“Kamu
kenapa? Sepertinya kamu sedih”
“Aku
takut”
“Takut
kenapa?”
“Aku
takut tak bisa lagi bertemu denganmu”
(*)(*)(*)
Ia melangkah cepat dan tergesa-gesa
menuju hotel tempatnya menginap. Udara yang cukup panas siang itu membuatnya
harus memicingkan mata berkali-kali. Alexandria sedang membara. Bukan hanya
keadaan alamnya. Suasana dikota mediterania itupun terkesan mencekam. Banyak
polisi yang berjaga ditiap sudut kota.
Ia baru bisa bernafas lega ketika
kakinya tepat menginjak lobi hotel. Ia melongos sejenak kemudian menuju Lift. Ia
berhenti didepan lift, menanti pintu lift terbuka kemudian masuk. Faiz sadar,
saat ia masuk seseorang telah lebih dulu berada didalam lift. Namun karena
sibuk dengan mengobrak-abrik isi tas ranselnya, Ia tidak terlalu memperhatikan
gadis disampingnya.
Saat pintu lift terbuka, sontak Faiz
dan gadis disampingnya melangkah keluar dari Lift. Saat itulah, heels yang
dikenakan gadis itu patah – entah karena apa – membuatnya kehilangan
keseimbangan dan hampir saja jatuh. Beruntunglah Faiz dengan gesit langsung
menarik lengan gadis itu.
Sekejap mereka terdiam. Saling
pandang satu sama lain. Mereka tidak sadar saat itu mereka menjadi bahan
tontonan pengunjung hotel yang saat itu sedang berada disekitar mereka. Bukan
karena heels gadis itu yang patah tapi karena posisi mereka berdua. Faiz dengan
sedikit membungkuk memeluk gadis didepannya.
“Astaga. Maaf”Kata Faiz lalu
membantu gadis itu berdiri.
Gadis itu membungkukan badannya
sambil meminta maaf pula. Ia salah tingkah ketika tahu banyak orang yang
memperhatikan mereka.
Tak mau disergap rasa malu, Faiz
langsung bergegas meninggalkan tempat itu dan menuju kamarnya. Rasa kantuk
harus sesegera mungkin Ia hilangkan. Mungkin dengan berbaring beberapa menit, staminanya
bisa kembali fit. Lagipula, sore nanti Ia harus mengirimkan data dan artikel
pada teman-temannya di Indonesia. Besok malam ia akan meninggalkan mesir menuju
suriah. Sasarannya adalah konflik timur tengah. Sebagai seorang wartawan
internasional, sudah selayaknya Ia berkelana ditimur tengah.
Belum nyenyak tidurnya, tiba-tiba
ponselnya berdering. Berteriak nyaring dari dalam ransel yang sengaja Ia
letakan disampingnya.
“Hallo?”
“Faiz? Kamu ada dimana? Cepat ke
pusat kota. Disana sedang ada demonstrasi, liput segera. Ini berita penting. jangan
sampai kau melewatkannya”
“Oh tidak. Aku belum istirahat,
please. Beri aku waktu”Ujar Faiz setengah sadar.
“Ayolah. Hari ini terakhir kamu
bertugas di mesir. Besok kamu akan ke suriah, jika kamu melewatkan demonstrasi
itu, berarti kamu telah melewati headline news penting untuk perusahaan kita.
Come on, mana profesionalitas yang sering kamu teriakkan disini?”Orang
diseberang telpon terus saja memaksanya.
“Baiklah”Usai mematikan telepon Faiz
langsung bangun.
Ia melihat sekilas jam beker dimeja
kecil disamping tempat tidur. Jam dua siang. Itu berarti ia baru saja tertidur
kurang lebih setengah jam. Itu sangat tidak cukup mengingat sejak tadi pagi ia
sudah bertugas dijalan.
Ia menghembuskan nafas panjang. Petualangannya
di timur tengah akan segera berakhir. Tiga hari di suriah setelah itu Ia akan
pergi berlibur. Ia sudah tidak sabar menanti waktu liburan itu.
(*)(*)(*)
Usai memastikan dirinya sudah sadar
penuh barulah Ia keluar dari kamar. Tas ransel, kamera dan peralatan wartawan
semua sudah lengkap. Sebenarnya Ia tidak suka bertugas sendirian. Namun karena
rekan kerjanya yang bertugas bersama di mesir masih berada di Kairo Ia terpaksa
harus bertugas sendirian. Mereka memutuskan berbagi tugas, rekannya di Kairo
sementara ia di Alexandria.
Saat berada di Lift Ia kembali
bertemu dengan gadis tadi siang. Ia baru sadar ternyata gadis itu bukan gadis
timur tengah. Lekuk wajahnya menggambarkan jelas kalau gadis itu berasal dari
Asia. Mata sipit dengan kulit wajah yang putih bersinar. Faiz yakin gadis
disampingnya itu berasal dari Asia. Jepang, Cina atau korea. Entahlah…
“Hai”Kata Faiz menyapa.
Gadis itu menoleh lalu tersenyum,
“Kau? Terima kasih atas bantuannya
tadi”
“Sama-sama. Aku minta maaf soal yang
tadi, aku tak berniat untuk…”
“Tidak masalah.”
“Oh iya, kenalkan namaku Faiz from
Indonesian”
“Aku Fiyumi takazawa, from Japan”
Mereka melangkah bersama keluar dari
Lift. Tiba-tiba langkah Fiyumi terhenti ketika melewati kafetaria didekat lobi.
Ia berdiri sejenak lalu mengusap perutnya.
“Kau lapar?”
“Iya. Dari tadi pagi aku belum
makan. Kau mau ikut?”
“Boleh juga”Faiz mengiyakan tawaran
Fiyumi. Tidak ada salahnya mengisi perut sebelum bertugas kembali. Lagipula
demonstrasi itu pasti akan berlangsung lama.
Mereka masuk lalu duduk disalah satu
meja dekat jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan. Fiyumi memesan Tha’miyah bil baidh[1].
Faiz ikut memesan yang sama dengan Fiyumi. Sembari menunggu pesanan, mereka
berbincang-bincang. Fiyumi bercerita lebih dulu. Tentang siapa dia dan apa
keperluannya datang ke Mesir.
Dari ceritanya, Fiyumi ternyata
seorang wartawan salah satu surat kabar terbesar dinegeri matahari terbit. Ia
bertugas di Mesir bersama empat orang temannya. Dua laki-laki dan dua
perempuan. Namun sejak tadi pagi, Ia tidak melihat keempat temannya itu.
“Kamu tidak takut bertugas
sendirian? Suasana masih tidak nyaman untuk seorang perempuan berjalan sendiri”
“tidak masalah. Lagipula aku kan
tidak ikut turut campur dalam demonstrasi. Aku hanya mengamati dari jarak
jauh.”
“Oh iya. ngomong-ngomong bagaimana
kabar Indonesia?”
“Kabar apa?”
“Korupsi”Sahut Fiyumi sambil
menerima pesanannnya.
Faiz terhenyak sejenak. Sudahkah
menjadi rahasia umum bahwa indonesia terkenal dengan korupsinya?
“Hei. Kamu menghayal apa?”
“oh tidak apa-apa”Faiz terkejut dari
lamunannya.
“Sudahlah. Tak usah kau pikirkan”
Faiz masih membisu. Membiarkan diam
membungkus mereka. Hingga selesai makan siang, mereka masih diam satu sama
lain.
“Kamu mau ke pusat kota?”tanya Faiz
memecah keheningan.
“Iya. kalau kamu?”
“Aku memang akan kesana. Bagaimana
kalau kau ikut denganku?”
“Boleh.”
“Baguslah. Lagipula tidak aman untuk
gadis sepertimu bertugas sendirian”
(*)(*)(*)
“AWAS!!!!! SEMUA MUNDUR”
Teriakan itu menggema. Entah siapa
yang berteriak, pendemo atau petugas kepolisian, Faiz sudah tidak peduli.
Pikirannya kacau seketika melihat puluhan bongkahan batu melayang diatas
kepala. Sesekali terdengar bunyi tembakan. Ia panik. Fiyumi menghilang.
Oh tidak. Seharusnya saat berlari
tadi ia tidak melepaskan genggaman tangan Fiyumi. Atau lebih baik Ia tidak
mengajak Fiyumi masuk sampai ketengah-tengah demonstran. Itu terlalu berani.
Apalagi kata gadis itu, selama bertugas ia hanya mengamati dari jarak jauh.
Hatinya menjadi tidak tenang. Tiba-tiba
ia merasa bahwa ia yang bertanggung jawab sepenuhnya jika sampai terjadi
apa-apa pada gadis itu.
Orang-orang berlarian. Berhamburan
dari sudut kota ke sudut kota lainnya. Faiz masih pada tempatnya. Hanya berteriak
sambil memutar-mutar tubuhnya. Berharap dengan cepat matanya menemukan sosok
itu.
Fiyumi?
Matanya membulat ketika melihat
seorang gadis sedang berjongkok ketakutan diantara kerumunan banyak orang.
Ia…ketakutan? Faiz berlari menghampirinya. Apalagi ketika ia sadar, puluhan
bongkahan batu melayang kearah Fiyumi.
(*)(*)(*)
Suasana semakin kacau. Ia terlepas
dari genggaman Faiz. Laki-laki itu menghilang entah kemana. Fiyumi terdiam tak
bisa berbuat apa-apa. Yang dilihatnya hanyalah orang-orang yang berlari tak
tentu arah sambil berteriak. Untuk pertama kalinya semenjak bertugas sebagai
seorang wartawan, Ia berada ditengah-tengah para demonstran? Oh bukan.
Ditengah-tengah petugas kepolisian? Atau apalah… Fiyumi tidak tahu Ia sedang
berada dibarisan kelompok mana.
Ia berlari kecil menyelamatkan diri
dari suasana kota yang semakin kacau. Bunyi tembakan berulang kali terdengar.
Memaksa degub jantungnya berdebar kencang. Matanya memancarkan sinar ketakutan.
Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia memilih untuk berjongkok, melindungi dirinya
sambil meringis ketakutan. Mengapa juga Ia harus mengikuti ajakan Faiz
ketengah-tengah demonstran? Mungkinkah Ia merasakan rasa aman bersama laki-laki
itu?
Fiyumi tidak peduli lagi apa yang
akan terjadi padanya. Ia pasrah. Yang penting baginya adalah tugas sebagai seorang
wartawan terlaksana dengan baik. Mati dalam bertugas adalah perjuangan terbaik
baginya. Ia memejamkan mata. Memandangi puluhan batu yang melayang diatas
kepala. Matanya menyipit. Sebongkah batu besar mengarah kepadanya, dan….
Bruak…
Batu itu mengenai pelipis. Fiyumi
meringis ketakutan. Ia baru sadar ketika tidak merasakan apa-apa melainkan
pelukan seseorang. Ia membuka mata dan mendapati tubuhnya berada dalam pelukan
seorang laki-laki. Mata mereka saling bertumbukan. Faiz? Itukah kau? Jantung
Fiyumi bergetar dahsyat. Laki-laki yang melindunginya adalah Faiz?
“Faiz? Pelipismu…”Fiyumi mengangkat
tanganya lalu menyentuh darah yang mengalir dari pelipis Faiz.
“Kau berdarah…”
“Yang penting kau tidak apa-apa”
“Ayo kita pergi dari sini”Kata
Fiyumi lalu berjalan menunduk bersama Faiz.
Laki-laki itu? Ia tidak terlihat
ketakutan. Sorot matanya berjuang. Tangannya masih mendekap tubuh Fiyumi dari
samping. Meski darah mengalir diwajahnya.
(*)(*)(*)
Fiyumi berlari tergopoh-gopoh dari
kamarnya menuju kamar Faiz yang hanya berselang empat kamar. Ia membawa kotak
kecil. Faiz terbaring disofa sambil memegangi pelipisnya.
“Lebih baik kamu berbaring saja.
Jangan banyak bergerak”Kata Fiyumi setelah melilitkan perban dikepala Faiz.
“Tapi aku harus mengirimkan data ke
Indonesia sore ini juga”Faiz berusaha bangkit sambil memegangi pelipisnya.
“Dimana datamu? Biarkan aku saja
yang mengirimkannya”
“tapi…”
“Kau ragu padaku?”Fiyumi mendekatkan
wajahnya. Memandangi tatapan ragu dari laki-laki itu. “aku tidak akan mencuri
datamu”
“Baiklah”
Faiz menunjukan folder artikel dan
data-data lainnya. Ia juga memberikan alamat email beserta paswordnya. Ia tidak
perlu ragu pada gadis itu.
“Done. E-mail sent”Fiyumi berdiri
lalu berbalik belakang.
Faiz sedang memegang telepon dan
berbicara dengan seseorang dibalik sana.
Ia memberitahu kalau baru saja mengirimkan email. Ia juga minta maaf
karena tidak bisa meliput kejadian itu hingga akhir sebab terjadi kecelakaan
kecil. Beruntunglah teman-teman di Indonesia mengerti.
“Terima kasih”
“Seharusnya aku yang mengucapkan
terima kasih. Kalau kamu tidak datang, aku tidak tahu apa yang terjadi padaku
tadi”
“aku minta maaf karena telah
mengajakmu ketengah-tengah demonstran”
“Tidak perlu minta maaf. Itu
pengalaman terbaruku dalam bertugas. Aku harus kembali ke kamar, sepertinya
teman-temanku sudah tiba”
“Fiyumi”
Gadis itu berhenti kemudian
berbalik.
“Malam nanti kamu mau kemana?”
“Kemana ya???”Fiyumi mengangkat
alisnya. Berpikir.
“Kamu mau ku ajak jalan?”
“boleh”
“Sampai ketemu nanti malam. bye…”
“Bye…”Fiyumi keluar lalu menutup
pintu dari luar.
Rasa yang tak bisa dijelaskan.
Fiyumi sedang merasakan sesuatu. Melihat tatapan Faiz membuat jantungnya
berdebar pelan. Tiba-tiba bibirnya mengulas senyum. Wajahnya merona merah
mendapati dirinya dalam keadaan seperti itu. Mungkinkah ini cinta? Ah gila. Ini
terlalu cepat. Lagipula tidak mungkin kalau perasaan ini diartikannya sebagai
rasa cinta. Bagaimana nasib takaeda yang menanti kepulangannya ke jepang?
(*)(*)(*)
Sebongkah rembulan menggantung indah
pada jubah hitam yang dikenakan malam. Disekitarnya, ribuan kilau bintang
bertebaran. Membuat suasana malam itu menjadi semakin indah. Tak bisa
dipungkiri, sekalipun dalam suasana bergejolak, kecantikan Cleopatra takkan
pernah tertandingi. Ia terlalu indah.
“Jadi kamu sering ketempat
ini?”tanya Fiyumi.
“iya. Kalau aku sedang di mesir, aku
sering datang kesini”Jawab Faiz.
Saat itu mereka sedang duduk berdua
diatas pasir. Berada dipantai yang menghadap langsung ke laut mediterania
membuat suasana semakin romantis. Diatas pasir putih kekuningan itu, mereka
duduk sambil berbincang-bincang.
“Kau sering kesini dengan pacarmu?”
Pertanyaan Fiyumi membuyarkan
fokusnya pada keindahan malam. Ia menoleh lalu tersenyum tipis pada Fiyumi. Bukan
pacar. Ia pernah datang ketempat itu tapi bukan dengan pacarnya. Ia hanya
datang bersama seorang gadis yang ia temui di perpustakaan tertua didunia,
perpustakaan Alexandria.
“Kau memang aneh. Setiap kali
ditanya malah diam”
Faiz hanya terkekeh pelan. Tawanya.
Tawa itu. Oh tidak. Fiyumi merasakan bumi seakan berhenti berputar. Jarum jam
berhenti berdentang. Angin berhenti berhembus. Dan… Jantungnya seakan berhenti
berdetak. Tatapan Faiz berulang kali membuatnya salah tingkah. Ia tidak boleh
sampai jatuh hati pada laki-laki itu. Mereka baru saling kenal lagipula Ia
punya kekasih yang menanti di jepang.
(*)(*)(*)
Malam semakin larut sementara Ia
masih saja terjaga. Bayangan laki-laki itu selalu saja mengganggunya. Senyumnya.
Tawanya. Juga candaannya. Laki-laki itu sangat mempesona.
Tiba-tiba ponselnya berdering, Ia
buru-buru menjawab,
“Hallo. Ada apa faiz?”
“Faiz? Siapa dia?”suara serak dari
balik telepon, kebingungan. walaupun raut wajahnya tidak tampak, Fiyumi yakin orang
itu – Takaeda – pasti memasang wajah bingung.
“Oh.. anu.. dia… hmm. Dia rekan
kerjaku. Aku pikir dia menelepon untuk mengabarkan berita penting. Soalnya tadi
siang ia sudah berangkat ke Kairo”
“Benarkah? Apakah kau tidak melihat
nama yang muncul dilayar ponselmu”
“Maaf. Hari ini aku lelah sekali. Aku
sedang beristirahat dan kau tiba-tiba menelepon. Ayolah, aku tahu kamu masih
bingung dan tak percaya. Takaeda, dengarkan aku. Aku berada disini untuk tugas…”
“aku percaya sepenuhnya padamu. Aku
hanya ingin mendengarkan suaramu. Aku rindu, kapan kamu pulang?”
Sejenak Fiyumi menarik nafas pelan. “aku
akan pulang seminggu lagi. Aku juga merindukanmu. Kau tahu? Aku punya banyak
cerita menarik untukmu”
“Aku akan menantikan cerita itu.
baiklah, sepertinya kamu memang sangat lelah. Selamat tidur”
Setelah memutuskan pembicaraan
Fiyumi berniat untuk tidur. Ia memang sangat lelah namun entah mengapa sejak
bertemu dengan Faiz tadi siang, rasa lelah itu perlahan terobati. Apalagi
beberapa kali Ia ditolong oleh Faiz. Saat Ia hampir jatuh di Lift hingga saat
meliput demonstrasi tadi.
Tiba-tiba, ponselnya kembali
berdering. Ia kenal dering itu. Bukan panggilan masuk tapi penanda SMS masuk.
Besok
kita jalan lagi ya… Selamat tidur. –Faiz
Mata Fiyumi membulat. Darimana
laki-laki itu tahu nomor ponselnya. Ah biarlah, tak penting. Yang penting, rasa
rindu yang bersemayam didalam hati Fiyumi dapat sedikit terobati. Ia tersenyum.
Malu-malu kemudian membalas pesan singkat itu. Mengiyakan…
(*)(*)(*)
Esoknya, mereka memutuskan untuk
pergi ke perpustakaan Alexandria. Fiyumi ingin sekali berkunjung ke tempat itu
sejak ia menginjakan kaki di Alexandria. Namun baru bersama Faiz Ia bisa masuk
ke perpustakaan tertua di dunia.
“Kamu suka membaca juga
ternyata”Ujar Faiz saat mereka keluar.
“Iya. Setidaknya dengan membaca aku
bisa menggenggam dunia”
“Oh ya?”Tanya Faiz, penasaran.
“Iya benar. Kau bahkan tak perlu
beranjak dari tempat dudukmu di Jakarta jika hanya ingin mengunjungi Tokyo”
“Caranya?”
“Dengan membaca. Kamupun bisa
menembus batas waktu, pergi kemasa lalu”
Faiz mengangguk pelan sambil
tersenyum. Fiyumi tak hanya cantik dari segi fisiknya. Otaknya juga cantik.
Indah dan eksotis.
“Kenapa kamu memandangku seperti
itu? kamu…tertarik padaku?”Tanya Fiyumi lalu menggoyangkan tangan didepan wajah
Faiz.
Faiz hanya tersenyum lalu berdehem
pelan.
“Kalau iya, kenapa?”Sahut Faiz
kemudian melangkah lebih dulu.
Fiyumi tertegun. Mematung sambil
memandangi pundak Faiz yang semakin jauh meninggalkannya. Berulang kali bumi
terasa berhenti berputar. Terik matahari tak terasa. Sungguh, Cinta itu
benar-benar buta. Ia bahkan tak menyadari kalau sebuah mobil hampir saja
menabraknya. Beruntung, seseorang datang dan dengan gesit menarik lengan Fiyumi
ketepian jalan. siapa lagi kalau bukan Faiz.
“Kamu mau bunuh diri hanya karena
aku tertarik padamu?”
“Ihh.”Fiyumi tak menjawab. Kali ini
Ia yang maju lebih dulu. Wajahnya memerah. Faiz menyusulnya dari belakang.
Faiz berhenti sejenak, mengeluarkan ponsel
dari dalam saku celana kemudian…
“Iya… Jam empat?... oh tapi…
bolehkah kita pergi ke suriah besok saja???... baiklah aku ikut katamu… Jam
tiga?? Baiklah. Kamu atur saja semua… oke bye”Faiz mendesah panjang lalu
memasukan kembal ponsel kesaku. Ia memandangi Fiyumi yang berdiri dikejauhan
sana sambil melambaikan tangan kearahnya.
(*)(*)(*)
Istana Raja Farouq yang sangat megah
terlihat dengan jelas. Fiyumi tak berhenti mengarahkan kamera dan mengshoot
sudut-sudut keindahannya. Sesekali Ia juga mengarahkan kamera kearah Faiz. Memotret
laki-laki itu yang sepertinya juga sibuk memotret keindahan taman Muntazah.
Usai memuaskan mata dengan menikmati
keindahan taman muntazah, mereka memutuskan untuk duduk didekat sebuah pohon
kurma.
“kata mahasiswa-mahasiswa indonesia
yang berkuliah disini. Katanya ya, kalau ada pasangan yang berkunjung ke taman
ini, kisah cintanya akan abadi”Kata Faiz kembali membuka percakapan.
“hmm…”Fiyumi balas dengan berdehem
pelan. tapi sesungguhnya, saat Faiz mengatakan hal itu, Ia merasakan sesuatu
menjalar kelubuk hatinya. Ia tidak yakin dengan makna yang tersirat dalam
kalimat itu. Akhirnya, Ia hanya bisa tersenyum lalu mengangkat kamera kemudian
mengarahkannya kewajah Faiz.
“Berhentilah memotretku. Mungkin
wajahku memang baby face tapi jujur
aku ini bukan model.”Kata Faiz penuh percaya diri kemudian terbahak.
Fiyumi menurunkan kameranya lalu
mengernyintkan dahi sambil tersenyum tipis. “kalau begitu aku hapus saja
foto-fotomu disini”Fiyumi bergerak menghapus foto-foto Faiz. Sebenarnya Ia
tidak ingin melakukan hal itu atau bahkan tidak mungkin menghapus foto-foto
Faiz. Itu sama saja dengan menghapus…Oups!!!
“Jangan”Sontak Faiz menahan gerakan
tangan Fiyumi. Fiyumi mengangkat wajah lalu mendapati Faiz sedang menatapnya.
Aduh…
Berulang kali jantung Fiyumi berdebar
kencang. Nafasnya naik turun. Darahnya menghangat. Oh tidak. Satu persatu
pengunjung di taman Muntazah mulai menghilang dari pandangannya. Bunga-bunga
semakin bermekaran. Menebarkan aroma wangi. Fiyumi merasakan jantungnya
berhenti berdetak. Nadinya? Jangan sampai berhenti berdenyut.
“Jangan dihapus, simpan saja. siapa
tahu bisa jadi bukti perkenalan kita”Lanjut Faiz lalu melepaskan tangan Fiyumi.
Dua puluh empat jam berkenalan dan
bersama dengan Faiz membuat Fiyumi merasa nyaman. Kecuali hatinya yang
sedikit-sedikit bergejolak ketika matanya bertumbukan dengan mata pemuda itu. Beberapa
jam lagi, Faiz akan pergi. Entah kapan mereka akan bisa bertemu kembali. Atau
bahkan mereka takkan pernah bertemu lagi. Perkenalan mereka hanya sesaat, tak
untuk selamanya. Fiyumi mendesah panjang…
(*)(*)(*)
Faiz keluar dari kamar hotel sambil
menenteng ransel dan mendorong koper kecilnya. Fiyumi berdiri didepan pintu
dengan wajah memelas. Ia belum siap berpisah. Waktu terlalu cepat berlalu.
“Kamu yakin akan pergi hari ini?”
“ya”Faiz mengangguk pelan.
“tak bisa ditunda sampai besok? Atau
minggu depan mungkin”
“tidak bisa”Faiz mengangkat tanganya
lalu mengacak-acak pelan rambut Fiyumi.
“Ayo… temanku mungkin sudah ada
dibawah”
Fiyumi mengikuti langkah Faiz dengan
lambat. Mukanya tertunduk lesu. Dadanya sesak. Ia tak mengerti mengapa Ia
begitu berat melepas kepergian Faiz. Ia mengetuk pelan jidatnya. Susah untuk
dimengerti. Namun memang begitulah cinta, terkadang tak memerlukan logika.
Tapi…benarkah ini cinta? Hanya dua puluh empat jam lalu cinta itu begitu cepat
bersemi diantara mereka?
“Mobilnya sudah ada. Aku harus
pergi, terima kasih kau telah mau menjadi temanku selama seharian ini”Ucap Faiz
lalu meraih tangan Fiyumi. Ia memandangi wajah yang tampak lesu tak bersemangat
itu.
Sementara Fiyumi membiarkan
jemarinya berada dalam genggaman Faiz. Diremas lembut oleh lelaki itu. Ia
kemudian mendesah panjang tanpa kata-kata.
“Kamu kenapa? Sepertinya kamu sedih”
“Aku takut”
“Takut kenapa?”
“Aku takut tak bisa lagi bertemu
denganmu”
Faiz hanya tersenyum lalu mencubit
pipi Fiyumi. “Kita akan bertemu. Kita akan tetap berkirim kabar. Jangan
khawatir, Indonesia dan Jepang masih satu Asia. Deket Kok”Kata Faiz menghibur.
Fiyumi memaksa untuk tersenyum.
Meski berat dan benar-benar berat perpisahan itu harus terjadi. Faiz melangkah
dan masuk kemobil. Laki-laki itu menurunkan kaca mobil lalu melambaikan tangan.
Fiyumi membalas dengan lambaian pelan. Lambat.
Waktu dua puluh empat jam memanglah
sangat cepat. Terlalu cepat untuk berpisah. Terlalu cepat untuk jatuh cinta
tapi itulah kenyataannya. Fiyumi jatuh hati pada Faiz hanya dalam waktu dua
puluh empat jam.
Oh
cinta… terkadang kehadiranmu membingungkan..
Bersamamu
adalah perselingkuhan terindah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar