Kamis, 16 Januari 2014

Love on the end of winter


            Demelza mematut dirinya didepan cermin. Mengamati tiap lekuk tubuhnya yang indah. Wajahnya yang cantik tergambar jelas. Menawan dengan senyumnya yang indah. Rambutnya terurai. Hitam lebat. Matanya bulat sempurna. Mempesona.
            Siapapun yang melihatnya pasti akan menduga kalau Melza seorang bintang film ternama. Senyumnya yang ramah selalu saja menipu banyak orang.
            Sebentar…
            Senyumnya. Senyum Melza tidak setulus biasanya. Perlahan lenyap lalu berubah. Air mukanya, dalam sekian detik berubah gelap. Murung. Sedetik kemudian, air mata mengalir pelan. Ia menangis.
            Nafasnya tercekat untuk beberapa saat.
            Begitulah Ia. Setiap saat, setelah menyelesaikan satu pekerjaan penting, maka penyesalan yang akan menghinggapi dirinya. Menggerogoti tiap inci dalam tubuhnya. Jijik : satu kata yang sering terbersit dalam kepalanya.
            Melza Terisak. Ia tidak menyangka semua terjadi sampai sejauh ini. Ingin rasanya ia meninggalkan pekerjaan menjijikan itu. Namun setiap kali ia mulai untuk berpikir jernih, bayangan orang tua dan adik-adiknya yang masih kecil langsung terbayang. Terpaksa untuk bertahan sampai tiba saatnya untuk pergi dari dunia gelap.
            Pelacur.
            Melza bangkit lalu meraih palto dan mengenakannya. Seorang pria bertubuh kurus terlentang nyenyak diatas tempat tidur. Dadanya yang berbulu lebat dibiarkan terbuka. Hanya selimut tebal yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Andaikan kamar disalah satu hotel ternama di kota Manchester tidak menyediakan penghangat ruangan, sudah dipastikan pria itu akan membeku dengan sendirinya.
            Ia mengambil beberapa lembar dollar dari atas meja rias. Menghitungnya kemudian memasukannya kedalam dompet kecil. Sebelum pergi, Ia sempat berbicara dengan bayangannya.
            “Jangan khawatir Melza. Suatu saat kamu akan menjauh dari dunia ini. Bertahanlah sejenak, ini demi orang tua dan adik-adikmu. Siapa yang akan membiayai hidup dan sekolah mereka kalau bukan kamu? Kamu anak sulung dan sudah semestinya anak sulung yang bekerja”
            Melza melangkah keluar. Mematikan lampu kamar lalu menutup pintu dari luar. Ia melangkah cepat, menuruni lift lalu berpamitan pada seorang perempuan di lobby hotel. Dari penampilannya, perempuan itu sepertinya seorang recepcionist.
            Wush…
            Belum genap melangkah keluar, Melza tiba-tiba menggigil. Angin musim salju memaksanya untuk mengeratkan palto. Ia berjalan cepat diatas gundukan salju sambil memeluk dada dan sesekali menghembuskan nafas ke udara.
            Beruntung, apartemen miliknya tidak terlalu jauh dari hotel. Ia tidak perlu menunggu bus atau kenderaan umum lainnya. Ia hanya perlu melangkah cepat, dua kali menyeberang jalan lalu berjalan melintasi gang kecil untuk sampai di apartemen miliknya.
            Melza singgah di sebuah minimarket untuk berbelanja keperluan bulanan. Roti, daging, sayuran, buah-buahan dan susu. Ia juga membeli beberapa bungkus snack, coklat dan softdrink.
            “Melza?”Seorang pemuda berkacamata berjalan menghampirinya.
            Tinggi dengan body atletis. Langkahnya tegap. Wajahnya putih bersih dengan alis tebal dan hidung mancung. Ia menggunakan palto berwarna coklat muda.
            “Franklin?”
            Melza tak menduga akan bertemu dengan teman kuliahnya di minimarket itu.
            “Sedang apa kamu disini?”
            “Seperti yang kamu lihat. Belanja kebutuhan bulanan. Kamu sendiri sedang apa? bukannya rumahmu cukup jauh dari sini?”
            “Semalam aku ketiduran diapartemen milik temanku. Tugas kuliah dari Mr. Cole sungguh menyiksa. Tentunya kamu kenal dengan dia bukan?”
            Mr. Cole???
            Melza tergugup. Pria itu : Mr. Cole. Pria yang ia tinggalkan terbaring dikamar hotel tadi. Pria yang bersama dengannya semalaman penuh. Menikmati hingar bingar disebuah kelab malam dipinggiran kota Manchester. Pria kurus yang tidak lain seorang dosen dikampusnya.
            “Iya”Sahutnya singkat.
            Melza sebenarnya tidak ingin membahas pria itu. Baginya, Mr. Cole hanya dikenalnya setiap kali melakukan pekerjaan itu. Selebihnya ia benci mendengar nama itu. Mengapa Ia sebenci itu, Ia pun tidak mengerti. Yang pasti, ia sangat membenci Mr. Cole.
            “Apa Ia pernah memberikan kalian tugas kuliah yang menyiksa?”
            “Menyiksa?”
            “Ia”
            “Menyiksa bagaimana menurutmu?”
            "Begitulah. Karena sangat menyiksa sampai sulit untuk digambarkan dengan kata-kata”Jawab Franklin.
            “Heheheh”
            “Kenapa kamu tertawa?”
            “Lucu saja. Oh ya, setelah ini kamu mau kemana?”
            “Pulang”
            “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu ke kedai didepan sana. Itupun kalau kamu tidak terburu-buru”
            “Boleh. Siapa yang bayar?”Franklin menyunggingkan bibirnya.
            “Aku. Kan aku yang mengajakmu?”
            “Baiklah. Tunggu sebentar sepertinya aku melupakan sesuatu. Nanti kita ketemu saja diluar. Okey?”
            Franklin melesat pergi. Sementara Melza langsung menuju meja kasir untuk membayar belanjaannya. Setelah itu Ia tidak langsung keluar. Udara yang sangat dingin menjadikannya malas berlama-lama diluar. Musim salju memang akan segera berakhir. Tapi siapa sangka alam sangat suka bermain-main. Cuaca sering tidak stabil.
            Franklin, pemuda tampan dan cukup cerdas dikampusnya. Mereka pernah sekelas dulu waktu diawal-awal perkuliahan. Selain cerdas, franklin juga aktif dibidang olahraga. Banyak gadis-gadis kampus yang menggilainya. Meski begitu, tak pernah tersiar kabar sekalipun bahwa Franklin mempermainkan gadis-gadis itu. Franklin not a playboy.
            “Sudah siap?”
            “Ayo”
            Demelza melangkah lebih dulu. Lalu tiba-tiba, dari belakang Franklin menarik tangannya. Memegangnya erat. Melza cukup kaget. Ia menengok ke samping. Tapi Franklin sepertinya tidak terlalu peduli dengan gerakannya yang membuat Melza kaget.
            Mereka berjalan beriringan menyeberangi jalan. Kedai untuk minum kopi ada diseberang sana. Sudah buka dan sudah dipenuhi pengunjung. Itu kedai favorit Melza. Karena lokasinya yang dekat dari apartemennya.
            Sebelum masuk Ia berhenti sejenak. Mengambil ponselnya lalu tersenyum ketika tahu kalau ibunya yang menelepon.
            “Iya Mah?”
            “Bagaimana kabarmu Mel? Apa kamu baik-baik saja”
            “Iya. Melza baik-baik saja. bagaimana kabar papa dan adik-adik?”
            “Mereka juga baik. Adikmu, Devald, besok harus bayar uang kursus bahasa spanyolnya. Tabungan mama sudah tidak cukup. Kamu mengerti kan?”
            “Melza mengerti. Sebentar Melza langsung transfer. Baru setelah itu Melza akan segera kabari. Jaga kesehatan ya Mah. Salam untuk papa dan adik-adik. Bye…”
            Pembicaraan terputus.
            Franklin sudah berada didalam kedai. Mengambil tempat yang berdekatan dengan meja kasir. Ia belum memesan apa-apa. Melza masuk lalu duduk dihadapannya. Mereka kompak memesan coklat panas.
            Melza harus sesegera mungkin mengirimkan uang untuk biaya kursus adiknya. Devald memang sangat tergila-gila dengan spanyol. Ia bercita-cita suatu saat nanti bisa pergi ke spanyol dan berdiam disana. Menjadi pemain sepakbola. Seperti Lionel Messi atau Christiano Ronaldo. Bukan warga asli spanyol tapi bersinar terang.
            Mereka berbincang-bincang cukup serius. Menarik. Sesekali diselingi tawa. Franklin suka sekali melucu. Apa yang ia katakan selalu saja tidak masuk akal.
            “Aku yakin, kalau Mr. Radolvo ikut gabung di team inti Manchester United, Read Devil pasti akan menang di Champion League musim ini.”
            Tentu saja Melza terpingkal. Siapa Mr. Radolvo? Ia hanya tukang kebun di universitas. Usianya juga sudah lebih dari setengah abad. Mau jadi apa dia di team Manchester United? Tukang bersih-bersih lapangan sebelum bertanding? Atau membersihkan ruang ganti? Atau mengumpul sepatu? Franklin ada-ada saja.
            Mereka cukup lama berada disana. Hingga pukul sepuluh pagi. Franklin sudah memesan tiga gelas coklat hangat. Sementara Melza baru dua coklat hangat tapi sudah diselingi dengan sepiring mini spaghety, menu khas kedai itu.
            “Melza”Franklin memanggil dengan sedikit berbisik.
            “Ada apa?”
            “Lihat itu”Dengan gerakan kepala yang sedikit dimajukan, franklin menunjuk seseorang.
            Melza memutar kepalanya. Dengan gesit Ia menarik kembali pandangannya. Alisnya berkerut samar. Mr. Cole? Apa yang Ia lakukan disini?
            “Kamu masih lama? aku ingin pulang.”
            “Loh? Ada apa? kok tiba-tiba begini?”
            Franklin tak akan mengerti. Melza tidak ingin Mr. Cole mendekati mereka lalu dengan tanpa bersalah membongkar kejadian semalam di kelab. Membongkar rahasianya. Tapi…
            “Franklin? Bagaimana tugasmu?”
            Melza tak bisa berbuat apa-apa. Suara itu sangat dikenal olehnya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat cepat. Kini, Mr. Cole sudah berdiri tepat dibelakangnya. Rasanya ada suatu benda berat yang terletak dipundaknya. Membuatnya tak bisa menoleh. Antara tak bisa atau tak ingin, entahlah…
            “Oh Mr. Cole. Sudah selesai. Aku dan Darwin sampai lembur mengerjakannya.”
            “Baguslah. Jangan lupa jam dua siang aku sudah menerimanya di emailku. Kau ingat?”
            “Iya Mr. Cole. Jangan khawatir”
            “Oh, Demelza?”Suara itu kini menyapanya.
            Demelza berusaha memutar kepalanya.
            “Mr. Cole?”
            “Kalian berdua…pacaran?”
            “Oh tidak. Kami hanya berteman. Tadi kami bertemu di minimarket didepan sana. Tidak ada salahnya bukan kalau kami singgah sebentar di kedai ini?”Franklin buru-buru menyergahnya.
            “Oh, tidak masalah juga kalau kalian berdua pacaran. Bukankah kalian berdua sama-sama tidak punya pacar? Atau…”Mr. Cole menggantung kalimatnya. Memandangi dua mahasiswanya namun cukup lama saat bertatapan dengan Melza. “…Sudahlah tidak penting. Aku harus pergi dulu, ada temanku baru datang dari wigan. Aku harus menemaninya. Sampai jumpa”
            Melza mendesah cukup panjang. Mr. Cole tidak membongkar rahasianya. Jantungnya serasa mau copot. Ia tidak menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya jika Mr. Cole membongkar semuanya. Mengobrak-abrik rahasianya didepan Franklin.
***_***
            Memasuki penghujung musim dingin. Seperti biasanya. Hari ini Melza pulang pagi lagi. Ia berjalan pelan menaiki anak tangga menuju flat miliknya. Apartemen mungil itu hanya terdiri dari lima lantai dan masih menggunakan tangga. Flatnya sendiri terletak di lantai tiga. Hanya ada enam flat di lantai tiga bangunan bergaya klasik itu.
            Pria yang semalam suntuk bersamanya cukup menarik. Bukan tipikal pria hidung belang seperti yang sering ia temui. Pria yang sangat anti pada minuman keras dan rokok. Pria yang menarik dimatanya. Tampan dan terkesan dewasa. Namun tetap saja, hidung belang.
            Pria itu tidak lain adalah teman Mr. Cole. Pria yang disebut Mr.Cole saat berjumpa dengannya di kedai kopi beberapa minggu yang lalu.
            Melza mengeluarkan kunci dari dalam saku palto lalu membuka pintu. Ia cukup terkejut melihat lampu didalam flatnya telah mati. Ia masih ingat semalam sebelum pergi lampu itu ia biarkan dalam keadaan menyala.
            “Sudah pulang, Za?”Suara itu menyahut dari dapur.
            Melza meletakan tas di sofa kemudian berjalan menuju dapur.
            Aland sedang berdiri disana. Dengan mengenakan celemek bermotif kotak-kotak biru, pemuda itu tampak sedang memasak. Melza tidak akan heran dan bertanya mengapa Aland sampai ada didapurnya.
            Aland – pemuda yang menjadi temannya sejak tiga tahun yang lalu. Aland tinggal di flat tepat didepan flat miliknya. Ia tinggal bersama ibunya. Aland memiliki usia sedikit lebih muda dari Melza. Ia masih 24 tahun sementara Melza baru saja menginjak 25 tahun, oktober kemarin.
            “Aku buatkan omelette untukmu. Kamu pasti lapar bukan?”Aland meletakan hasil masakannya keatas meja.
            “Terima kasih, tapi kamu tidak perlu repot-repot seperti ini”
            “Repot? Katamu repot? Ah, kamu berlebihan Za. Kita sudah berteman cukup lama, dan hanya membuatkanmu omelette katamu merepotkan? Tenang saja, aku tidak merasa direpotkan sama sekali”
            “Terima kasih”
            “Sama-sama”
            “Aku ganti pakaian dulu, setelah itu kita makan bareng. Bagaimana?”
            Aland tidak menyahut. Tapi jempolnya yang mengudara sudah menjadi jawaban untuk Melza.
            Usai berganti pakaian mereka bertemu lagi didapur. Ada beberapa lembar roti panggang, omelette dan dua gelas capucino.
            “Lembur lagi?”Aland membuka pembicaraan diantara mereka.
            “Begitulah”sahut Melza, pelan.
            Sebenarnya Melza tidak tega terus-terusan berbohong pada Aland. Sejak awal perkenalan mereka, Melza mengaku pada Aland bahwa Ia bekerja disalah satu hotel di pusat kota Manchester. Dan dengan lugunya, Aland mempercayai hal itu.
            “Apakah kamu tidak merasa capek selalu pulang pagi seperti ini?”
            “Tentu tidak Aland. Ini pekerjaanku, dan sudah pasti aku harus menyenanginya”
            “…”
            “Lagipula aku tidak setiap hari pulang pagi”
            “Yah”Aland menunduk sejenak lalu mengangkat lagi kepalanya.
            “Semalam ada seseorang yang datang mencarimu. Laki-laki berkacamata. Katanya ia teman kampusmu. Aku lupa bertanya siapa namanya”
            “Oh ya???”
            Melza mengingat-ingat sesuatu. Ia lalu berdecak pelan. Ia lupa kalau ada janji dengan Franklin. Dengan buru-buru Ia berlari kedalam kamar lalu kembali sambil membawa ponsel yang baru saja Ia hidupkan. Semalam sengaja Ia matikan agar tidak ada yang mengganggu.
            Satu pesan masuk.
            Melza, kamu dimana? Kita jadi jalan malam ini?
            Melza dengan lincah memainkan jemarinya diatas tombol ponselnya.
            Aku minta maaf. Semalam handphoneku mati. Baterainya lowbatt. Sorry…
            Message Sent.
            “Kamu sangat menyayangi keluargamu ya?”Tiba-tiba saja Aland menanyakan hal itu.
            Melza menganggukan kepalanya. Itu sudah pasti. Ibu, Ayah dan adik-adik merupakan harta paling berharga yang Ia miliki. Jikapun harus ditukar dengan bumi beserta isinya, Ia tidak akan rela.
            “Kenapa bertanya seperti itu?”Kini giliran Melza yang balik bertanya.
            “Entahlah. Aku rasa kamu sangat beruntung, memiliki keluarga yang lengkap. Saling sayang”mata Aland tidak bergerak dari layar ponsel milik Melza. Jelas saja Ia terus memandangi layar ponsel yang memasang foto keluarganya sebagai wallpaper ponsel Melza.
            “Kamu bicara apa Aland?”
            “Yah. Kamu sangat beruntung. Kamu memiliki ayah yang sangat sayang padamu dan keluargamu. Tak seperti aku. Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi cengeng seperti ini?”Katanya lalu menyeka butiran Kristal yang tiba-tiba saja jatuh tanpa perintah.
            “Aland, kamu seharusnya tahu bahwa hidup itu tidak selamanya putih dan indah. Pasti, pasti ada beberapa bagian yang hitam gelap. Jalani saja…”
            “Seperti aku? Aku tidak sebahagia yang kamu pikirkan. Bodoh saja jika kamu menyangka aku hidup penuh kebahagiaan. Aku hidup dalam dunia yang gelap. Sangat gelap Aland, hingga kalau kamu berani masuk kedalamnya kamu akan tersesat dan tidak akan pernah menemukan jalan untuk keluar.”Lanjutnya dalam hati.
            Usai sarapan bersama, mereka menuju ruang tengah yang bersambungan langsung dengan ruang tamu. LED TV berukuran cukup besar menempel di dinding. Melza mengambil remot lalu menyalakannya.
            “Kamu suka pertandingan sepakbola juga?”Tanya Aland.
            “Iya”Melza mengangguk cepat.
            Meski hanya siaran ulang, tapi pertandingan itu cukup menyita perhatiannya. Orang-orang lebih sering menyebutnya dengan derby Manchester. Manchester City melawan Manchester United. Yang menyita perhatiannya adalah Manchester City yang sudah memimpin pertandingan dengan dua gol.
            “Kamu menjagokan yang mana?”
            “Aku sama sekali tidak tertarik dengan sepakbola inggris. Bosan”Jawab Aland.
            “Apa katamu? Bosan?”
            “Iya bosan. Aku lebih suka menyaksikan pertandingan El Clasico antara Real Madrid dan Barcelona. Itu baru seru. Ada dua bintang top dunia bermain di Spanyol, dan sudah tentu menjadikan liga spanyol menjadi liga terbaik di dunia saat ini”
            “OOOH GOD!!! Kamu sama saja dengan adikku, Devald. Asal kalian tahu saja, sepakbola spanyol itu sangat menjenuhkan. Kalau bukan Barcelona pasti real Madrid. Begitu seterusnya. Itu jelas sangat membosankan Aland. Coba lihat di inggris, Duo Manchester, Arsenal, Liverpool, Chelsea dan banyak lagi. Mereka bersaing satu sama lain. itu baru seru”
            “Apa katamu sajalah”Aland sepertinya sudah tahu karakter dari Melza. Tidak ada gunanya sama sekali untuk membantah. Ia hanya diam. Mematung dengan ikhlas sambil memandangi wajah Melza. Cantik.
            “Melza…”
            “Yah, ada apa?”Melza sama sekali tak mengalihkan pandangan dari layar TV.
            “Melza, ada yang ingin aku katakan padamu”
            “Katakan saja”
            “Melza, dengarkan aku”
            “Aku mendengarkanmu, Aland”
            “Ini penting”
            “Iya katakan saja”
            “Aku…Aku…aku menyukaimu, Melza”
            Melza tersentak kaget lalu menoleh.  Matanya melotot tajam kearah Aland. Ia bahkan tidak menyadari kalau salah satu pemain dari Manchester city sudah menambah pundi-pundi gol mereka. 3 – 0 untuk Manchester City.
            “Kamu bercanda”
            “Aku serius”
            “Hahahah. Kamu itu lucu sekali, Aland”Ujar Melza lalu bangkit.
            Belum sempat Ia melangkah, tiba-tiba saja Aland menahannya. Membuatnya terpaksa menoleh dan memandang dalam-dalam sorot mata laki-laki itu.
            “Aku serius. Aku tidak bercanda Demelza. Aku menyukaimu, sejak awal kita bertemu.”
            “Ini tidak mungkin”
            “Kenapa?”
            Melza bergumam tidak jelas. Yang pasti, Ia tidak bisa menerima hal itu begitu saja. Aland menyukainya? Ini sangat konyol. Bukan karena mereka berteman. Itu bukanlah alasan untuk menolak cinta dari sahabat sendiri. Bukan!
            “Kamu tidak mengerti Aland”
            “Kalau begitu buat aku mengerti”
            “Tidak bisa”
            “Aku pasti bisa. Aku akan mengerti semuanya, segalanya tentangmu. Apakah kamu tidak percaya padaku?”
            “Bukan Aland, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya padamu”
            “Kenapa?”
            “…”
            “Kenapa? Jelaskan saja!”
            “tidak bisa. Kamu tidak akan pernah mengerti”
            “Aku menyukaimu dan aku akan berusaha mengerti semuanya. Semua tentang kamu, Melza.”
            “Kamu tidak akan mengerti. Kamu sepantasnya mendapatkan perempuan yang lebih baik. Jauh lebih baik dari aku. BUKAN PELACUR SEPERTIKU!”Melza berteriak sekencang mungkin didalam hatinya.
            “Apa karena laki-laki berkacamata itu? Apakah Ia pacarmu?”
            “Siapa?”
            “Dia yang mencarimu semalam”
            “Dengar Aland. Ia hanya teman kampusku”
            “Lalu kenapa? Jelaskan padaku!”
            “Berhenti memaksaku Aland. BERHENTI!!!”Suara Melza pecah. Menggema didalam flat.
            Sekejap, ruang tengah itu mendadak dingin. Membeku. Aland diam tidak menyahut. Ia kecewa. Mendung segera menyelimuti raut wajahnya. Tanpa pamit, laki-laki itu langsung pergi. Keluar.
            “Maafkan aku Aland”Ujar Melza namun percuma sudah berada diluar.
            “Kamu tidak akan mengerti. Sampai kapanpun, aku tidak akan pantas untukmu. Aku ini kotor. Sangat kotor, Aland”
            Ruang itu kini benar-benar membeku. Dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar