Demelza
mematut dirinya didepan cermin. Mengamati tiap lekuk tubuhnya yang indah.
Wajahnya yang cantik tergambar jelas. Menawan dengan senyumnya yang indah.
Rambutnya terurai. Hitam lebat. Matanya bulat sempurna. Mempesona.
Siapapun
yang melihatnya pasti akan menduga kalau Melza seorang bintang film ternama.
Senyumnya yang ramah selalu saja menipu banyak orang.
Sebentar…
Senyumnya.
Senyum Melza tidak setulus biasanya. Perlahan lenyap lalu berubah. Air mukanya,
dalam sekian detik berubah gelap. Murung. Sedetik kemudian, air mata mengalir
pelan. Ia menangis.
Nafasnya
tercekat untuk beberapa saat.
Begitulah
Ia. Setiap saat, setelah menyelesaikan satu pekerjaan penting, maka penyesalan
yang akan menghinggapi dirinya. Menggerogoti tiap inci dalam tubuhnya. Jijik :
satu kata yang sering terbersit dalam kepalanya.
Melza
Terisak. Ia tidak menyangka semua terjadi sampai sejauh ini. Ingin rasanya ia
meninggalkan pekerjaan menjijikan itu. Namun setiap kali ia mulai untuk
berpikir jernih, bayangan orang tua dan adik-adiknya yang masih kecil langsung
terbayang. Terpaksa untuk bertahan sampai tiba saatnya untuk pergi dari dunia
gelap.
Pelacur.
Melza
bangkit lalu meraih palto dan
mengenakannya. Seorang pria bertubuh kurus terlentang nyenyak diatas tempat
tidur. Dadanya yang berbulu lebat dibiarkan terbuka. Hanya selimut tebal yang
menutupi bagian bawah tubuhnya. Andaikan kamar disalah satu hotel ternama di
kota Manchester tidak menyediakan penghangat ruangan, sudah dipastikan pria itu
akan membeku dengan sendirinya.
Ia
mengambil beberapa lembar dollar dari atas meja rias. Menghitungnya kemudian
memasukannya kedalam dompet kecil. Sebelum pergi, Ia sempat berbicara dengan
bayangannya.
“Jangan
khawatir Melza. Suatu saat kamu akan menjauh dari dunia ini. Bertahanlah
sejenak, ini demi orang tua dan adik-adikmu. Siapa yang akan membiayai hidup
dan sekolah mereka kalau bukan kamu? Kamu anak sulung dan sudah semestinya anak
sulung yang bekerja”
Melza
melangkah keluar. Mematikan lampu kamar lalu menutup pintu dari luar. Ia
melangkah cepat, menuruni lift lalu berpamitan pada seorang perempuan di lobby
hotel. Dari penampilannya, perempuan itu sepertinya seorang recepcionist.
Wush…
Belum
genap melangkah keluar, Melza tiba-tiba menggigil. Angin musim salju memaksanya
untuk mengeratkan palto. Ia berjalan cepat diatas gundukan salju sambil memeluk
dada dan sesekali menghembuskan nafas ke udara.
Beruntung,
apartemen miliknya tidak terlalu jauh dari hotel. Ia tidak perlu menunggu bus
atau kenderaan umum lainnya. Ia hanya perlu melangkah cepat, dua kali
menyeberang jalan lalu berjalan melintasi gang kecil untuk sampai di apartemen
miliknya.
Melza
singgah di sebuah minimarket untuk berbelanja keperluan bulanan. Roti, daging,
sayuran, buah-buahan dan susu. Ia juga membeli beberapa bungkus snack, coklat
dan softdrink.
“Melza?”Seorang
pemuda berkacamata berjalan menghampirinya.
Tinggi
dengan body atletis. Langkahnya tegap. Wajahnya putih bersih dengan alis tebal
dan hidung mancung. Ia menggunakan palto berwarna coklat muda.
“Franklin?”
Melza
tak menduga akan bertemu dengan teman kuliahnya di minimarket itu.
“Sedang
apa kamu disini?”
“Seperti
yang kamu lihat. Belanja kebutuhan bulanan. Kamu sendiri sedang apa? bukannya
rumahmu cukup jauh dari sini?”
“Semalam
aku ketiduran diapartemen milik temanku. Tugas kuliah dari Mr. Cole sungguh
menyiksa. Tentunya kamu kenal dengan dia bukan?”
Mr. Cole???
Melza
tergugup. Pria itu : Mr. Cole. Pria yang ia tinggalkan terbaring dikamar hotel
tadi. Pria yang bersama dengannya semalaman penuh. Menikmati hingar bingar
disebuah kelab malam dipinggiran kota Manchester. Pria kurus yang tidak lain
seorang dosen dikampusnya.
“Iya”Sahutnya
singkat.
Melza
sebenarnya tidak ingin membahas pria itu. Baginya, Mr. Cole hanya dikenalnya
setiap kali melakukan pekerjaan itu. Selebihnya ia benci mendengar nama itu.
Mengapa Ia sebenci itu, Ia pun tidak mengerti. Yang pasti, ia sangat membenci
Mr. Cole.
“Apa
Ia pernah memberikan kalian tugas kuliah yang menyiksa?”
“Menyiksa?”
“Ia”
“Menyiksa
bagaimana menurutmu?”
"Begitulah.
Karena sangat menyiksa sampai sulit untuk digambarkan dengan kata-kata”Jawab
Franklin.
“Heheheh”
“Kenapa
kamu tertawa?”
“Lucu
saja. Oh ya, setelah ini kamu mau kemana?”
“Pulang”
“Kalau
kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu ke kedai didepan sana. Itupun kalau
kamu tidak terburu-buru”
“Boleh.
Siapa yang bayar?”Franklin menyunggingkan bibirnya.
“Aku.
Kan aku yang mengajakmu?”
“Baiklah.
Tunggu sebentar sepertinya aku melupakan sesuatu. Nanti kita ketemu saja
diluar. Okey?”
Franklin
melesat pergi. Sementara Melza langsung menuju meja kasir untuk membayar
belanjaannya. Setelah itu Ia tidak langsung keluar. Udara yang sangat dingin
menjadikannya malas berlama-lama diluar. Musim salju memang akan segera berakhir.
Tapi siapa sangka alam sangat suka bermain-main. Cuaca sering tidak stabil.
Franklin,
pemuda tampan dan cukup cerdas dikampusnya. Mereka pernah sekelas dulu waktu
diawal-awal perkuliahan. Selain cerdas, franklin juga aktif dibidang olahraga.
Banyak gadis-gadis kampus yang menggilainya. Meski begitu, tak pernah tersiar
kabar sekalipun bahwa Franklin mempermainkan gadis-gadis itu. Franklin not a playboy.
“Sudah
siap?”
“Ayo”
Demelza
melangkah lebih dulu. Lalu tiba-tiba, dari belakang Franklin menarik tangannya.
Memegangnya erat. Melza cukup kaget. Ia menengok ke samping. Tapi Franklin
sepertinya tidak terlalu peduli dengan gerakannya yang membuat Melza kaget.
Mereka
berjalan beriringan menyeberangi jalan. Kedai untuk minum kopi ada diseberang
sana. Sudah buka dan sudah dipenuhi pengunjung. Itu kedai favorit Melza. Karena
lokasinya yang dekat dari apartemennya.
Sebelum
masuk Ia berhenti sejenak. Mengambil ponselnya lalu tersenyum ketika tahu kalau
ibunya yang menelepon.
“Iya
Mah?”
“Bagaimana
kabarmu Mel? Apa kamu baik-baik saja”
“Iya.
Melza baik-baik saja. bagaimana kabar papa dan adik-adik?”
“Mereka
juga baik. Adikmu, Devald, besok harus bayar uang kursus bahasa spanyolnya.
Tabungan mama sudah tidak cukup. Kamu mengerti kan?”
“Melza
mengerti. Sebentar Melza langsung transfer. Baru setelah itu Melza akan segera
kabari. Jaga kesehatan ya Mah. Salam untuk papa dan adik-adik. Bye…”
Pembicaraan
terputus.
Franklin
sudah berada didalam kedai. Mengambil tempat yang berdekatan dengan meja kasir.
Ia belum memesan apa-apa. Melza masuk lalu duduk dihadapannya. Mereka kompak
memesan coklat panas.
Melza
harus sesegera mungkin mengirimkan uang untuk biaya kursus adiknya. Devald
memang sangat tergila-gila dengan spanyol. Ia bercita-cita suatu saat nanti
bisa pergi ke spanyol dan berdiam disana. Menjadi pemain sepakbola. Seperti
Lionel Messi atau Christiano Ronaldo. Bukan warga asli spanyol tapi bersinar
terang.
Mereka
berbincang-bincang cukup serius. Menarik. Sesekali diselingi tawa. Franklin
suka sekali melucu. Apa yang ia katakan selalu saja tidak masuk akal.
“Aku
yakin, kalau Mr. Radolvo ikut gabung di team inti Manchester United, Read Devil pasti akan menang di Champion League musim ini.”
Tentu
saja Melza terpingkal. Siapa Mr. Radolvo? Ia hanya tukang kebun di universitas.
Usianya juga sudah lebih dari setengah abad. Mau jadi apa dia di team
Manchester United? Tukang bersih-bersih lapangan sebelum bertanding? Atau
membersihkan ruang ganti? Atau mengumpul sepatu? Franklin ada-ada saja.
Mereka
cukup lama berada disana. Hingga pukul sepuluh pagi. Franklin sudah memesan
tiga gelas coklat hangat. Sementara Melza baru dua coklat hangat tapi sudah
diselingi dengan sepiring mini spaghety, menu khas kedai itu.
“Melza”Franklin
memanggil dengan sedikit berbisik.
“Ada
apa?”
“Lihat
itu”Dengan gerakan kepala yang sedikit dimajukan, franklin menunjuk seseorang.
Melza
memutar kepalanya. Dengan gesit Ia menarik kembali pandangannya. Alisnya
berkerut samar. Mr. Cole? Apa yang Ia lakukan disini?
“Kamu
masih lama? aku ingin pulang.”
“Loh?
Ada apa? kok tiba-tiba begini?”
Franklin
tak akan mengerti. Melza tidak ingin Mr. Cole mendekati mereka lalu dengan
tanpa bersalah membongkar kejadian semalam di kelab. Membongkar rahasianya.
Tapi…
“Franklin?
Bagaimana tugasmu?”
Melza
tak bisa berbuat apa-apa. Suara itu sangat dikenal olehnya. Jantungnya
tiba-tiba berdetak sangat cepat. Kini, Mr. Cole sudah berdiri tepat dibelakangnya.
Rasanya ada suatu benda berat yang terletak dipundaknya. Membuatnya tak bisa
menoleh. Antara tak bisa atau tak ingin, entahlah…
“Oh
Mr. Cole. Sudah selesai. Aku dan Darwin sampai lembur mengerjakannya.”
“Baguslah.
Jangan lupa jam dua siang aku sudah menerimanya di emailku. Kau ingat?”
“Iya
Mr. Cole. Jangan khawatir”
“Oh,
Demelza?”Suara itu kini menyapanya.
Demelza
berusaha memutar kepalanya.
“Mr.
Cole?”
“Kalian
berdua…pacaran?”
“Oh
tidak. Kami hanya berteman. Tadi kami bertemu di minimarket didepan sana. Tidak
ada salahnya bukan kalau kami singgah sebentar di kedai ini?”Franklin buru-buru
menyergahnya.
“Oh,
tidak masalah juga kalau kalian berdua pacaran. Bukankah kalian berdua
sama-sama tidak punya pacar? Atau…”Mr. Cole menggantung kalimatnya. Memandangi
dua mahasiswanya namun cukup lama saat bertatapan dengan Melza. “…Sudahlah
tidak penting. Aku harus pergi dulu, ada temanku baru datang dari wigan. Aku
harus menemaninya. Sampai jumpa”
Melza
mendesah cukup panjang. Mr. Cole tidak membongkar rahasianya. Jantungnya serasa
mau copot. Ia tidak menyangka apa yang akan terjadi selanjutnya jika Mr. Cole membongkar
semuanya. Mengobrak-abrik rahasianya didepan Franklin.
***_***
Memasuki
penghujung musim dingin. Seperti biasanya. Hari ini Melza pulang pagi lagi. Ia
berjalan pelan menaiki anak tangga menuju flat miliknya. Apartemen mungil itu
hanya terdiri dari lima lantai dan masih menggunakan tangga. Flatnya sendiri
terletak di lantai tiga. Hanya ada enam flat di lantai tiga bangunan bergaya
klasik itu.
Pria
yang semalam suntuk bersamanya cukup menarik. Bukan tipikal pria hidung belang
seperti yang sering ia temui. Pria yang sangat anti pada minuman keras dan
rokok. Pria yang menarik dimatanya. Tampan dan terkesan dewasa. Namun tetap
saja, hidung belang.
Pria
itu tidak lain adalah teman Mr. Cole. Pria yang disebut Mr.Cole saat berjumpa
dengannya di kedai kopi beberapa minggu yang lalu.
Melza
mengeluarkan kunci dari dalam saku palto lalu membuka pintu. Ia cukup terkejut
melihat lampu didalam flatnya telah mati. Ia masih ingat semalam sebelum pergi
lampu itu ia biarkan dalam keadaan menyala.
“Sudah
pulang, Za?”Suara itu menyahut dari dapur.
Melza
meletakan tas di sofa kemudian berjalan menuju dapur.
Aland
sedang berdiri disana. Dengan mengenakan celemek bermotif kotak-kotak biru,
pemuda itu tampak sedang memasak. Melza tidak akan heran dan bertanya mengapa
Aland sampai ada didapurnya.
Aland
– pemuda yang menjadi temannya sejak tiga tahun yang lalu. Aland tinggal di
flat tepat didepan flat miliknya. Ia tinggal bersama ibunya. Aland memiliki
usia sedikit lebih muda dari Melza. Ia masih 24 tahun sementara Melza baru saja
menginjak 25 tahun, oktober kemarin.
“Aku
buatkan omelette untukmu. Kamu pasti lapar bukan?”Aland meletakan hasil masakannya
keatas meja.
“Terima
kasih, tapi kamu tidak perlu repot-repot seperti ini”
“Repot?
Katamu repot? Ah, kamu berlebihan Za. Kita sudah berteman cukup lama, dan hanya
membuatkanmu omelette katamu merepotkan? Tenang saja, aku tidak merasa direpotkan
sama sekali”
“Terima
kasih”
“Sama-sama”
“Aku
ganti pakaian dulu, setelah itu kita makan bareng. Bagaimana?”
Aland
tidak menyahut. Tapi jempolnya yang mengudara sudah menjadi jawaban untuk
Melza.
Usai
berganti pakaian mereka bertemu lagi didapur. Ada beberapa lembar roti
panggang, omelette dan dua gelas capucino.
“Lembur
lagi?”Aland membuka pembicaraan diantara mereka.
“Begitulah”sahut
Melza, pelan.
Sebenarnya
Melza tidak tega terus-terusan berbohong pada Aland. Sejak awal perkenalan
mereka, Melza mengaku pada Aland bahwa Ia bekerja disalah satu hotel di pusat
kota Manchester. Dan dengan lugunya, Aland mempercayai hal itu.
“Apakah
kamu tidak merasa capek selalu pulang pagi seperti ini?”
“Tentu
tidak Aland. Ini pekerjaanku, dan sudah pasti aku harus menyenanginya”
“…”
“Lagipula
aku tidak setiap hari pulang pagi”
“Yah”Aland
menunduk sejenak lalu mengangkat lagi kepalanya.
“Semalam
ada seseorang yang datang mencarimu. Laki-laki berkacamata. Katanya ia teman
kampusmu. Aku lupa bertanya siapa namanya”
“Oh
ya???”
Melza
mengingat-ingat sesuatu. Ia lalu berdecak pelan. Ia lupa kalau ada janji dengan
Franklin. Dengan buru-buru Ia berlari kedalam kamar lalu kembali sambil membawa
ponsel yang baru saja Ia hidupkan. Semalam sengaja Ia matikan agar tidak ada
yang mengganggu.
Satu
pesan masuk.
Melza, kamu dimana? Kita jadi jalan malam ini?
Melza dengan
lincah memainkan jemarinya diatas tombol ponselnya.
Aku minta maaf. Semalam handphoneku mati. Baterainya
lowbatt. Sorry…
Message
Sent.
“Kamu
sangat menyayangi keluargamu ya?”Tiba-tiba saja Aland menanyakan hal itu.
Melza
menganggukan kepalanya. Itu sudah pasti. Ibu, Ayah dan adik-adik merupakan
harta paling berharga yang Ia miliki. Jikapun harus ditukar dengan bumi beserta
isinya, Ia tidak akan rela.
“Kenapa
bertanya seperti itu?”Kini giliran Melza yang balik bertanya.
“Entahlah.
Aku rasa kamu sangat beruntung, memiliki keluarga yang lengkap. Saling sayang”mata
Aland tidak bergerak dari layar ponsel milik Melza. Jelas saja Ia terus
memandangi layar ponsel yang memasang foto keluarganya sebagai wallpaper ponsel
Melza.
“Kamu
bicara apa Aland?”
“Yah.
Kamu sangat beruntung. Kamu memiliki ayah yang sangat sayang padamu dan
keluargamu. Tak seperti aku. Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi cengeng seperti ini?”Katanya
lalu menyeka butiran Kristal yang tiba-tiba saja jatuh tanpa perintah.
“Aland,
kamu seharusnya tahu bahwa hidup itu tidak selamanya putih dan indah. Pasti,
pasti ada beberapa bagian yang hitam gelap. Jalani saja…”
“Seperti
aku? Aku tidak sebahagia yang kamu pikirkan. Bodoh saja jika kamu menyangka aku
hidup penuh kebahagiaan. Aku hidup dalam dunia yang gelap. Sangat gelap Aland,
hingga kalau kamu berani masuk kedalamnya kamu akan tersesat dan tidak akan
pernah menemukan jalan untuk keluar.”Lanjutnya dalam hati.
Usai
sarapan bersama, mereka menuju ruang tengah yang bersambungan langsung dengan
ruang tamu. LED TV berukuran cukup besar menempel di dinding. Melza mengambil
remot lalu menyalakannya.
“Kamu
suka pertandingan sepakbola juga?”Tanya Aland.
“Iya”Melza
mengangguk cepat.
Meski
hanya siaran ulang, tapi pertandingan itu cukup menyita perhatiannya.
Orang-orang lebih sering menyebutnya dengan derby Manchester. Manchester City
melawan Manchester United. Yang menyita perhatiannya adalah Manchester City
yang sudah memimpin pertandingan dengan dua gol.
“Kamu
menjagokan yang mana?”
“Aku
sama sekali tidak tertarik dengan sepakbola inggris. Bosan”Jawab Aland.
“Apa
katamu? Bosan?”
“Iya
bosan. Aku lebih suka menyaksikan pertandingan El Clasico antara Real Madrid
dan Barcelona. Itu baru seru. Ada dua bintang top dunia bermain di Spanyol, dan
sudah tentu menjadikan liga spanyol menjadi liga terbaik di dunia saat ini”
“OOOH
GOD!!! Kamu sama saja dengan adikku, Devald. Asal kalian tahu saja, sepakbola
spanyol itu sangat menjenuhkan. Kalau bukan Barcelona pasti real Madrid. Begitu
seterusnya. Itu jelas sangat membosankan Aland. Coba lihat di inggris, Duo
Manchester, Arsenal, Liverpool, Chelsea dan banyak lagi. Mereka bersaing satu
sama lain. itu baru seru”
“Apa
katamu sajalah”Aland sepertinya sudah tahu karakter dari Melza. Tidak ada
gunanya sama sekali untuk membantah. Ia hanya diam. Mematung dengan ikhlas
sambil memandangi wajah Melza. Cantik.
“Melza…”
“Yah,
ada apa?”Melza sama sekali tak mengalihkan pandangan dari layar TV.
“Melza,
ada yang ingin aku katakan padamu”
“Katakan
saja”
“Melza,
dengarkan aku”
“Aku
mendengarkanmu, Aland”
“Ini
penting”
“Iya
katakan saja”
“Aku…Aku…aku
menyukaimu, Melza”
Melza
tersentak kaget lalu menoleh. Matanya
melotot tajam kearah Aland. Ia bahkan tidak menyadari kalau salah satu pemain
dari Manchester city sudah menambah pundi-pundi gol mereka. 3 – 0 untuk Manchester
City.
“Kamu
bercanda”
“Aku
serius”
“Hahahah.
Kamu itu lucu sekali, Aland”Ujar Melza lalu bangkit.
Belum
sempat Ia melangkah, tiba-tiba saja Aland menahannya. Membuatnya terpaksa
menoleh dan memandang dalam-dalam sorot mata laki-laki itu.
“Aku
serius. Aku tidak bercanda Demelza. Aku menyukaimu, sejak awal kita bertemu.”
“Ini
tidak mungkin”
“Kenapa?”
Melza
bergumam tidak jelas. Yang pasti, Ia tidak bisa menerima hal itu begitu saja.
Aland menyukainya? Ini sangat konyol. Bukan karena mereka berteman. Itu
bukanlah alasan untuk menolak cinta dari sahabat sendiri. Bukan!
“Kamu
tidak mengerti Aland”
“Kalau
begitu buat aku mengerti”
“Tidak
bisa”
“Aku
pasti bisa. Aku akan mengerti semuanya, segalanya tentangmu. Apakah kamu tidak
percaya padaku?”
“Bukan
Aland, aku bahkan tidak bisa menjelaskannya padamu”
“Kenapa?”
“…”
“Kenapa?
Jelaskan saja!”
“tidak
bisa. Kamu tidak akan pernah mengerti”
“Aku
menyukaimu dan aku akan berusaha mengerti semuanya. Semua tentang kamu, Melza.”
“Kamu
tidak akan mengerti. Kamu sepantasnya mendapatkan perempuan yang lebih baik.
Jauh lebih baik dari aku. BUKAN PELACUR SEPERTIKU!”Melza berteriak sekencang
mungkin didalam hatinya.
“Apa
karena laki-laki berkacamata itu? Apakah Ia pacarmu?”
“Siapa?”
“Dia
yang mencarimu semalam”
“Dengar
Aland. Ia hanya teman kampusku”
“Lalu
kenapa? Jelaskan padaku!”
“Berhenti
memaksaku Aland. BERHENTI!!!”Suara Melza pecah. Menggema didalam flat.
Sekejap,
ruang tengah itu mendadak dingin. Membeku. Aland diam tidak menyahut. Ia
kecewa. Mendung segera menyelimuti raut wajahnya. Tanpa pamit, laki-laki itu
langsung pergi. Keluar.
“Maafkan
aku Aland”Ujar Melza namun percuma sudah berada diluar.
“Kamu tidak akan mengerti. Sampai kapanpun,
aku tidak akan pantas untukmu. Aku ini kotor. Sangat kotor, Aland”
Ruang
itu kini benar-benar membeku. Dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar