Jumat, 24 Januari 2014

Spring, I’m Falling In Love

Lanjutan kisah : Love on the end of winter


         Kejadian beberapa waktu lalu di apartemen membekukan hubungan diantara mereka. Tak ada saling sapa untuk waktu yang lumayan lama. Bahkan untuk saling pandang saja mereka bahkan tidak mau. Entah siapa yang tidak mau, atau siapa yang malu melakukannya, yang pasti mereka terlihat seperti orang yang tidak saling kenal.
            Ini jelas menghebohkan seisi apartemen terutama di lantai tiga gedung apartemen. Semua bertanya-tanya. Sejak awal, mereka tak pernah terlihat seperti itu. Tidak pernah sekalipun.
            Saling benci? Tidak. Mereka tidak saling benci. Tak pernah terbersit dalam diri Melza untuk membenci sahabatnya itu. Pun dengan Aland, membenci Melza sama halnya dengan membunuh separuh hatinya.
            Namun suatu malam diakhir musim dingin, mereka menyadari satu hal. Bahwa mereka saling merindukan. Tak bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Maka ketika malam berganti pagi, dengan tanpa diperintah oleh siapapun, keduanya dengan dandanan rapi sudah berdiri dibalik pintu apartemen masing-masing. Berjaga-jaga ketika pintu apartemen didepannya terbuka lalu ikut membuka pintu.
Wellcome Spring!!!
“Aku minta maaf. Aku memang egois. Bersikap dingin hanya karena persoalan seperti ini. Sorry…”Ujar Melza Pelan dengan wajah tertunduk.
“Tidak. Kamu tidak salah. Aku yang salah dan seharusnya aku yang minta maaf”
Dan…
Musim dingin pun usai. Salju-salju mencair bersama sikap dingin diantara Melza dan Aland. Berganti indahnya musim semi. Persahabatan yang kembali mekar. Indah.
Rasa dingin yang cukup lama menyelimuti mereka akhirnya pasrah pada kehangatan musim semi. Diluar, gundukan salju telah mencair. Hilang. Berganti dengan bunga-bunga yang bermekaran indah. Kota Manchester melepas jubah putihnya.
Matahari dengan lembutnya kembali menyapa penduduk kota manchester. Dengan sinarnya yang hangat, melepas rasa rindu yang tersimpan cukup lama. Menyapa dedaunan dan rerumputan hijau. Segar.
Dan hari ini seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka, Melza dan Aland memutuskan untuk menikmati awal musim semi dengan berjalan-jalan di sekitaran Piccadilly Gardens.
Aland menoleh sejenak, mengamati wajah Melza yang berseri-seri. Tersenyum.
“Sepertinya kamu senang sekali, Za. Ada apa?”
“Senang bisa berteman lagi denganmu”Jawab Melza sambil tersenyum lebar.
“Oh ya?”
“Yah. Aku pikir aku akan kehilanganmu”Ucap Melza pelan kemudian menggandeng tangan Aland.
Melza menghembuskan nafas pelan lalu berjalan disamping Aland. Ia menyandarkan kepalanya dibahu Aland. Baginya, ini adalah cara terbaik untuk mengakrabkan kembali dirinya dengan laki-laki itu. Sebagai teman.  Hanya sebagai seorang teman.
Hatinya berdesir halus.
Lembut, meski ia sendiri tak mengerti dengan desiran itu...
“Demelza!”Seseorang berteriak memanggil namanya.
Sontak mereka berhenti lalu kompak memutar tubuh 180 drajat. Seorang laki-laki dengan kaos putih dan jeans hitam selutut berlari kearah mereka. Melza kenal siapa laki-laki itu. Tapi tidak dengan Aland. Dahinya berkerut sambil berusaha menerka siapa laki-laki pemilik wajah yang tidak asing itu.
“Franklin? Apakah ini kebetulan atau…?”
“Tidak ada yang kebetulan”
“Oh ya? Sedang apa kamu disini? dengan siapa?”
“Menikmati awal musim semi. Aku harus menjadi saksi mekarnya bunga-bunga indah di kota Manchester. Kalau kamu?”Franklin balas bertanya.
Mereka – Melza dan Franklin – berbincang akrab seakan lupa pada sosok lain diantara mereka yang hanya ikut menganggukan kepala ketika Melza mengangguk.
“Astagah! Aku hampir lupa, kenalkan ini Aland. Dan Aland, kenalkan ini Franklin”
Dua laki-laki itu saling berjabat tangan.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”Tanya Aland.
“Sepertinya begitu. Aku pernah datang ke apartemen milik kalian”
Aland bergumam pelan. Tidak jelas. Sejenak ia berpikir lalu mengangguk cepat. Ia teringat pada laki-laki berkacamata yang datang mencari Demelza beberapa waktu yang lalu. Laki-laki yang menjadi…Stop! Aland menggeleng cepat. Tidak ingin mengingat lagi kejadian itu.
“Boleh aku gabung dengan kalian? Bosan juga ternyata kalau jalan sendirian saja”
“Boleh. Boleh kan Aland?”Melza memutar kepalanya. Meminta persetujuan Aland.
“Oh tentu saja, boleh”Sahut Aland. Terpaksa mengiyakan.
***_***
            “Terima kasih karena kamu sudah menemaniku seharian ini”Ujar Melza ketika mereka tiba di apartemen.
            “Sama-sama”
            “Hari yang menyenangkan. Sampai ketemu besok pagi Aland. Selamat tidur, mimpi indah ya”Melza mengintip sesaat dari balik pintu lalu menghilang.
            “Senang bisa dekat denganmu lagi, Melza”Ucap Alan. Pelan.
            Benar-benar hari yang melelahkan. Mengelilingi kota bersama dua teman yang suka sekali berdebat. Terutama tentang sepakbola. Franklin sangat mengidolakan Manchester United sementara Aland sangat anti pada sepak bola inggris. Ia selalu saja memuji penampilan sepakbola spanyol.
            “Manchester United tetap lebih baik”
            “Kamu bercanda Franklin. Real Madrid jelas lebih hebat. Buktinya mereka bisa mengambil Christiano Ronaldo”
            “Hehehe. Tapi sebelum pindah ke Real, Christiano itu anak kesayangan Red Devils”
            Dan Melza hanya bisa diam menikmati ocehan-ocehan mereka. Diam dan menikmati. Dan… merindukannya?
Entah apa yang terjadi, dua jam berlalu sejak Ia berbaring ditempat tidur, matanya sama sekali belum terpejam. Bayangan Franklin masih berkelana. Kesana kemari dipelupuk matanya. Selain sama-sama menjagokan sepakbola inggris, keduanya juga menjagokan tim rad devils.
            Melza mengerutkan dahinya saat ponselnya berdering pelan. Siapa yang menelepon semalam ini? Dengan terpaksa Ia bangkit lalu mengambil ponsel dari dalam laci.
            MR. COLE???
            Rasa bahagia yang bersemi dihatinya berubah. Gelap. Ia menanti panggilan itu berakhir lalu menonaktifkan ponselnya. Aman. Setidaknya untuk malam yang tersisa ini Ia tidak akan diganggu laki-laki itu.
***_***
            Melza melangkah cepat melewati koridor kampus. Ia mengambil jalan memutar menuju kelasnya. Sengaja untuk menghindari Mr. Cole. Tadi ia sempat melihat Mr. Cole masuk ke jalur kiri gedung kampus.
            Melza mempercepat langkahnya ketika telinganya mendapati sayup-sayup suara Mr. Cole. Ia bukan menghindari Mr. Cole karena pekerjaan itu. Bukan. Ia masih sering menemani banyak laki-laki lainnya yang lebih kaya dan lebih keren dari pria tua itu. Ia menghindar karena tidak suka dengan sikap dosennya itu yang suka mengancamnya. Mengancam untuk membongkar rahasianya.
            Derap langkah semakin cepat terdengar. Melza enggan berbalik badan. Namun satu yang ia tahu, seseorang sedang berjalan dibelakangnya. Langkah mereka saling bersahutan. Tidak ada siapa-siapa dikoridor sehingga Melza yakin seseorang sedang membuntutinya.
            “Demelza!”
            Melza tersentak kaget. Tangan orang itu sudah berada tepat dibahunya. Terpaksa Ia harus mengalah. Menyerahkan diri pada keadaan. Tak ada gunanya melawan. Ia sudah tertangkap.
            “Iya ada apa Mr…. Franklin?”Nada suaranya berubah. Lega.
            Ia menghembuskan nafas lega. Orang itu ternyata Franklin bukan Mr. Cole. Rasanya jantungnya seakan ingin copot.
            “Kamu…? kamu kenapa? Kamu sakit?”
            Raut pucat Melza mengundang pertanyaan dari Franklin. Laki-laki itu meraba pelan dahi Demelza lalu mundur.
            Demelza menggeleng. Ia masih mengendalikan dirinya. Debar jantungnya masih saling berkejaran.
            “Kamu seperti dikejar-kejar hantu”Kata Franklin lalu diikuti tawa kecil.
            “Tidak lucu. Ayo ke kelas”Melza bergegas menarik tangan Franklin.
            “Sebentar…”Franklin berusaha mengatur langkahnya.”…Tadi aku bertemu Mr. Cole. Ia mencarimu.”
            “Apa??”
            “Iya. Sepertinya urusan penting”Kata Franklin.
            “ooh”Ujar Melza sekenanya.
            Benar dugaannya semalam. Mr. Cole pasti akan mencarinya pagi ini dan sudah terbukti benar. Ia harus mencari cara agar tidak bertemu pria itu. Setidaknya untuk hari ini sampai Ia siap memberikan alasan tepat pada Mr. Cole.
***_***
            “Aku punya tiket nonton teater, kamu tertarik? Aku ingin mengajakmu nonton”Franklin mengeluarkan dua lembar tiket.
            “Mengajakku? Maksud kamu? semacam kencan?”Melza mengangkat sebelah alisnya.
            “Hmmm…. Kalau menurutmu nonton teater berdua itu kencan, tidak masalah. Bagaimana? Kamu tertarik?”
            Melza menarik ujung bibirnya. Tersenyum. Hatinya sekejap berbunga-bunga. Ia belum pernah kencan dengan laki-laki manapun. Oups, mungkin pernah. Beberapa kali dengan laki-laki yang berbeda-beda. Tapi itu bukan kencan. Sekali lagi itu bukan kencan tapi bagian dari pekerjaan.
            “Baiklah kalau kamu memaksa”
            Mendengar jawaban Demelza, Franklin menyunggingkan senyumnya. Akhirnya rencananya berjalan mulus. Sejak awal Ia memang sudah berniat untuk mendekati Melza.
            Sementara Melza sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan kencan berdua bersama Franklin. Ini jelas akan berbeda dengan kencan-kencan sebelumnya. Tak ada nafsu sama sekali. Hanya perasaan menggebu-gebu yang tidak jelas. Yang masih sulit untuk dijelaskan…apakah ini cinta? Entahlah. Yang pasti cinta selalu datang tiba-tiba. Bahkan tak butuh penjelasan apa-apa.
***_***
            Sesuai janji di kafe tadi Franklin akan menjemputnya jam tujuh malam. Melza sibuk berdandan. Mencari gaun terbaik. Meski hanya menonton teater tapi moment malam ini harus menjadi sejarah. Oh indahnya ketika hati seorang perempuan sedang memasuki musim semi. Semuanya terasa indah. Menawan dan penuh pesona.
            Seperti Demelza. Ia cantik sekali dengan balutan blazer biru muda dengan dalaman kaus putih. Ia juga mengenakan jeans putih gading. Sempurna. Tak perlu gaun apa-apa. Semua gaun sudah pernah dipakainya saat kencan. Yah, kencan dengan para pelanggannya.
            Demelza melangkah pelan keluar dari kamar. Ia menuju ruang tamu untuk menemui seseorang.
            “Bagaimana penampilanku? Cantik kan?”
            Orang itu – Aland – hanya ternganga tanpa sepatah katapun. Lidahnya kelu. Otaknya membeku. Matanya tak bisa dikedipkan. Tunggu dulu… Aland meraba dadanya. Tidak berhenti tapi berdebar sangat kencang.
            “So beatifull!!!”Seru Aland seketika lalu melanjutkannya, “Kamu mau kemana? Kerja?”
            “tidak. aku akan pergi ke Opera House. Ada pertunjukan teater”
            “Teater? Sejak kapan kamu suka menonton teater?”
            “Sejak tadi siang. Oh ya sudah, aku harus ke bawah. Sepertinya Frank sudah menunggu cukup lama. Sampai jumpa Aland.”Demelza melambaikan tangan. Meninggalkan Aland mematung di ruang tengah.
            Seperti biasanya, Ia sengaja menitipkan apartemennya pada Aland. Ia selalu punya kunci cadangan jika Ia terpaksa pulang larut malam atau bahkan pulang pagi.
            “Doakan kencanku berhasil. Okey?”
            WHAT A???
            Aland tak sempat bertanya apa-apa. Demelza telah menghilang. Pergi dan hanya menyisakan aroma parfum yang begitu wangi. Aroma mawar. Aland terduduk lesu. Bertanya dalam hati, sampai kapan Ia mampu bertahan. Memendam rasa pada sahabat sendiri.
***_***
            “Pertunjukannya bagus sekali. Aku suka”Kata Demelza ketika mereka keluar dari gedung Manchester Opera House.
            “Aku senang kalau kamu suka. Setidaknya aku tidak sia-sia mengajakmu ke tempat ini”
            “Selanjutnya kita akan kema…?”
            Kata-kata Demelza terpotong. Ia merasakan tubuhnya diputar oleh seseorang. Cukup keras. Karena takut terjadi apa-apa Ia bahkan memejamkan matanya. Dalam keadaan seperti itu Demelza memberanikan membuka matanya.
            Deg…
            Dadanya berdebar tiga kali lebih cepat dari yang biasanya. Ia dan Frank saling berpandangan. Ia baru sadar kalau saat ini Ia sedang berada dalam pelukan Frank. Begitu hangat dan meneduhkan. Tatapan Frank menyetrum sel-sel dalam hatinya. Bergetar dan menyala-nyala.
            “Kamu tidak apa-apa?”
            Demelza buru-buru melepaskan pelukan Frank. Merapikan pakaiannya lalu menggeleng kepala. Tadi, Ia hampir saja tertabrak motor yang ugal-ugalan. Karena tidak fokus Ia sampai tidak sadar kalau Ia sudah berjalan disebelah trotoar. Tepat di jalan raya.
            Diam.
            Angin musim semi bertiup pelan. Lembut. Menyusup diantara langkah dua anak manusia itu. namun tiba-tiba konsentrasi mereka terganggu oleh bunyi ponsel Melza. Ada satu pesan singkat masuk dari Aland.
            Kamu dimana? Tadi ada seorang perempuan datang mencarimu. Katanya dia disuruh oleh dosenmu. Kalau kamu sudah selesai, segera menghubungi dosenmu itu, kata perempuan tadi.
            Mr. Cole. Pria itu yang langsung terbersit dalam kepalanya. Memang sejak masih di apartemen tadi Mr. Cole selalu menghubunginya tapi Ia sengaja tidak menjawab. Berulang kali ditelepon dan berulang kali pula ia tak acuh pada telepon itu. tidak penting. Mengganggu malam terindahnya.
***_***
            “Terima kasih telah mengantarku sampai sini”
            Mereka sudah tiba didepan apartemen Melza. Frank tidak menjawab. Ia hanya tersenyum lalu dalam satu gerakan cepat mendekatkan tubuhnya ke tubuh Demelza. Demelza terhenyak. Matanya sontak terpejam. Namun Ia salah menduga. Nothing French Kiss.
            Frank hanya mencoba menyeka sisa ice cream coklat yang menempel dibibir Demelza.
            “Sampai bertemu besok pagi. Bye…”Frank pamit pulang.
            “Bye”Jawab Melza sambil melambaikan tangan.
            Malam yang sangat indah. Tak pernah Ia melewati malam yang sangat indah bersama seorang laki-laki. Ia selalu sadar, Frank bukanlah laki-laki pertama yang jalan berdua dengannya. Tapi dengan Frank, Ia merasa normal. Ia merasa tak ada beban sama sekali. Semua mengalir.
            “Hallo Mr. Cole?”
            Setiba di apartemen Demelza langsung menghubungi dosennya. Ia tidak ingin terjadi apa-apa padanya hanya karena ia sengaja menjauh dari Mr. Cole seharian ini.
            “Kamu darimana saja? kenapa teleponku tidak diangkat?”suara itu terdengar agak-agak fales diseberang sana. Satu yang bisa ditebak : Mr. Cole sedang mabuk.
            “Maaf, aku tadi sibuk sekali. ponselku bahkan tertinggal di apartemen”
            “Oh ya? Sekarang kamu dimana? Temani aku. Aku rindu padamu sayang”
            “Kamu rindu padaku? Kamu bercanda Mr. Cole”
            “Aku serius. Ayo datang kesini, ke tempat biasa. Aku akan menunggumu”
            “Aduh maaf sekali, hari ini aku sangat lelah. Nanti saja”
            “Kamu mau semua orang dikampus tahu masalah ini?”
            “Oh tentu tidak sayang. Ayolah, kita bisa bertemu lagi besok. Aku janji, aku yang akan langsung mendatangimu. Jangan marah ya sayang…”
            “Baiklah, kali ini saja kau percaya padamu. Bye sayang”
            Demelza langsung melempar ponsel itu keatas tempat tidur. Ia tidak boleh lagi menundanya. Ia jelas tidak menginginkan rahasianya selama ini terbongkar. Maka besok malam sesuai janjinya Ia yang akan mendatangi Mr. Cole sebelum pria itu benar-benar marah dan benar-benar membongkar rahasiannya.
            Dan bukan hanya itu. Ia kenal siapa Mr. Cole. Ia lebih bengis dari sekedar membongkar rahasianya. Mr. Cole punya banyak bodyguard dengan badan-badan yang berotot. Kekar. Mengerikan rasanya jika sampai bodyguardnya ikut turut campur dalam masalah ini. Demelza tentu tak ingin berurusan dengan mereka. Ia bisa dibunuh.
***_***
            Berulang kali Demelza menguap. Rasa kantuk sudah tak bisa ditahan lagi. Tiga hari ini Ia sibuk bekerja lembur sampai larut malam. Bahkan kemarin Ia harus pulang pagi lagi.
            “Dari tadi kamu menguap terus Demelza. Kamu mengantuk?”
            Tanya Frank yang saat itu duduk disampingnya. Saat itu mereka sedang ada di kantin kampus. Kuliah pagi itu bersama Mr. Cole dibatalkan. Mr. Cole mendadak ada urusan penting. Bukan kabar buruk sebenarnya bagi Demelza. Ini bahkan kabar baik Ia tidak perlu bertemu lagi dengan Mr. Cole.
            “Apakah pertanyaanmu itu membutuhkan jawaban?”Demelza balik bertanya.
            “…”
            “Atau… ikut aku. Ayo!”Seru Frank seketika dan langsung menarik tangan Demelza.
            Demelza menurut saja seperti sedang dihipnotis. Ia baru tersadar ketika membaca sebuah tulisan didepan ruangan. LIBRARY. Matanya membelalak. Kaget dan langsung menoleh kearah Franklin.
            “Kamu mengantuk bukan? Kalau begitu temani aku disini”
            “Oh No! Kamu hanya membuatku tambah mengantuk Frank”
            “Kenapa bisa begitu?”
            “aku bukan kutu buku sepertimu. Mana mungkin berada disekeliling rak buku aku tidak mengantuk? Ini jelas menambah rasa kantukku”
            Franklin sudah berada didalam perpustakaan. Sementara Demelza berniat untuk balik belakang lalu pulang saja. Tapi… matanya menangkap sesuatu. Tulisan didalam perpustakaan : Please silent.
            Hmmm…
            Demelza membatalkan niatnya untuk pulang. Segera saja ia menyusul Frank yang sudah duduk disalah satu meja yang menggunakan sekat pembatas. Frank sedang memegang buku sejarah. Dasar kutu buku!
            Dari awal niat Demelza untuk masuk ke perpustakaan tidak lain adalah untuk TIDUR. Ia menemukan tempat yang aman dan nyaman. Langsung saja Ia mengambil posisi untuk tidur.
            Baru beberapa menit memejamkan mata atau bisa dikatakan ia belum sepenuhnya tertidur. Ibarat pesawat baru saja lepas landas, belum mengudara. Tiba-tiba Ia merasakan sesuatu dipipinya. Seperti rabaan tangan yang halus. Pipinya dielus-elus.
            Demelza membuka sedikit matanya dan menangkap sesuatu. Itu tangan Franklin tapi Franklin masih sibuk membaca buku disebelahnya. Seketika, Dadanya berdebar-debar. Ia bahkan lupa cara untuk bernafas. Ia membiarkan tangan laki-laki itu terus mengelus pipinya lalu berganti membelai rambutnya yang berwarna coklat kekuningan.
            Ia menikmatinya. Seperti Ia menikmati sebuah ledakan dahsyat didalam hati. Ia belum yakin ini cinta, tapi satu yang Ia yakini : Ia merasa nyaman. Tak seperti saat ia bersama laki-laki diluar sana yang hanya ingin menikmati tiap inci dalam tubuhnya.
            Demelza, dengan gerakan lambat Ia meraih tangan Frank lalu meletakannya dibawah pipinya. Halus. Frank tampaknya tidak merespon apa-apa. Terkesan membiarkan saja. Namun satu  yang dirasakan Demelza, Frank menggenggam tangannya lebih erat. Sangat erat…
            Demelza tersenyum singkat. Indahnya hidup ini jika memang dijalani dengan cinta. Bukan hanya nafsu belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar