kesakitan, matanya
memelotot, nafasnya tertahan untuk beberapa detik dan langsung disusul dengan
teriakan super keras. Ia jatuh tersungkur. Dasar, ini belum cukup laki-laki
tidak tahu diri! Ia memegangi alat vitalnya. Sakit? kasihan…
**O**
Jujur saja, setelah kejadian itu aku
menangis hampir setiap hari. Bukan karena melihatnya tersakiti seperti itu,
tapi menangisi kebodohanku. Menangisi aku yang tidak terlalu peduli pada
komentar teman-temanku. Seandainya dari dulu aku tahu, mungkin aku tidak akan
merasakannya sesakit ini.
Angin berhembus pelan.
Air mataku yang jatuh langsung
mongering di pipi. Terlambat.
Denada, Tiara, dan Sri berdiri
beberapa meter di belakangku. Mereka tahu aku sedang menangis. Mereka tahu aku
sangat rapuh tapi mereka tidak mendekat sama sekali. Mereka tidak datang
merangkulku, memeluk sambil menenangkanku. Tidak. Aku juga tahu, aku yang
salah. Aku tidak akan memaksa untuk menangis dalam pelukan mereka. Aku yang terlalu bodoh mencintainya.
**O**
“Kamu mau kan maafkan aku?”
“Aku sudah memaafkan sebulan sejak
kejadian itu. aku juga minta maaf, tendanganku sakit ya?”
“Iya. Lumayan keras. Ternyata kamu
ahli juga yah?”Dia tersenyum, menggoda.
“Itu belum apa-apa. Sebenarnya aku
bisa memberikan yang lebih, tapi sayang, aku rasa perempuanmu itu masih
membutuhkan itumu.”
“Dia sudah pergi.”Nada suara Hilman
melemah.
Terus? Aku harus bilang WOW? Begitu?
Atau harus ditambah ekstra, multi platinum WOW?
“Kamu mau kan balikan denganku
lagi?”
Hah? Balikan dengan laki-laki tidak
tahu diri sepertimu? Beruntung aku tidak pernah mengungkit biaya rumah sakit
yang sekarang sudah lama sekali kamu tidak kembalikan. Aku memang ikhlas
memberikannya untukmu, tapi karena kamu sendiri yang dengan sombongnya bilang
itu hanya pinjaman maka aku mencatatnya sebagai piutang yang kemungkinan besar tidak akan tertagih.
“Kamu
mau kan, sayang?”
“Sayang….sekali aku sudah tidak
bodoh.”jawabku sambil tersenyum.
“Aku sudah wisuda sarjana. Aku
sekarang sudah bekerja disalah satu Bank. Aku juga sudah pandai mengelola butik
dan distro milikku. Aku sudah bisa bawa mobil sendiri. itu semua menunjukan aku
tidak bodoh lagi, sayang.”Lanjutku.
“Kamu tidak cinta lagi padaku?”
Deg!
Dua
tahun lebih atau mungkin tiga tahun sudah aku mencoba melupakanmu, tapi tidak
bisa Hilman. Seandainya aku sudah tidak cinta, tidak mungkin aku datang
menemuimu saat ini. Tapi, bagi aku cinta itu logika berperasaan.
Logikaku harus peka apalagi terhadap
rayuanmu yang bisa menghanyutkan. Logikaku sekarang sudah bisa merasa, mana
yang tulus dan mana yang modus. Mana yang jujur dan mana yang hancur.
Sayang sekali Hilman, aku memang mencintaimu tapi bukan
berarti aku harus mengulangi kebodohanku tiga tahun lalu. Jika kamu memang
mencintaiku, seharusnya kamu tahu bahwa cinta memang tidak selamanya bisa
memiliki. Hilman, silahkan cari perempuan lain yang bisa kau jadikan Bank dalam hidupmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar