Rabu, 15 Januari 2014

November Rain


“Benarkah kau mencintaiku?”
“Ya”
“Kalau begitu biarkan aku pergi. aku tak pantas untuk mendapatkan kesetiaanmu”

*_*_*
            Faris memandangi lilin-lilin kecil didepannya. Api yang menari-nari diatasnya seakan mengikuti irama lembut angin yang berhembus dari jendela di apartemennya. Dua jam berlalu dari waktu yang telah disepakati namun Kania belum juga datang.
            Ia berdiri tidak semangat. Melangkah lambat menuju jendela. Ia bermaksud menutup jendela. Tak ada gunanya menanti. Lagipula, diluar langit mulai mengirimkan ribuan rintik hujan menghujam bumi.
            Faris kembali ke meja makan. Ia tersenyum tipis kemudian memejamkan mata. Sesaat tak ada yang terjadi kecuali bisikan hatinya pada sang ilahi. Ia membuka mata lalu meniup lilin-lilin yang bertengger diatas kue ulang tahun berwarna putih dan biru muda itu. warna kesukaan Kania.
            Seharusnya, seperti janjinya kania sudah datang dua jam yang lalu. Namun hingga detik berganti Kania tak kunjung datang. Enam belas November telah berlalu. Kania sudah menginjak usia dua puluh lima. Pesta kecil sederhana yang mereka rencanakan berdua pada malam itu tinggalah kenangan. Kania tidak datang dan tanpa alasan yang jelas.
            Faris terpaku menatap layar ponsel. Memandangi puluhan sms yang belum terkirim. Pasrah dengan puluhan pesan BBM yang masih centang. Juga ikhlas menerima kabar bahwa ponsel kania tidak aktif sejak tadi sore. Kania kemana?
            “Pokoknya besok malam kita akan buat pesta kecil-kecilan di apartemenku. Hanya ada aku dan kamu. Mau kan?”
            “Iya aku mau.”
            “Ini untuk merayakan ulang tahunmu dari hari jadi kita yang ketiga”
            Faris menghela nafas panjang.
            Diluar hujan makin menderu deras. Seperti tak memberikan tanda bahwa ia akan berhenti. Sesuka hati menghujam bumi. Dingin. Faris merasakan dingin disekujur tubuhnya. Bukan hanya itu. Hatinya juga mengigil rindu. Ini tidak pernah terjadi. Ia tidak pernah merasakan rindu yang seperti ini.
*_*_*
            Jakarta, 23 November 2013
            Faris berlari kecil memasuki gedung kantornya. Terburu-buru Ia menaiki lift lalu bergegas menuju ruang kerjanya. Hujan tadi cukup deras sehingga membuatnya basah kuyup. Ia harus sesegera mungkin mengeringkan pakaian. Jam dua nanti ada meeting dengan klien dari salah satu perusahaan. Ia akan ikut dalam meeting itu bersama bosnya.
            “Kamu mau kopi?”seseorang datang sambil membawa gelas berisi minuman yang masih panas. Itu tampak jelas dari asap yang menari indah diatasnya.
            “Terima kasih”Sahutnya singkat pada Udy, rekan kerjanya.
            “sudah ada kabar dari Kania?”
            Faris terhenti sejenak.
            Yah, sejak hari itu sampai sekarang kania masih belum bisa dihubungi. Nomor ponselnya tidak aktif. Rumahnya juga sepi tanpa penghuni. Faris sudah bertanya pada rekan-rekan kerja Kania dan semua kompak menjawab : tidak tahu. Kania sudah seminggu juga tak masuk kerja.
            Faris menggeleng pelan. Ia lupa harus mencari Kania. Seharian ini Ia sangat sibuk. meeting mendadak itu membuatnya melupakan Kania untuk beberapa saat hingga Udy mengingatkannya kembali.
            “Kamu sudah minta bantuan kepolisian?”
            Faris mengernyitkan dahinya. Membuat dua alis tebalnya meruncing disudut dan membentuk perosotan anak TK. Untuk apa menghubungi polisi? Kania belum hilang. Kania tidak hilang. Ia yakin Kania masih ada. kalaupun Kania hilang, pastilah pihak keluarga yang mencarinya lebih dulu.
            “Aku akan mencarinya”
*_*_*
            Surabaya, 29 Nopember 2013
            Faris akhirnya tiba dibandara.
            Ia harus segera menemukan Kania. Menurut info yang terakhir ia dapatkan, Kania sudah pulang ke Surabaya bersama dengan kedua orangtuanya. Kabar itu masih biasa sampai ketika Ia mendengar bahwa Kania kembali ke Surabaya untuk berobat. Info itu pasti akurat karena didapat Faris langsung dari tetangga Kania.
            “Neng Kania suka muntah darah. Makanya langsung pulang ke Surabaya”
            Faris berlari tak karuan. Berbekal sobekan kertas kecil yang berisi alamat Kania, Ia berlari menerobos ratusan orang didalam Bandara. Ia tangguh tak terkalahkan. Menembus batas mengejar cintanya.
            Ini kali pertama Ia menginjakan kakinya di kota pahlawan. Yang pertama ia lakukan yaitu menuju alamat yang ada dikertas itu. Tapi tiba-tiba saja, karena angin berhembus kencang membuat kertas itu luput dari genggamannya. Terbang.
            Faris terdiam seribu bahasa.
            Kertas itu telah pergi dengan sepenggal harapannya.
            Faris berusaha mengejar namun kertas itu sepertinya lelah berada dalam genggamannya. Ia lebih memilih terbang bebas, berada diatas angin dan pasrah dibawa kemana saja.
            Faris mengeram kesal. Ia mencaci maki dirinya sendiri.
            “BODOH!!!”
*_*_*
            Percuma saja ia mengajukan cuti sehari namun hasilnya sia-sia. Ia tidak akan menemukan Kania tanpa alamat itu. sekarang bagaimana? Faris kebingungan. Ia melangkah seperti orang gila. Tak tentu arah. Padahal bisa saja Ia kembali ke bandara, memesan tiket kemudian kembali ke Jakarta lalu melupakan Kania seperti saran dari Udy.
            Tapi itu tidak mungkin Ia lakukan. Ini terlalu sulit.
            Faris yakin sebelum November berakhir Ia akan bertemu kembali dengan Kania. November ini yang telah mempertemukannya dengan Kania tiga tahun yang lalu. Dan seharusnya, November tahun ini mereka merayakan hari special mereka.
            Faris berhenti melangkah didepan sebuah rumah sakit. Entah mengapa Ia berpikir kalau saat ini Kania sedang dirawat dirumah sakit itu. Ia yakin Kania ada didalam sana dan memerlukan bantuannya. Ia yakin Kania sedang menantikan kehadirannya sekarang.
            Dengan satu langkah pasti Ia melesat bagai komet tak terhalang sama sekali.
            Ia bertanya pada seorang perawat. Jawaban singkat dan sangat pelan dari perawat itu seketika menggelorakan kembali jiwa asmaranya. Ia dibakar semangat pencarian cinta. Kania dirawat dirumah sakit ini.
            “Kania aku datang untukmu”
            Faris melangkah cepat menuju kamar tempat Kania dirawat. Tapi apa yang dijumpainya? Tidak ada. Kamar itu kosong tak ada kehidupan. Kania tidak ada disana.
            Faris semakin hancur. Harapan yang baru saja bersemi kini berubah layu. Ia tertunduk lesu lalu bersandar pada dinding rumah sakit. Perlahan ia mulai jatuh tersungkur kelantai. Faris menangis. Ya, lelaki itu menangis karena tidak bisa menemukan Kania.
            “Apa yang kamu lakukan disini?”
            Suara itu mengejutkan Faris. Darahnya berdesir. Jantungnya berdebar kencang. Ia menoleh kearah datangnya suara. Seorang gadis duduk manis diatas kursi roda. Itu Kania!
            “Kania?”
            Faris tak mampu lagi menyembunyikan rasa rindunya. Membuncah. Ia langsung memeluk Kania seakan tak ingin melepaskannya lagi walau hanya sedetik. Faris jelas sangat bahagia. Kania yang menghilang tanpa kabar beberapa hari kini kembali lagi. Faris senang buka main.
            “Kamu kenapa tidak memberitahu tentang semua ini?”tanya Faris lalu berjongkok didepan Kania.
            “Kamu tak perlu tahu”
            “Aku harus tahu. Aku harus tahu apapun yang terjadi padamu. Aku telah berjanji untuk selalu menjagamu. Untuk selalu berada disisimu. Aku tidak akan pernah mengingkari janji itu”
            “Kalau begitu, mulai sekarang kau boleh membatalkan janji itu dan aku tak akan menuntut apa-apa lagi dari janjimu itu”
            Faris heran mendengarkan kalimat itu. Kania menatapanya tajam. Tak berkedip sama sekali. Gadis itu tampak sangat serius dengan pernyataannya barusan.
            “Maksudmu?”
            “Kita ditakdirkan bertemu dan bersama. Maka, saat itu juga kita telah ditakdirkan untuk berpisah.”
            “A…apa? apa maksudmu?”
            “waktuku tidak lama lagi Ris. Aku tidak ingin kamu sakit hati. Berlarut-larut dalam kesedihan yang tak pasti. Aku tidak ingin kesetiaanmu menyakitimu. Kita harus berpisah. Harus”Kania memutar balik kursi rodanya. Namun yang jelas Kania tak mampu menyembunyikan airmatanya. Kania menangis.
            “Apa yang kamu bicarakan kania? Aku akan selalu ada untukmu. Aku sudah berjanji dan aku akan menepatinya. Apapun yang terjadi, aku dan kamu, kita akan selalu bersama”
            “Cukup Faris. Berhenti menguatkanku. Aku tak bisa bertahan lama lagi!!!”
            Kania merontak tiba-tiba. memukul-mukul tubuh Faris yang kekar tak tergoyahkan itu.
            “Kania… Kania… Kania berhenti”Faris kembali memeluknya. membenamkan wajah Kania didalam pelukannya. Membiarkan Kania menangis.
            “Menangislah kalau kau mau. Menangislah Kania”
            Beberapa saat kemudian, seorang pemuda berkacamata datang menghampiri. Ia dokter yang merawat Kania beberapa hari ini.
            “Maaf. Kania harus segera keruang operasi”
            DEG!!!
            Faris tak mampu berkata apa-apa. Sorot matanya tajam tak mengerti pada kejadian ini. Semua terjadi begitu cepat dan… semua terjadi tanpa penjelasan. Bukankah semua yang ada didunia ini tak selamanya membutuhkan penjelasan?
            Sebelum pergi, Kania sempat membisikan sesuatu.,
“Benarkah kau mencintaiku?”
“Ya”
“Kalau begitu biarkan aku pergi. Aku tak pantas untuk mendapatkan kesetiaanmu”
            Faris berdiri terpaku memandangi sosok dikursi roda itu. Perlahan menjauh kemudian menghilang dari pandanganya. Hujan. Diluar mendadak hujan deras. Padahal tadi tak ada mendung sama sekali. Hujan selalu menjadi saat-saat bahagia bagi Kania. Setiap hujan mereka bercengkrama sambil menikmati coklat hangat buatan Kania di apartemen. Tapi sekarang? Hujan menjadi saksi perpisahan mereka. meski kenyataannya, Faris tak mungkin bisa untuk melupakan Kania : cinta pertamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar