Kamis, 16 Januari 2014

#24 Hours


            “Kamu kenapa? Sepertinya kamu sedih”
            “Aku takut”
            “Takut kenapa?”
            “Aku takut tak bisa lagi bertemu denganmu”
 (*)(*)(*)
            Ia melangkah cepat dan tergesa-gesa menuju hotel tempatnya menginap. Udara yang cukup panas siang itu membuatnya harus memicingkan mata berkali-kali. Alexandria sedang membara. Bukan hanya keadaan alamnya. Suasana dikota mediterania itupun terkesan mencekam. Banyak polisi yang berjaga ditiap sudut kota.
            Ia baru bisa bernafas lega ketika kakinya tepat menginjak lobi hotel. Ia melongos sejenak kemudian menuju Lift. Ia berhenti didepan lift, menanti pintu lift terbuka kemudian masuk. Faiz sadar, saat ia masuk seseorang telah lebih dulu berada didalam lift. Namun karena sibuk dengan mengobrak-abrik isi tas ranselnya, Ia tidak terlalu memperhatikan gadis disampingnya.
            Saat pintu lift terbuka, sontak Faiz dan gadis disampingnya melangkah keluar dari Lift. Saat itulah, heels yang dikenakan gadis itu patah – entah karena apa – membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir saja jatuh. Beruntunglah Faiz dengan gesit langsung menarik lengan gadis itu.
            Sekejap mereka terdiam. Saling pandang satu sama lain. Mereka tidak sadar saat itu mereka menjadi bahan tontonan pengunjung hotel yang saat itu sedang berada disekitar mereka. Bukan karena heels gadis itu yang patah tapi karena posisi mereka berdua. Faiz dengan sedikit membungkuk memeluk gadis didepannya.
            “Astaga. Maaf”Kata Faiz lalu membantu gadis itu berdiri.
            Gadis itu membungkukan badannya sambil meminta maaf pula. Ia salah tingkah ketika tahu banyak orang yang memperhatikan mereka.
            Tak mau disergap rasa malu, Faiz langsung bergegas meninggalkan tempat itu dan menuju kamarnya. Rasa kantuk harus sesegera mungkin Ia hilangkan. Mungkin dengan berbaring beberapa menit, staminanya bisa kembali fit. Lagipula, sore nanti Ia harus mengirimkan data dan artikel pada teman-temannya di Indonesia. Besok malam ia akan meninggalkan mesir menuju suriah. Sasarannya adalah konflik timur tengah. Sebagai seorang wartawan internasional, sudah selayaknya Ia berkelana ditimur tengah.
            Belum nyenyak tidurnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Berteriak nyaring dari dalam ransel yang sengaja Ia letakan disampingnya.
            “Hallo?”
            “Faiz? Kamu ada dimana? Cepat ke pusat kota. Disana sedang ada demonstrasi, liput segera. Ini berita penting. jangan sampai kau melewatkannya”
            “Oh tidak. Aku belum istirahat, please. Beri aku waktu”Ujar Faiz setengah sadar.
            “Ayolah. Hari ini terakhir kamu bertugas di mesir. Besok kamu akan ke suriah, jika kamu melewatkan demonstrasi itu, berarti kamu telah melewati headline news penting untuk perusahaan kita. Come on, mana profesionalitas yang sering kamu teriakkan disini?”Orang diseberang telpon terus saja memaksanya.
            “Baiklah”Usai mematikan telepon Faiz langsung bangun.
            Ia melihat sekilas jam beker dimeja kecil disamping tempat tidur. Jam dua siang. Itu berarti ia baru saja tertidur kurang lebih setengah jam. Itu sangat tidak cukup mengingat sejak tadi pagi ia sudah bertugas dijalan.
            Ia menghembuskan nafas panjang. Petualangannya di timur tengah akan segera berakhir. Tiga hari di suriah setelah itu Ia akan pergi berlibur. Ia sudah tidak sabar menanti waktu liburan itu.
(*)(*)(*)
            Usai memastikan dirinya sudah sadar penuh barulah Ia keluar dari kamar. Tas ransel, kamera dan peralatan wartawan semua sudah lengkap. Sebenarnya Ia tidak suka bertugas sendirian. Namun karena rekan kerjanya yang bertugas bersama di mesir masih berada di Kairo Ia terpaksa harus bertugas sendirian. Mereka memutuskan berbagi tugas, rekannya di Kairo sementara ia di Alexandria.
            Saat berada di Lift Ia kembali bertemu dengan gadis tadi siang. Ia baru sadar ternyata gadis itu bukan gadis timur tengah. Lekuk wajahnya menggambarkan jelas kalau gadis itu berasal dari Asia. Mata sipit dengan kulit wajah yang putih bersinar. Faiz yakin gadis disampingnya itu berasal dari Asia. Jepang, Cina atau korea. Entahlah…
            “Hai”Kata Faiz menyapa.
            Gadis itu menoleh lalu tersenyum,
            “Kau? Terima kasih atas bantuannya tadi”
            “Sama-sama. Aku minta maaf soal yang tadi, aku tak berniat untuk…”
            “Tidak masalah.”
            “Oh iya, kenalkan namaku Faiz from Indonesian”
            “Aku Fiyumi takazawa, from Japan”
            Mereka melangkah bersama keluar dari Lift. Tiba-tiba langkah Fiyumi terhenti ketika melewati kafetaria didekat lobi. Ia berdiri sejenak lalu mengusap perutnya.
            “Kau lapar?”
            “Iya. Dari tadi pagi aku belum makan. Kau mau ikut?”
            “Boleh juga”Faiz mengiyakan tawaran Fiyumi. Tidak ada salahnya mengisi perut sebelum bertugas kembali. Lagipula demonstrasi itu pasti akan berlangsung lama.
            Mereka masuk lalu duduk disalah satu meja dekat jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan. Fiyumi memesan Tha’miyah bil baidh[1]. Faiz ikut memesan yang sama dengan Fiyumi. Sembari menunggu pesanan, mereka berbincang-bincang. Fiyumi bercerita lebih dulu. Tentang siapa dia dan apa keperluannya datang ke Mesir.
            Dari ceritanya, Fiyumi ternyata seorang wartawan salah satu surat kabar terbesar dinegeri matahari terbit. Ia bertugas di Mesir bersama empat orang temannya. Dua laki-laki dan dua perempuan. Namun sejak tadi pagi, Ia tidak melihat keempat temannya itu.
            “Kamu tidak takut bertugas sendirian? Suasana masih tidak nyaman untuk seorang perempuan berjalan sendiri”
            “tidak masalah. Lagipula aku kan tidak ikut turut campur dalam demonstrasi. Aku hanya mengamati dari jarak jauh.”
            “Oh iya. ngomong-ngomong bagaimana kabar Indonesia?”
            “Kabar apa?”
            “Korupsi”Sahut Fiyumi sambil menerima pesanannnya.
            Faiz terhenyak sejenak. Sudahkah menjadi rahasia umum bahwa indonesia terkenal dengan korupsinya?
            “Hei. Kamu menghayal apa?”
            “oh tidak apa-apa”Faiz terkejut dari lamunannya.
            “Sudahlah. Tak usah kau pikirkan”
            Faiz masih membisu. Membiarkan diam membungkus mereka. Hingga selesai makan siang, mereka masih diam satu sama lain.
            “Kamu mau ke pusat kota?”tanya Faiz memecah keheningan.
            “Iya. kalau kamu?”
            “Aku memang akan kesana. Bagaimana kalau kau ikut denganku?”
            “Boleh.”
            “Baguslah. Lagipula tidak aman untuk gadis sepertimu bertugas sendirian”
(*)(*)(*)
            “AWAS!!!!! SEMUA MUNDUR”
            Teriakan itu menggema. Entah siapa yang berteriak, pendemo atau petugas kepolisian, Faiz sudah tidak peduli. Pikirannya kacau seketika melihat puluhan bongkahan batu melayang diatas kepala. Sesekali terdengar bunyi tembakan. Ia panik. Fiyumi menghilang.
            Oh tidak. Seharusnya saat berlari tadi ia tidak melepaskan genggaman tangan Fiyumi. Atau lebih baik Ia tidak mengajak Fiyumi masuk sampai ketengah-tengah demonstran. Itu terlalu berani. Apalagi kata gadis itu, selama bertugas ia hanya mengamati dari jarak jauh.
            Hatinya menjadi tidak tenang. Tiba-tiba ia merasa bahwa ia yang bertanggung jawab sepenuhnya jika sampai terjadi apa-apa pada gadis itu.
            Orang-orang berlarian. Berhamburan dari sudut kota ke sudut kota lainnya. Faiz masih pada tempatnya. Hanya berteriak sambil memutar-mutar tubuhnya. Berharap dengan cepat matanya menemukan sosok itu.
            Fiyumi?
            Matanya membulat ketika melihat seorang gadis sedang berjongkok ketakutan diantara kerumunan banyak orang. Ia…ketakutan? Faiz berlari menghampirinya. Apalagi ketika ia sadar, puluhan bongkahan batu melayang kearah Fiyumi.
(*)(*)(*)
            Suasana semakin kacau. Ia terlepas dari genggaman Faiz. Laki-laki itu menghilang entah kemana. Fiyumi terdiam tak bisa berbuat apa-apa. Yang dilihatnya hanyalah orang-orang yang berlari tak tentu arah sambil berteriak. Untuk pertama kalinya semenjak bertugas sebagai seorang wartawan, Ia berada ditengah-tengah para demonstran? Oh bukan. Ditengah-tengah petugas kepolisian? Atau apalah… Fiyumi tidak tahu Ia sedang berada dibarisan kelompok mana.
            Ia berlari kecil menyelamatkan diri dari suasana kota yang semakin kacau. Bunyi tembakan berulang kali terdengar. Memaksa degub jantungnya berdebar kencang. Matanya memancarkan sinar ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia memilih untuk berjongkok, melindungi dirinya sambil meringis ketakutan. Mengapa juga Ia harus mengikuti ajakan Faiz ketengah-tengah demonstran? Mungkinkah Ia merasakan rasa aman bersama laki-laki itu?
            Fiyumi tidak peduli lagi apa yang akan terjadi padanya. Ia pasrah. Yang penting baginya adalah tugas sebagai seorang wartawan terlaksana dengan baik. Mati dalam bertugas adalah perjuangan terbaik baginya. Ia memejamkan mata. Memandangi puluhan batu yang melayang diatas kepala. Matanya menyipit. Sebongkah batu besar mengarah kepadanya, dan….
            Bruak…
            Batu itu mengenai pelipis. Fiyumi meringis ketakutan. Ia baru sadar ketika tidak merasakan apa-apa melainkan pelukan seseorang. Ia membuka mata dan mendapati tubuhnya berada dalam pelukan seorang laki-laki. Mata mereka saling bertumbukan. Faiz? Itukah kau? Jantung Fiyumi bergetar dahsyat. Laki-laki yang melindunginya adalah Faiz?
            “Faiz? Pelipismu…”Fiyumi mengangkat tanganya lalu menyentuh darah yang mengalir dari pelipis Faiz.
            “Kau berdarah…”
            “Yang penting kau tidak apa-apa”
            “Ayo kita pergi dari sini”Kata Fiyumi lalu berjalan menunduk bersama Faiz.
            Laki-laki itu? Ia tidak terlihat ketakutan. Sorot matanya berjuang. Tangannya masih mendekap tubuh Fiyumi dari samping. Meski darah mengalir diwajahnya.
(*)(*)(*)
            Fiyumi berlari tergopoh-gopoh dari kamarnya menuju kamar Faiz yang hanya berselang empat kamar. Ia membawa kotak kecil. Faiz terbaring disofa sambil memegangi pelipisnya.
            “Lebih baik kamu berbaring saja. Jangan banyak bergerak”Kata Fiyumi setelah melilitkan perban dikepala Faiz.
            “Tapi aku harus mengirimkan data ke Indonesia sore ini juga”Faiz berusaha bangkit sambil memegangi pelipisnya.
            “Dimana datamu? Biarkan aku saja yang mengirimkannya”
            “tapi…”
            “Kau ragu padaku?”Fiyumi mendekatkan wajahnya. Memandangi tatapan ragu dari laki-laki itu. “aku tidak akan mencuri datamu”
            “Baiklah”
            Faiz menunjukan folder artikel dan data-data lainnya. Ia juga memberikan alamat email beserta paswordnya. Ia tidak perlu ragu pada gadis itu.
            “Done. E-mail sent”Fiyumi berdiri lalu berbalik belakang.
            Faiz sedang memegang telepon dan berbicara dengan seseorang dibalik sana.  Ia memberitahu kalau baru saja mengirimkan email. Ia juga minta maaf karena tidak bisa meliput kejadian itu hingga akhir sebab terjadi kecelakaan kecil. Beruntunglah teman-teman di Indonesia mengerti.
            “Terima kasih”
            “Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih. Kalau kamu tidak datang, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku tadi”
            “aku minta maaf karena telah mengajakmu ketengah-tengah demonstran”
            “Tidak perlu minta maaf. Itu pengalaman terbaruku dalam bertugas. Aku harus kembali ke kamar, sepertinya teman-temanku sudah tiba”
            “Fiyumi”
            Gadis itu berhenti kemudian berbalik.
            “Malam nanti kamu mau kemana?”
            “Kemana ya???”Fiyumi mengangkat alisnya. Berpikir.
            “Kamu mau ku ajak jalan?”
            “boleh”
            “Sampai ketemu nanti malam. bye…”
            “Bye…”Fiyumi keluar lalu menutup pintu dari luar.
            Rasa yang tak bisa dijelaskan. Fiyumi sedang merasakan sesuatu. Melihat tatapan Faiz membuat jantungnya berdebar pelan. Tiba-tiba bibirnya mengulas senyum. Wajahnya merona merah mendapati dirinya dalam keadaan seperti itu. Mungkinkah ini cinta? Ah gila. Ini terlalu cepat. Lagipula tidak mungkin kalau perasaan ini diartikannya sebagai rasa cinta. Bagaimana nasib takaeda yang menanti kepulangannya ke jepang?
(*)(*)(*)
            Sebongkah rembulan menggantung indah pada jubah hitam yang dikenakan malam. Disekitarnya, ribuan kilau bintang bertebaran. Membuat suasana malam itu menjadi semakin indah. Tak bisa dipungkiri, sekalipun dalam suasana bergejolak, kecantikan Cleopatra takkan pernah tertandingi. Ia terlalu indah.
            “Jadi kamu sering ketempat ini?”tanya Fiyumi.
            “iya. Kalau aku sedang di mesir, aku sering datang kesini”Jawab Faiz.
            Saat itu mereka sedang duduk berdua diatas pasir. Berada dipantai yang menghadap langsung ke laut mediterania membuat suasana semakin romantis. Diatas pasir putih kekuningan itu, mereka duduk sambil berbincang-bincang.
            “Kau sering kesini dengan pacarmu?”
            Pertanyaan Fiyumi membuyarkan fokusnya pada keindahan malam. Ia menoleh lalu tersenyum tipis pada Fiyumi. Bukan pacar. Ia pernah datang ketempat itu tapi bukan dengan pacarnya. Ia hanya datang bersama seorang gadis yang ia temui di perpustakaan tertua didunia, perpustakaan Alexandria.
            “Kau memang aneh. Setiap kali ditanya malah diam”
            Faiz hanya terkekeh pelan. Tawanya. Tawa itu. Oh tidak. Fiyumi merasakan bumi seakan berhenti berputar. Jarum jam berhenti berdentang. Angin berhenti berhembus. Dan… Jantungnya seakan berhenti berdetak. Tatapan Faiz berulang kali membuatnya salah tingkah. Ia tidak boleh sampai jatuh hati pada laki-laki itu. Mereka baru saling kenal lagipula Ia punya kekasih yang menanti di jepang.
(*)(*)(*)
            Malam semakin larut sementara Ia masih saja terjaga. Bayangan laki-laki itu selalu saja mengganggunya. Senyumnya. Tawanya. Juga candaannya. Laki-laki itu sangat mempesona.
            Tiba-tiba ponselnya berdering, Ia buru-buru menjawab,
            “Hallo. Ada apa faiz?”
            “Faiz? Siapa dia?”suara serak dari balik telepon, kebingungan. walaupun raut wajahnya tidak tampak, Fiyumi yakin orang itu – Takaeda – pasti memasang wajah bingung.
            “Oh.. anu.. dia… hmm. Dia rekan kerjaku. Aku pikir dia menelepon untuk mengabarkan berita penting. Soalnya tadi siang ia sudah berangkat ke Kairo”
            “Benarkah? Apakah kau tidak melihat nama yang muncul dilayar ponselmu”
            “Maaf. Hari ini aku lelah sekali. Aku sedang beristirahat dan kau tiba-tiba menelepon. Ayolah, aku tahu kamu masih bingung dan tak percaya. Takaeda, dengarkan aku. Aku berada disini untuk tugas…”
            “aku percaya sepenuhnya padamu. Aku hanya ingin mendengarkan suaramu. Aku rindu, kapan kamu pulang?”
            Sejenak Fiyumi menarik nafas pelan. “aku akan pulang seminggu lagi. Aku juga merindukanmu. Kau tahu? Aku punya banyak cerita menarik untukmu”
            “Aku akan menantikan cerita itu. baiklah, sepertinya kamu memang sangat lelah. Selamat tidur”
            Setelah memutuskan pembicaraan Fiyumi berniat untuk tidur. Ia memang sangat lelah namun entah mengapa sejak bertemu dengan Faiz tadi siang, rasa lelah itu perlahan terobati. Apalagi beberapa kali Ia ditolong oleh Faiz. Saat Ia hampir jatuh di Lift hingga saat meliput demonstrasi tadi.
            Tiba-tiba, ponselnya kembali berdering. Ia kenal dering itu. Bukan panggilan masuk tapi penanda SMS masuk.
            Besok kita jalan lagi ya… Selamat tidur. –Faiz
            Mata Fiyumi membulat. Darimana laki-laki itu tahu nomor ponselnya. Ah biarlah, tak penting. Yang penting, rasa rindu yang bersemayam didalam hati Fiyumi dapat sedikit terobati. Ia tersenyum. Malu-malu kemudian membalas pesan singkat itu. Mengiyakan…
(*)(*)(*)
            Esoknya, mereka memutuskan untuk pergi ke perpustakaan Alexandria. Fiyumi ingin sekali berkunjung ke tempat itu sejak ia menginjakan kaki di Alexandria. Namun baru bersama Faiz Ia bisa masuk ke perpustakaan tertua di dunia.
            “Kamu suka membaca juga ternyata”Ujar Faiz saat mereka keluar.
            “Iya. Setidaknya dengan membaca aku bisa menggenggam dunia”
            “Oh ya?”Tanya Faiz, penasaran.
            “Iya benar. Kau bahkan tak perlu beranjak dari tempat dudukmu di Jakarta jika hanya ingin mengunjungi Tokyo”
            “Caranya?”
            “Dengan membaca. Kamupun bisa menembus batas waktu, pergi kemasa lalu”
            Faiz mengangguk pelan sambil tersenyum. Fiyumi tak hanya cantik dari segi fisiknya. Otaknya juga cantik. Indah dan eksotis.
            “Kenapa kamu memandangku seperti itu? kamu…tertarik padaku?”Tanya Fiyumi lalu menggoyangkan tangan didepan wajah Faiz.
            Faiz hanya tersenyum lalu berdehem pelan.
            “Kalau iya, kenapa?”Sahut Faiz kemudian melangkah lebih dulu.
            Fiyumi tertegun. Mematung sambil memandangi pundak Faiz yang semakin jauh meninggalkannya. Berulang kali bumi terasa berhenti berputar. Terik matahari tak terasa. Sungguh, Cinta itu benar-benar buta. Ia bahkan tak menyadari kalau sebuah mobil hampir saja menabraknya. Beruntung, seseorang datang dan dengan gesit menarik lengan Fiyumi ketepian jalan. siapa lagi kalau bukan Faiz.
            “Kamu mau bunuh diri hanya karena aku tertarik padamu?”
            “Ihh.”Fiyumi tak menjawab. Kali ini Ia yang maju lebih dulu. Wajahnya memerah. Faiz menyusulnya dari belakang.
            Faiz berhenti sejenak, mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana kemudian…
            “Iya… Jam empat?... oh tapi… bolehkah kita pergi ke suriah besok saja???... baiklah aku ikut katamu… Jam tiga?? Baiklah. Kamu atur saja semua… oke bye”Faiz mendesah panjang lalu memasukan kembal ponsel kesaku. Ia memandangi Fiyumi yang berdiri dikejauhan sana sambil melambaikan tangan kearahnya.
(*)(*)(*)
            Istana Raja Farouq yang sangat megah terlihat dengan jelas. Fiyumi tak berhenti mengarahkan kamera dan mengshoot sudut-sudut keindahannya. Sesekali Ia juga mengarahkan kamera kearah Faiz. Memotret laki-laki itu yang sepertinya juga sibuk memotret keindahan taman Muntazah.
            Usai memuaskan mata dengan menikmati keindahan taman muntazah, mereka memutuskan untuk duduk didekat sebuah pohon kurma.
            “kata mahasiswa-mahasiswa indonesia yang berkuliah disini. Katanya ya, kalau ada pasangan yang berkunjung ke taman ini, kisah cintanya akan abadi”Kata Faiz kembali membuka percakapan.
            “hmm…”Fiyumi balas dengan berdehem pelan. tapi sesungguhnya, saat Faiz mengatakan hal itu, Ia merasakan sesuatu menjalar kelubuk hatinya. Ia tidak yakin dengan makna yang tersirat dalam kalimat itu. Akhirnya, Ia hanya bisa tersenyum lalu mengangkat kamera kemudian mengarahkannya kewajah Faiz.
            “Berhentilah memotretku. Mungkin wajahku memang baby face tapi jujur aku ini bukan model.”Kata Faiz penuh percaya diri kemudian terbahak.
            Fiyumi menurunkan kameranya lalu mengernyintkan dahi sambil tersenyum tipis. “kalau begitu aku hapus saja foto-fotomu disini”Fiyumi bergerak menghapus foto-foto Faiz. Sebenarnya Ia tidak ingin melakukan hal itu atau bahkan tidak mungkin menghapus foto-foto Faiz. Itu sama saja dengan menghapus…Oups!!!
            “Jangan”Sontak Faiz menahan gerakan tangan Fiyumi. Fiyumi mengangkat wajah lalu mendapati Faiz sedang menatapnya.
            Aduh…
            Berulang kali jantung Fiyumi berdebar kencang. Nafasnya naik turun. Darahnya menghangat. Oh tidak. Satu persatu pengunjung di taman Muntazah mulai menghilang dari pandangannya. Bunga-bunga semakin bermekaran. Menebarkan aroma wangi. Fiyumi merasakan jantungnya berhenti berdetak. Nadinya? Jangan sampai berhenti berdenyut.
            “Jangan dihapus, simpan saja. siapa tahu bisa jadi bukti perkenalan kita”Lanjut Faiz lalu melepaskan tangan Fiyumi.
            Dua puluh empat jam berkenalan dan bersama dengan Faiz membuat Fiyumi merasa nyaman. Kecuali hatinya yang sedikit-sedikit bergejolak ketika matanya bertumbukan dengan mata pemuda itu. Beberapa jam lagi, Faiz akan pergi. Entah kapan mereka akan bisa bertemu kembali. Atau bahkan mereka takkan pernah bertemu lagi. Perkenalan mereka hanya sesaat, tak untuk selamanya. Fiyumi mendesah panjang…
(*)(*)(*)
            Faiz keluar dari kamar hotel sambil menenteng ransel dan mendorong koper kecilnya. Fiyumi berdiri didepan pintu dengan wajah memelas. Ia belum siap berpisah. Waktu terlalu cepat berlalu.
            “Kamu yakin akan pergi hari ini?”
            “ya”Faiz mengangguk pelan.
            “tak bisa ditunda sampai besok? Atau minggu depan mungkin”
            “tidak bisa”Faiz mengangkat tanganya lalu mengacak-acak pelan rambut Fiyumi.
            “Ayo… temanku mungkin sudah ada dibawah”
            Fiyumi mengikuti langkah Faiz dengan lambat. Mukanya tertunduk lesu. Dadanya sesak. Ia tak mengerti mengapa Ia begitu berat melepas kepergian Faiz. Ia mengetuk pelan jidatnya. Susah untuk dimengerti. Namun memang begitulah cinta, terkadang tak memerlukan logika. Tapi…benarkah ini cinta? Hanya dua puluh empat jam lalu cinta itu begitu cepat bersemi diantara mereka?
            “Mobilnya sudah ada. Aku harus pergi, terima kasih kau telah mau menjadi temanku selama seharian ini”Ucap Faiz lalu meraih tangan Fiyumi. Ia memandangi wajah yang tampak lesu tak bersemangat itu.
            Sementara Fiyumi membiarkan jemarinya berada dalam genggaman Faiz. Diremas lembut oleh lelaki itu. Ia kemudian mendesah panjang tanpa kata-kata.
            “Kamu kenapa? Sepertinya kamu sedih”
            “Aku takut”
            “Takut kenapa?”
            “Aku takut tak bisa lagi bertemu denganmu”
            Faiz hanya tersenyum lalu mencubit pipi Fiyumi. “Kita akan bertemu. Kita akan tetap berkirim kabar. Jangan khawatir, Indonesia dan Jepang masih satu Asia. Deket Kok”Kata Faiz menghibur.
            Fiyumi memaksa untuk tersenyum. Meski berat dan benar-benar berat perpisahan itu harus terjadi. Faiz melangkah dan masuk kemobil. Laki-laki itu menurunkan kaca mobil lalu melambaikan tangan. Fiyumi membalas dengan lambaian pelan. Lambat.
            Waktu dua puluh empat jam memanglah sangat cepat. Terlalu cepat untuk berpisah. Terlalu cepat untuk jatuh cinta tapi itulah kenyataannya. Fiyumi jatuh hati pada Faiz hanya dalam waktu dua puluh empat jam.
            Oh cinta… terkadang kehadiranmu membingungkan..
Bersamamu adalah perselingkuhan terindah…


[1] Makanan khas mesir. Berbentuk sandwich dengan isi sayuran, kentang goreng dan telur rebus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar