Selasa, 24 Februari 2015

Demi Waktu

                Aku menarik nafas cukup panjang. Wajahmu merah merona diterpa cahaya remang-remang dalam kafe dengan desain interior ala-ala italia. Hampir tiga puluh menit kita saling diam satu sama lain. Tidak ada yang berani membuka pembicaraan, entah itu aku atau dirimu.
                Seorang pelayan dengan kemeja abu-abu dan celana hitam polos mendekat, meletakan menu pesanan kita kemudian diam sejenak. Aku tahu pelayan itu sekarang sedang memandangi kebekuan diantara kita. Hanya beberapa saat saja, kemudian pelayan itu berlalu menemui pelanggan lainnya yang baru saja datang dan tampak kebingungan memilih tempat. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
()*()
                Seandainya saja kamu menceritakan semuanya sejak awal, mungkin aku tidak akan semarah ini. Bisa saja aku mengendalikan semua yang kurasa. Aku yakin aku pasti bisa. Tapi apa yang terjadi? Sekian bulan kau menyembunyikannya, membuatku baik-baik saja padahal ada sesuatu yang tersembunyi. Sangat rapat dan rapi sehingga tampak tidak terjadi apa-apa.
                Ice lemon tea kesukaanmu bahkan sama sekali tak tersentuh oleh tangan lembutmu. Aku yakin sekarang kau sedang menyiapkan seribu alasan untuk memperbaiki semua ini. Percuma. Aku tidak bisa dibujuk dengan seribu alasan itu. Basi!
()*()
                “Rizki, boleh aku minta tolong?”suara perempuan muda tiba-tiba terdengar pelan.
                Aku yang saat itu sedang duduk di sofa dalam kamar rawat ini sontak berdiri, mendekatinya.
                “Ada apa?”
                “Aku haus. Boleh ambilkan aku air?”
                “Kenapa harus minta tolong? Tunggu sebentar ya?”aku mengusap pelan kepalanya sambil tersenyum.
                “Bagaimana keadaanmu sekarang?”Tanyaku setelah Ia meneguk air.
                “Lumayan. Kamu? belum pulang?”
                “Belum. Nggak mungkin aku ninggalin kamu sendirian, Ca.”
                Caca tersenyum manis.
                “Kamu cepat sembuh ya? Ada banyak hal yang ingin sekali aku tunjukan padamu. Tempat bermain kita dulu sekarang sudah berubah. Pokoknya seru, kamu pasti suka.”
                “Banyak? oh ya?”
                “Iya. Kamu nggak sadar? Hampir sepuluh tahun kamu menghilang tanpa kabar sama sekali.”
                “Aku minta maaf. Aku nggak mungkin menceritakan semua ini padamu.”
                “Kenapa?”
                “Aku takut kamu akan menjauh karena penyakitku ini.”
                “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Sedikitpun. Itu janjiku di dekat dermaga waktu kecil dulu. Kamu pasti nggak lupa?”
()*()
                “Say…”
                Aku menepis tanganmu sesaat sebelum jemari yang aku rindukan itu mendarat diatas tanganku. Jangan mencoba untuk merayuku. Kamu tidak tahu apa  yang aku rasakan ketika mengetahui semua ini. Kenapa tidak dari dulu? Kenapa baru sekarang, disaat cintaku tumbuh semakin besar untukmu, kau malah mengkhianatiku.
                “Aku minta maaf.”
                “Semudah itu?”aku menatapnya tajam. Meskipun aku harus mengakui, aku tidak sanggup bertatapan dengan bola mata yang selalu meneduhkan hati.
                “Seharusnya aku menceritakannya dari dulu.”
                “Ya. Tapi sayangnya kamu tidak pernah melakukan itu.”
()*()
                Aku mendorong kursi roda yang diduduki Caca menuju taman kecil di tengah rumah sakit ini. Caca perlu cahaya matahari pagi untuk kesembuhannya. Sepanjang koridor, Ia tidak pernah henti memegangi punggung tanganku.
                “Ki.”
                “Ya?”
                “Aku nggak menyangka kamu akan menungguku selama ini.”
                “Seorang sahabat nggak akan pernah jenuh menanti kepulangan sahabatnya.”
                Perlahan tangannya melepaskan punggung tanganku. Lesu.
                “Oh. Jadi hanya karena aku sahabatmu?”
                “Kenapa kamu bicara seperti itu?”aku maju beberapa langkah lalu memutar menghadap kearahnya, dengan posisi setengah membungkuk aku menyentuh dagunya.
                “…”
                “Kamu itu sahabat hatiku, Ca.”
()*()
                Akhir-akhir ini kamu mulai berubah. Setiap saat aku mengajak ketemu, kamu selalu saja menolaknya dengan banyak alasan. Termasuk ketika kamu beralasan sibuk menemani sepupumu yang baru pulang dari kuala lumpur. Aku merasakan itu. Kamu mulai berubah semenjak kepulangan sepupumu itu.
                Aku memutuskan untuk menemuimu saat ini juga. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku takut terjadi apa-apa denganmu, lalu kamu tidak mau aku mengetahui hal itu karena aku akan sedih. Aku tidak boleh membiarkanmu sakit seorang diri. Aku tahu dimana sekarang kamu berada.
()*()
                Satu setengah jam berlalu.
                Dingin masih mengudara diantara kita. Pelanggan yang datang belakangan dibanding kita berdua, baru saja meninggalkan kafe ini. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sementara perempuan yang satunya masih terdiam di tempat duduknya. Sama sekali tidak merespon kepergian dua temannya itu.
                “Apa yang kamu perhatikan?”
                “Tidak ada.”
                “Berbohong lagi?”
                Entah bagaimana caranya untuk meyakinkanmu, bahwa aku masih mencintaimu.
()*()
                “Jangan tinggalin aku lagi, Ki.”Bisik Caca pelan.
                Aku melingkarkan tanganku kedepan, mendekapnya dari belakang.
                “Aku janji, aku nggak akan pernah ninggalin kamu Ca. Nggak akan pernah, asal kamu janji, nggak akan menyembunyikan lagi apa-apa dariku.”
                “Janji.”ucapnya. Membuatku gemas, lalu mencubiti hidungnya pelan. Persis seperti yang sering aku lakukan dulu, sepuluh tahun yang lalu. Ia membiarkannya bahkan sempat menahan jariku agar tidak melepaskan hidungnya.
                “Tahan ya. Aku rindu dicubitin seperti ini.”
()*()
                “Rizki????”
                Ekspresimu terkejut bukan kepalang ketika melihat aku sudah berdiri di depanmu. Hanya berjarak tiga meter dari perempuan di kursi roda yang hidungnya sedang kau cubit itu. Nafasku naik turun. Perempuan yang sedang duduk di kursi roda itu nampaknya tidak terlalu terkejut. Ia bahkan melemparkan senyumnya, berbeda denganmu yang masih melotot seolah tidak percaya pada apa yang sedang kau lihat sekarang.
                Sementara aku? oh tuhan. Pantas saja akhir-akhir aku merasakan ada yang aneh dengan perasaanku. Setiap kali mengingatmu, jantungku selalu berdebar kencang. Sangat kuat. Jadi ini?
()*()
                Sekali lagi kau menepis tanganku. Membuatku tak berdaya bagai seorang anak kecil yang merayu ibunya untuk dibelikan mainan. Kau pasti marah. Aku memang salah. Tidak seharusnya aku menyembunyikan hal ini, tak sepantasnya aku membohongimu.
                “Siapa perempuan tadi?”suaramu bertanya dengan nada bergetar. Aku bisa merasakan cemburu dalam hembusan nafasmu itu.
                “Dia…”
                “Dia pasti bukan sepupumu.”
                Aku diam.
                Hubungan kita baru berjalan hampir enam bulan. Tentu saja aku tidak ingin merusak semua kenangan yang telah kita lalui bersama. Bagiku, enam bulan bukanlah waktu yang singkat. Tidak mungkin aku menceritakan siapa perempuan itu sebenarnya sebab aku tidak ingin hubungan kita akan berakhir. Meskipun aku juga tidak bisa meninggalkan perempuan itu.
                “Dia teman kecilku dulu.”
                “Yang sering kau ceritakan itu? yang sering bersamamu duduk di dermaga saat sore hari, menjemput malam sambil melambaikan tangan pada matahari yang perlahan tenggelam?”
                Aku mengangguk singkat.
                “Dia lebih dari sahabat.”
                Seandainya waktu dapat ku putar kembali, tentu saat itu aku tidak akan pernah mengatakan perasaanku padamu. Sebab saat itu, ketika perasaanku menggebu-gebu padamu, saat itu juga aku masih mengharapkan Ia kembali. Aku masih menginginkan Caca pulang. Meskipun aku tidak sepenuhnya yakin.
                “Hanya sahabat?”
                “Dia cinta masa kecilku.”
                “Kenapa tidak mengatakannya dari awal?”
                “Aku takut kehilanganmu.”
                “Baiklah kalau kau benar-benar takut kehilanganku, sekarang kau putuskan, memilih aku atau dirinya?”
                Aku menggeleng.
                “Kamu harus memilih, aku atau dirinya??? RIZKI? Jangan membuatku menunggu?”Kau mulai sesenggukan.
                “Maafkan aku. Aku memilih Caca.”Ucapku terpaksa. Aku sudah berjanji untuk tidak akan pernah meninggalkan lagi perempuan itu.
                “Kita putus.”Suaramu mengudara begitu saja. Lalu kau pergi, meninggalkanku seorang diri. Persis dengan perempuan yang masih duduk di kursi sebelah. Sendirian. Mengutuk kesalahanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar