“Benarkah kau mencintaiku?”
“Ya”
“Kalau begitu biarkan aku pergi. aku tak pantas
untuk mendapatkan kesetiaanmu”
*_*_*
Faris
memandangi lilin-lilin kecil didepannya. Api yang menari-nari diatasnya seakan
mengikuti irama lembut angin yang berhembus dari jendela di apartemennya. Dua
jam berlalu dari waktu yang telah disepakati namun Kania belum juga datang.
Ia
berdiri tidak semangat. Melangkah lambat menuju jendela. Ia bermaksud menutup
jendela. Tak ada gunanya menanti. Lagipula, diluar langit mulai mengirimkan
ribuan rintik hujan menghujam bumi.
Faris
kembali ke meja makan. Ia tersenyum tipis kemudian memejamkan mata. Sesaat tak
ada yang terjadi kecuali bisikan hatinya pada sang ilahi. Ia membuka mata lalu
meniup lilin-lilin yang bertengger diatas kue ulang tahun berwarna putih dan
biru muda itu. warna kesukaan Kania.
Seharusnya,
seperti janjinya kania sudah datang dua jam yang lalu. Namun hingga detik
berganti Kania tak kunjung datang. Enam belas November telah berlalu. Kania
sudah menginjak usia dua puluh lima. Pesta kecil sederhana yang mereka
rencanakan berdua pada malam itu tinggalah kenangan. Kania tidak datang dan tanpa
alasan yang jelas.
Faris
terpaku menatap layar ponsel. Memandangi puluhan sms yang belum terkirim.
Pasrah dengan puluhan pesan BBM yang masih centang. Juga ikhlas menerima kabar
bahwa ponsel kania tidak aktif sejak tadi sore. Kania kemana?
“Pokoknya besok malam kita akan buat pesta
kecil-kecilan di apartemenku. Hanya ada aku dan kamu. Mau kan?”
“Iya aku mau.”
“Ini untuk merayakan ulang tahunmu
dari hari jadi kita yang ketiga”
Faris menghela
nafas panjang.
Diluar
hujan makin menderu deras. Seperti tak memberikan tanda bahwa ia akan berhenti.
Sesuka hati menghujam bumi. Dingin. Faris merasakan dingin disekujur tubuhnya.
Bukan hanya itu. Hatinya juga mengigil rindu. Ini tidak pernah terjadi. Ia
tidak pernah merasakan rindu yang seperti ini.
*_*_*
Jakarta,
23 November 2013
Faris
berlari kecil memasuki gedung kantornya. Terburu-buru Ia menaiki lift lalu
bergegas menuju ruang kerjanya. Hujan tadi cukup deras sehingga membuatnya
basah kuyup. Ia harus sesegera mungkin mengeringkan pakaian. Jam dua nanti ada
meeting dengan klien dari salah satu perusahaan. Ia akan ikut dalam meeting itu
bersama bosnya.
“Kamu
mau kopi?”seseorang datang sambil membawa gelas berisi minuman yang masih
panas. Itu tampak jelas dari asap yang menari indah diatasnya.
“Terima
kasih”Sahutnya singkat pada Udy, rekan kerjanya.
“sudah
ada kabar dari Kania?”
Faris
terhenti sejenak.
Yah,
sejak hari itu sampai sekarang kania masih belum bisa dihubungi. Nomor
ponselnya tidak aktif. Rumahnya juga sepi tanpa penghuni. Faris sudah bertanya
pada rekan-rekan kerja Kania dan semua kompak menjawab : tidak tahu. Kania
sudah seminggu juga tak masuk kerja.
Faris
menggeleng pelan. Ia lupa harus mencari Kania. Seharian ini Ia sangat sibuk.
meeting mendadak itu membuatnya melupakan Kania untuk beberapa saat hingga Udy
mengingatkannya kembali.
“Kamu
sudah minta bantuan kepolisian?”
Faris
mengernyitkan dahinya. Membuat dua alis tebalnya meruncing disudut dan
membentuk perosotan anak TK. Untuk apa menghubungi polisi? Kania belum hilang.
Kania tidak hilang. Ia yakin Kania masih ada. kalaupun Kania hilang, pastilah
pihak keluarga yang mencarinya lebih dulu.
“Aku
akan mencarinya”
*_*_*
Surabaya,
29 Nopember 2013
Faris
akhirnya tiba dibandara.
Ia
harus segera menemukan Kania. Menurut info yang terakhir ia dapatkan, Kania
sudah pulang ke Surabaya bersama dengan kedua orangtuanya. Kabar itu masih
biasa sampai ketika Ia mendengar bahwa Kania kembali ke Surabaya untuk berobat.
Info itu pasti akurat karena didapat Faris langsung dari tetangga Kania.
“Neng Kania suka muntah darah. Makanya
langsung pulang ke Surabaya”
Faris
berlari tak karuan. Berbekal sobekan kertas kecil yang berisi alamat Kania, Ia
berlari menerobos ratusan orang didalam Bandara. Ia tangguh tak terkalahkan.
Menembus batas mengejar cintanya.
Ini
kali pertama Ia menginjakan kakinya di kota pahlawan. Yang pertama ia lakukan
yaitu menuju alamat yang ada dikertas itu. Tapi tiba-tiba saja, karena angin
berhembus kencang membuat kertas itu luput dari genggamannya. Terbang.
Faris
terdiam seribu bahasa.
Kertas
itu telah pergi dengan sepenggal harapannya.
Faris
berusaha mengejar namun kertas itu sepertinya lelah berada dalam genggamannya.
Ia lebih memilih terbang bebas, berada diatas angin dan pasrah dibawa kemana
saja.
Faris
mengeram kesal. Ia mencaci maki dirinya sendiri.
“BODOH!!!”
*_*_*
Percuma
saja ia mengajukan cuti sehari namun hasilnya sia-sia. Ia tidak akan menemukan
Kania tanpa alamat itu. sekarang bagaimana? Faris kebingungan. Ia melangkah
seperti orang gila. Tak tentu arah. Padahal bisa saja Ia kembali ke bandara,
memesan tiket kemudian kembali ke Jakarta lalu melupakan Kania seperti saran
dari Udy.
Tapi
itu tidak mungkin Ia lakukan. Ini terlalu sulit.
Faris
yakin sebelum November berakhir Ia akan bertemu kembali dengan Kania. November
ini yang telah mempertemukannya dengan Kania tiga tahun yang lalu. Dan
seharusnya, November tahun ini mereka merayakan hari special mereka.
Faris
berhenti melangkah didepan sebuah rumah sakit. Entah mengapa Ia berpikir kalau
saat ini Kania sedang dirawat dirumah sakit itu. Ia yakin Kania ada didalam
sana dan memerlukan bantuannya. Ia yakin Kania sedang menantikan kehadirannya
sekarang.
Dengan
satu langkah pasti Ia melesat bagai komet tak terhalang sama sekali.
Ia
bertanya pada seorang perawat. Jawaban singkat dan sangat pelan dari perawat
itu seketika menggelorakan kembali jiwa asmaranya. Ia dibakar semangat
pencarian cinta. Kania dirawat dirumah sakit ini.
“Kania
aku datang untukmu”
Faris
melangkah cepat menuju kamar tempat Kania dirawat. Tapi apa yang dijumpainya?
Tidak ada. Kamar itu kosong tak ada kehidupan. Kania tidak ada disana.
Faris
semakin hancur. Harapan yang baru saja bersemi kini berubah layu. Ia tertunduk
lesu lalu bersandar pada dinding rumah sakit. Perlahan ia mulai jatuh
tersungkur kelantai. Faris menangis. Ya, lelaki itu menangis karena tidak bisa
menemukan Kania.
“Apa
yang kamu lakukan disini?”
Suara
itu mengejutkan Faris. Darahnya berdesir. Jantungnya berdebar kencang. Ia
menoleh kearah datangnya suara. Seorang gadis duduk manis diatas kursi roda.
Itu Kania!
“Kania?”
Faris
tak mampu lagi menyembunyikan rasa rindunya. Membuncah. Ia langsung memeluk
Kania seakan tak ingin melepaskannya lagi walau hanya sedetik. Faris jelas
sangat bahagia. Kania yang menghilang tanpa kabar beberapa hari kini kembali
lagi. Faris senang buka main.
“Kamu
kenapa tidak memberitahu tentang semua ini?”tanya Faris lalu berjongkok didepan
Kania.
“Kamu
tak perlu tahu”
“Aku
harus tahu. Aku harus tahu apapun yang terjadi padamu. Aku telah berjanji untuk
selalu menjagamu. Untuk selalu berada disisimu. Aku tidak akan pernah
mengingkari janji itu”
“Kalau
begitu, mulai sekarang kau boleh membatalkan janji itu dan aku tak akan
menuntut apa-apa lagi dari janjimu itu”
Faris
heran mendengarkan kalimat itu. Kania menatapanya tajam. Tak berkedip sama
sekali. Gadis itu tampak sangat serius dengan pernyataannya barusan.
“Maksudmu?”
“Kita
ditakdirkan bertemu dan bersama. Maka, saat itu juga kita telah ditakdirkan
untuk berpisah.”
“A…apa?
apa maksudmu?”
“waktuku
tidak lama lagi Ris. Aku tidak ingin kamu sakit hati. Berlarut-larut dalam
kesedihan yang tak pasti. Aku tidak ingin kesetiaanmu menyakitimu. Kita harus
berpisah. Harus”Kania memutar balik kursi rodanya. Namun yang jelas Kania tak
mampu menyembunyikan airmatanya. Kania menangis.
“Apa
yang kamu bicarakan kania? Aku akan selalu ada untukmu. Aku sudah berjanji dan
aku akan menepatinya. Apapun yang terjadi, aku dan kamu, kita akan selalu
bersama”
“Cukup
Faris. Berhenti menguatkanku. Aku tak bisa bertahan lama lagi!!!”
Kania
merontak tiba-tiba. memukul-mukul tubuh Faris yang kekar tak tergoyahkan itu.
“Kania…
Kania… Kania berhenti”Faris kembali memeluknya. membenamkan wajah Kania didalam
pelukannya. Membiarkan Kania menangis.
“Menangislah
kalau kau mau. Menangislah Kania”
Beberapa
saat kemudian, seorang pemuda berkacamata datang menghampiri. Ia dokter yang
merawat Kania beberapa hari ini.
“Maaf.
Kania harus segera keruang operasi”
DEG!!!
Faris
tak mampu berkata apa-apa. Sorot matanya tajam tak mengerti pada kejadian ini.
Semua terjadi begitu cepat dan… semua terjadi tanpa penjelasan. Bukankah semua
yang ada didunia ini tak selamanya membutuhkan penjelasan?
Sebelum
pergi, Kania sempat membisikan sesuatu.,
“Benarkah kau
mencintaiku?”
“Ya”
“Kalau begitu biarkan
aku pergi. Aku tak pantas untuk mendapatkan kesetiaanmu”
Faris
berdiri terpaku memandangi sosok dikursi roda itu. Perlahan menjauh kemudian
menghilang dari pandanganya. Hujan. Diluar mendadak hujan deras. Padahal tadi
tak ada mendung sama sekali. Hujan selalu menjadi saat-saat bahagia bagi Kania.
Setiap hujan mereka bercengkrama sambil menikmati coklat hangat buatan Kania di
apartemen. Tapi sekarang? Hujan menjadi saksi perpisahan mereka. meski
kenyataannya, Faris tak mungkin bisa untuk melupakan Kania : cinta pertamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar