Lanjutan kisah : Love on the end of winter
Kejadian
beberapa waktu lalu di apartemen membekukan hubungan diantara mereka. Tak ada
saling sapa untuk waktu yang lumayan lama. Bahkan untuk saling pandang saja
mereka bahkan tidak mau. Entah siapa yang tidak mau, atau siapa yang malu
melakukannya, yang pasti mereka terlihat seperti orang yang tidak saling kenal.
Ini
jelas menghebohkan seisi apartemen terutama di lantai tiga gedung apartemen.
Semua bertanya-tanya. Sejak awal, mereka tak pernah terlihat seperti itu. Tidak
pernah sekalipun.
Saling
benci? Tidak. Mereka tidak saling benci. Tak pernah terbersit dalam diri Melza
untuk membenci sahabatnya itu. Pun dengan Aland, membenci Melza sama halnya
dengan membunuh separuh hatinya.
Namun
suatu malam diakhir musim dingin, mereka menyadari satu hal. Bahwa mereka
saling merindukan. Tak bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Maka
ketika malam berganti pagi, dengan tanpa diperintah oleh siapapun, keduanya
dengan dandanan rapi sudah berdiri dibalik pintu apartemen masing-masing.
Berjaga-jaga ketika pintu apartemen didepannya terbuka lalu ikut membuka pintu.
Wellcome
Spring!!!
“Aku minta maaf.
Aku memang egois. Bersikap dingin hanya karena persoalan seperti ini. Sorry…”Ujar Melza Pelan dengan wajah
tertunduk.
“Tidak. Kamu tidak
salah. Aku yang salah dan seharusnya aku yang minta maaf”
Dan…
Musim dingin pun
usai. Salju-salju mencair bersama sikap dingin diantara Melza dan Aland.
Berganti indahnya musim semi. Persahabatan yang kembali mekar. Indah.
Rasa dingin yang
cukup lama menyelimuti mereka akhirnya pasrah pada kehangatan musim semi.
Diluar, gundukan salju telah mencair. Hilang. Berganti dengan bunga-bunga yang
bermekaran indah. Kota
Manchester melepas jubah putihnya.
Matahari dengan lembutnya kembali menyapa penduduk kota manchester. Dengan
sinarnya yang hangat, melepas rasa rindu yang tersimpan cukup lama. Menyapa
dedaunan dan rerumputan hijau. Segar.
Dan hari ini seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka, Melza dan
Aland memutuskan untuk menikmati awal musim semi dengan berjalan-jalan di
sekitaran Piccadilly Gardens.
Aland menoleh sejenak, mengamati wajah Melza yang berseri-seri. Tersenyum.
“Sepertinya kamu senang sekali, Za. Ada apa?”
“Senang bisa berteman lagi denganmu”Jawab Melza sambil tersenyum lebar.
“Oh ya?”
“Yah. Aku pikir aku akan kehilanganmu”Ucap Melza pelan kemudian menggandeng
tangan Aland.
Melza menghembuskan nafas pelan lalu berjalan disamping Aland. Ia
menyandarkan kepalanya dibahu Aland. Baginya, ini adalah cara terbaik untuk
mengakrabkan kembali dirinya dengan laki-laki itu. Sebagai teman. Hanya sebagai seorang teman.
Hatinya berdesir halus.
Lembut, meski ia sendiri
tak mengerti dengan desiran itu...
“Demelza!”Seseorang
berteriak memanggil namanya.
Sontak mereka
berhenti lalu kompak memutar tubuh 180 drajat. Seorang laki-laki dengan kaos
putih dan jeans hitam selutut berlari kearah mereka. Melza kenal siapa laki-laki
itu. Tapi tidak dengan Aland. Dahinya berkerut sambil berusaha menerka siapa
laki-laki pemilik wajah yang tidak asing itu.
“Franklin? Apakah
ini kebetulan atau…?”
“Tidak ada yang
kebetulan”
“Oh ya? Sedang apa
kamu disini? dengan siapa?”
“Menikmati awal musim
semi. Aku harus menjadi saksi mekarnya bunga-bunga indah di kota Manchester.
Kalau kamu?”Franklin balas bertanya.
Mereka – Melza dan
Franklin – berbincang akrab seakan lupa pada sosok lain diantara mereka yang
hanya ikut menganggukan kepala ketika Melza mengangguk.
“Astagah! Aku
hampir lupa, kenalkan ini Aland. Dan Aland, kenalkan ini Franklin”
Dua laki-laki itu
saling berjabat tangan.
“Apakah kita pernah
bertemu sebelumnya?”Tanya Aland.
“Sepertinya begitu.
Aku pernah datang ke apartemen milik kalian”
Aland bergumam
pelan. Tidak jelas. Sejenak ia berpikir lalu mengangguk cepat. Ia teringat pada
laki-laki berkacamata yang datang mencari Demelza beberapa waktu yang lalu.
Laki-laki yang menjadi…Stop! Aland menggeleng cepat. Tidak ingin mengingat lagi
kejadian itu.
“Boleh aku gabung
dengan kalian? Bosan juga ternyata kalau jalan sendirian saja”
“Boleh. Boleh kan
Aland?”Melza memutar kepalanya. Meminta persetujuan Aland.
“Oh tentu saja,
boleh”Sahut Aland. Terpaksa mengiyakan.
***_***
“Terima
kasih karena kamu sudah menemaniku seharian ini”Ujar Melza ketika mereka tiba
di apartemen.
“Sama-sama”
“Hari
yang menyenangkan. Sampai ketemu besok pagi Aland. Selamat tidur, mimpi indah
ya”Melza mengintip sesaat dari balik pintu lalu menghilang.
“Senang
bisa dekat denganmu lagi, Melza”Ucap Alan. Pelan.
Benar-benar
hari yang melelahkan. Mengelilingi kota bersama dua teman yang suka sekali
berdebat. Terutama tentang sepakbola. Franklin sangat mengidolakan Manchester
United sementara Aland sangat anti pada sepak bola inggris. Ia selalu saja
memuji penampilan sepakbola spanyol.
“Manchester
United tetap lebih baik”
“Kamu
bercanda Franklin. Real Madrid jelas lebih hebat. Buktinya mereka bisa mengambil
Christiano Ronaldo”
“Hehehe.
Tapi sebelum pindah ke Real, Christiano itu anak kesayangan Red Devils”
Dan
Melza hanya bisa diam menikmati ocehan-ocehan mereka. Diam dan menikmati. Dan…
merindukannya?
Entah apa yang
terjadi, dua jam berlalu sejak Ia berbaring ditempat tidur, matanya sama sekali
belum terpejam. Bayangan Franklin masih berkelana. Kesana kemari dipelupuk
matanya. Selain sama-sama menjagokan sepakbola inggris, keduanya juga
menjagokan tim rad devils.
Melza
mengerutkan dahinya saat ponselnya berdering pelan. Siapa yang menelepon
semalam ini? Dengan terpaksa Ia bangkit lalu mengambil ponsel dari dalam laci.
MR.
COLE???
Rasa
bahagia yang bersemi dihatinya berubah. Gelap. Ia menanti panggilan itu
berakhir lalu menonaktifkan ponselnya. Aman. Setidaknya untuk malam yang
tersisa ini Ia tidak akan diganggu laki-laki itu.
***_***
Melza
melangkah cepat melewati koridor kampus. Ia mengambil jalan memutar menuju
kelasnya. Sengaja untuk menghindari Mr. Cole. Tadi ia sempat melihat Mr. Cole
masuk ke jalur kiri gedung kampus.
Melza
mempercepat langkahnya ketika telinganya mendapati sayup-sayup suara Mr. Cole. Ia
bukan menghindari Mr. Cole karena pekerjaan itu. Bukan. Ia masih sering
menemani banyak laki-laki lainnya yang lebih kaya dan lebih keren dari pria tua
itu. Ia menghindar karena tidak suka dengan sikap dosennya itu yang suka
mengancamnya. Mengancam untuk membongkar rahasianya.
Derap
langkah semakin cepat terdengar. Melza enggan berbalik badan. Namun satu yang
ia tahu, seseorang sedang berjalan dibelakangnya. Langkah mereka saling
bersahutan. Tidak ada siapa-siapa dikoridor sehingga Melza yakin seseorang
sedang membuntutinya.
“Demelza!”
Melza
tersentak kaget. Tangan orang itu sudah berada tepat dibahunya. Terpaksa Ia
harus mengalah. Menyerahkan diri pada keadaan. Tak ada gunanya melawan. Ia
sudah tertangkap.
“Iya
ada apa Mr…. Franklin?”Nada suaranya berubah. Lega.
Ia
menghembuskan nafas lega. Orang itu ternyata Franklin bukan Mr. Cole. Rasanya
jantungnya seakan ingin copot.
“Kamu…?
kamu kenapa? Kamu sakit?”
Raut
pucat Melza mengundang pertanyaan dari Franklin. Laki-laki itu meraba pelan
dahi Demelza lalu mundur.
Demelza
menggeleng. Ia masih mengendalikan dirinya. Debar jantungnya masih saling
berkejaran.
“Kamu
seperti dikejar-kejar hantu”Kata Franklin lalu diikuti tawa kecil.
“Tidak
lucu. Ayo ke kelas”Melza bergegas menarik tangan Franklin.
“Sebentar…”Franklin
berusaha mengatur langkahnya.”…Tadi aku bertemu Mr. Cole. Ia mencarimu.”
“Apa??”
“Iya.
Sepertinya urusan penting”Kata Franklin.
“ooh”Ujar
Melza sekenanya.
Benar
dugaannya semalam. Mr. Cole pasti akan mencarinya pagi ini dan sudah terbukti
benar. Ia harus mencari cara agar tidak bertemu pria itu. Setidaknya untuk hari
ini sampai Ia siap memberikan alasan tepat pada Mr. Cole.
***_***
“Aku
punya tiket nonton teater, kamu tertarik? Aku ingin mengajakmu nonton”Franklin
mengeluarkan dua lembar tiket.
“Mengajakku?
Maksud kamu? semacam kencan?”Melza mengangkat sebelah alisnya.
“Hmmm….
Kalau menurutmu nonton teater berdua itu kencan, tidak masalah. Bagaimana? Kamu
tertarik?”
Melza
menarik ujung bibirnya. Tersenyum. Hatinya sekejap berbunga-bunga. Ia belum
pernah kencan dengan laki-laki manapun. Oups, mungkin pernah. Beberapa kali
dengan laki-laki yang berbeda-beda. Tapi itu bukan kencan. Sekali lagi itu
bukan kencan tapi bagian dari pekerjaan.
“Baiklah
kalau kamu memaksa”
Mendengar
jawaban Demelza, Franklin menyunggingkan senyumnya. Akhirnya rencananya
berjalan mulus. Sejak awal Ia memang sudah berniat untuk mendekati Melza.
Sementara
Melza sibuk dengan pikirannya sendiri. Membayangkan kencan berdua bersama
Franklin. Ini jelas akan berbeda dengan kencan-kencan sebelumnya. Tak ada nafsu
sama sekali. Hanya perasaan menggebu-gebu yang tidak jelas. Yang masih sulit
untuk dijelaskan…apakah ini cinta? Entahlah. Yang pasti cinta selalu datang
tiba-tiba. Bahkan tak butuh penjelasan apa-apa.
***_***
Sesuai
janji di kafe tadi Franklin akan menjemputnya jam tujuh malam. Melza sibuk
berdandan. Mencari gaun terbaik. Meski hanya menonton teater tapi moment malam
ini harus menjadi sejarah. Oh indahnya ketika hati seorang perempuan sedang
memasuki musim semi. Semuanya terasa indah. Menawan dan penuh pesona.
Seperti
Demelza. Ia cantik sekali dengan balutan blazer biru muda dengan dalaman kaus
putih. Ia juga mengenakan jeans putih gading. Sempurna. Tak perlu gaun apa-apa.
Semua gaun sudah pernah dipakainya saat kencan. Yah, kencan dengan para
pelanggannya.
Demelza
melangkah pelan keluar dari kamar. Ia menuju ruang tamu untuk menemui
seseorang.
“Bagaimana
penampilanku? Cantik kan?”
Orang
itu – Aland – hanya ternganga tanpa sepatah katapun. Lidahnya kelu. Otaknya
membeku. Matanya tak bisa dikedipkan. Tunggu dulu… Aland meraba dadanya. Tidak
berhenti tapi berdebar sangat kencang.
“So
beatifull!!!”Seru Aland seketika lalu melanjutkannya, “Kamu mau kemana? Kerja?”
“tidak.
aku akan pergi ke Opera House. Ada pertunjukan teater”
“Teater?
Sejak kapan kamu suka menonton teater?”
“Sejak
tadi siang. Oh ya sudah, aku harus ke bawah. Sepertinya Frank sudah menunggu
cukup lama. Sampai jumpa Aland.”Demelza melambaikan tangan. Meninggalkan Aland
mematung di ruang tengah.
Seperti
biasanya, Ia sengaja menitipkan apartemennya pada Aland. Ia selalu punya kunci
cadangan jika Ia terpaksa pulang larut malam atau bahkan pulang pagi.
“Doakan
kencanku berhasil. Okey?”
WHAT A???
Aland tak
sempat bertanya apa-apa. Demelza telah menghilang. Pergi dan hanya menyisakan
aroma parfum yang begitu wangi. Aroma mawar. Aland terduduk lesu. Bertanya
dalam hati, sampai kapan Ia mampu bertahan. Memendam rasa pada sahabat sendiri.
***_***
“Pertunjukannya
bagus sekali. Aku suka”Kata Demelza ketika mereka keluar dari gedung Manchester
Opera House.
“Aku
senang kalau kamu suka. Setidaknya aku tidak sia-sia mengajakmu ke tempat ini”
“Selanjutnya
kita akan kema…?”
Kata-kata
Demelza terpotong. Ia merasakan tubuhnya diputar oleh seseorang. Cukup keras.
Karena takut terjadi apa-apa Ia bahkan memejamkan matanya. Dalam keadaan
seperti itu Demelza memberanikan membuka matanya.
Deg…
Dadanya
berdebar tiga kali lebih cepat dari yang biasanya. Ia dan Frank saling
berpandangan. Ia baru sadar kalau saat ini Ia sedang berada dalam pelukan
Frank. Begitu hangat dan meneduhkan. Tatapan Frank menyetrum sel-sel dalam
hatinya. Bergetar dan menyala-nyala.
“Kamu
tidak apa-apa?”
Demelza
buru-buru melepaskan pelukan Frank. Merapikan pakaiannya lalu menggeleng
kepala. Tadi, Ia hampir saja tertabrak motor yang ugal-ugalan. Karena tidak
fokus Ia sampai tidak sadar kalau Ia sudah berjalan disebelah trotoar. Tepat di
jalan raya.
Diam.
Angin
musim semi bertiup pelan. Lembut. Menyusup diantara langkah dua anak manusia
itu. namun tiba-tiba konsentrasi mereka terganggu oleh bunyi ponsel Melza. Ada
satu pesan singkat masuk dari Aland.
Kamu dimana? Tadi ada seorang perempuan
datang mencarimu. Katanya dia disuruh oleh dosenmu. Kalau kamu sudah selesai,
segera menghubungi dosenmu itu, kata perempuan tadi.
Mr. Cole.
Pria itu yang langsung terbersit dalam kepalanya. Memang sejak masih di
apartemen tadi Mr. Cole selalu menghubunginya tapi Ia sengaja tidak menjawab.
Berulang kali ditelepon dan berulang kali pula ia tak acuh pada telepon itu.
tidak penting. Mengganggu malam terindahnya.
***_***
“Terima
kasih telah mengantarku sampai sini”
Mereka
sudah tiba didepan apartemen Melza. Frank tidak menjawab. Ia hanya tersenyum
lalu dalam satu gerakan cepat mendekatkan tubuhnya ke tubuh Demelza. Demelza
terhenyak. Matanya sontak terpejam. Namun Ia salah menduga. Nothing French Kiss.
Frank
hanya mencoba menyeka sisa ice cream coklat yang menempel dibibir Demelza.
“Sampai
bertemu besok pagi. Bye…”Frank pamit pulang.
“Bye”Jawab
Melza sambil melambaikan tangan.
Malam
yang sangat indah. Tak pernah Ia melewati malam yang sangat indah bersama
seorang laki-laki. Ia selalu sadar, Frank bukanlah laki-laki pertama yang jalan
berdua dengannya. Tapi dengan Frank, Ia merasa normal. Ia merasa tak ada beban
sama sekali. Semua mengalir.
“Hallo
Mr. Cole?”
Setiba
di apartemen Demelza langsung menghubungi dosennya. Ia tidak ingin terjadi
apa-apa padanya hanya karena ia sengaja menjauh dari Mr. Cole seharian ini.
“Kamu
darimana saja? kenapa teleponku tidak diangkat?”suara itu terdengar agak-agak
fales diseberang sana. Satu yang bisa ditebak : Mr. Cole sedang mabuk.
“Maaf,
aku tadi sibuk sekali. ponselku bahkan tertinggal di apartemen”
“Oh
ya? Sekarang kamu dimana? Temani aku. Aku rindu padamu sayang”
“Kamu
rindu padaku? Kamu bercanda Mr. Cole”
“Aku
serius. Ayo datang kesini, ke tempat biasa. Aku akan menunggumu”
“Aduh
maaf sekali, hari ini aku sangat lelah. Nanti saja”
“Kamu
mau semua orang dikampus tahu masalah ini?”
“Oh
tentu tidak sayang. Ayolah, kita bisa bertemu lagi besok. Aku janji, aku yang
akan langsung mendatangimu. Jangan marah ya sayang…”
“Baiklah,
kali ini saja kau percaya padamu. Bye sayang”
Demelza
langsung melempar ponsel itu keatas tempat tidur. Ia tidak boleh lagi
menundanya. Ia jelas tidak menginginkan rahasianya selama ini terbongkar. Maka
besok malam sesuai janjinya Ia yang akan mendatangi Mr. Cole sebelum pria itu
benar-benar marah dan benar-benar membongkar rahasiannya.
Dan
bukan hanya itu. Ia kenal siapa Mr. Cole. Ia lebih bengis dari sekedar
membongkar rahasianya. Mr. Cole punya banyak bodyguard dengan badan-badan yang
berotot. Kekar. Mengerikan rasanya jika sampai bodyguardnya ikut turut campur
dalam masalah ini. Demelza tentu tak ingin berurusan dengan mereka. Ia bisa
dibunuh.
***_***
Berulang
kali Demelza menguap. Rasa kantuk sudah tak bisa ditahan lagi. Tiga hari ini Ia
sibuk bekerja lembur sampai larut malam. Bahkan kemarin Ia harus pulang pagi
lagi.
“Dari
tadi kamu menguap terus Demelza. Kamu mengantuk?”
Tanya
Frank yang saat itu duduk disampingnya. Saat itu mereka sedang ada di kantin
kampus. Kuliah pagi itu bersama Mr. Cole dibatalkan. Mr. Cole mendadak ada
urusan penting. Bukan kabar buruk sebenarnya bagi Demelza. Ini bahkan kabar
baik Ia tidak perlu bertemu lagi dengan Mr. Cole.
“Apakah
pertanyaanmu itu membutuhkan jawaban?”Demelza balik bertanya.
“…”
“Atau…
ikut aku. Ayo!”Seru Frank seketika dan langsung menarik tangan Demelza.
Demelza
menurut saja seperti sedang dihipnotis. Ia baru tersadar ketika membaca sebuah
tulisan didepan ruangan. LIBRARY. Matanya
membelalak. Kaget dan langsung menoleh kearah Franklin.
“Kamu
mengantuk bukan? Kalau begitu temani aku disini”
“Oh
No! Kamu hanya membuatku tambah mengantuk Frank”
“Kenapa
bisa begitu?”
“aku
bukan kutu buku sepertimu. Mana mungkin berada disekeliling rak buku aku tidak
mengantuk? Ini jelas menambah rasa kantukku”
Franklin
sudah berada didalam perpustakaan. Sementara Demelza berniat untuk balik
belakang lalu pulang saja. Tapi… matanya menangkap sesuatu. Tulisan didalam
perpustakaan : Please silent.
Hmmm…
Demelza
membatalkan niatnya untuk pulang. Segera saja ia menyusul Frank yang sudah duduk
disalah satu meja yang menggunakan sekat pembatas. Frank sedang memegang buku
sejarah. Dasar kutu buku!
Dari
awal niat Demelza untuk masuk ke perpustakaan tidak lain adalah untuk TIDUR. Ia
menemukan tempat yang aman dan nyaman. Langsung saja Ia mengambil posisi untuk
tidur.
Baru
beberapa menit memejamkan mata atau bisa dikatakan ia belum sepenuhnya
tertidur. Ibarat pesawat baru saja lepas landas, belum mengudara. Tiba-tiba Ia
merasakan sesuatu dipipinya. Seperti rabaan tangan yang halus. Pipinya dielus-elus.
Demelza
membuka sedikit matanya dan menangkap sesuatu. Itu tangan Franklin tapi
Franklin masih sibuk membaca buku disebelahnya. Seketika, Dadanya
berdebar-debar. Ia bahkan lupa cara untuk bernafas. Ia membiarkan tangan
laki-laki itu terus mengelus pipinya lalu berganti membelai rambutnya yang
berwarna coklat kekuningan.
Ia
menikmatinya. Seperti Ia menikmati sebuah ledakan dahsyat didalam hati. Ia
belum yakin ini cinta, tapi satu yang Ia yakini : Ia merasa nyaman. Tak seperti
saat ia bersama laki-laki diluar sana yang hanya ingin menikmati tiap inci
dalam tubuhnya.
Demelza,
dengan gerakan lambat Ia meraih tangan Frank lalu meletakannya dibawah pipinya.
Halus. Frank tampaknya tidak merespon apa-apa. Terkesan membiarkan saja. Namun
satu yang dirasakan Demelza, Frank
menggenggam tangannya lebih erat. Sangat erat…
Demelza
tersenyum singkat. Indahnya hidup ini jika memang dijalani dengan cinta. Bukan
hanya nafsu belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar